Kebahagiaan merupakan “The greatest number”.
Jeremy Bentham mengistilahkan kebahagiaan menggunakan kalimat tersebut. Mengapa demikian? Karena ia yakin bahwa suatu tindakan yang etis atau bermoral dapat dirasakan oleh semua orang melalui kebahagiaan, karena sifat kebahagiaan tersebutlah yang seharusnya tidak memihak dan dapat dirasakan oleh siapapun (Tim Mulgan, 2020). Berbagi kebaikan untuk merasakan kebahagiaan merupakan sebuah etika normatif, dimana “utilitarianisme” yang berasal dari kata “utilis” merupakan sebuah prinsip yang menentukan apakah kebaikan merupakan tindakan yang dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi semua orang? Karena sesungguhnya konsep utilitarianisme ini berasal dari tindakan baik dan buruk yang diukur dari akibat yang ditimbulkan.
Lantas apa hubungan etika komunikasi, teori utilitarianisme dan media sosial?
Pertama, etika merupakan refleksi filosofis dan pemikiran kritis terhadap ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral (Suseno,1999). Dalam berkomunikasi tentunya etika dan moral merupakan sebuah dasar yang harus dan paling diperhatikan. Tanpa adanya etika dan moral komunikasi tidak akan berjalan lancar dan bisa berdampak merugikan seseorang. Semakin lama, masyarakat semakin pluralistik dan zaman makin mengalami modernisasi dimana etika ada untuk mengimbangi semua hal tersebut. Etika memiliki unsur kebebasan, tanggungjawab, hati nurani, dan prinsip moral dasar. Keempat prinsip ini harus tetap diterapkan meskipun berkomunikasi secara tidak langsung terutama melalui media sosial.
Memasuki era yang serba digital saat ini, pastinya komunikasi bukanlah suatu hal yang pribadi. Sekarang, komunikasi dapat dilakukan dari manapun, kapanpun, oleh siapapun, dan memakai alat apapun. Salah satu alat komunikasi yang paling sering digunakan adalah media sosial. Melalui media sosial pesan, informasi, dan kabar apapun dapat tersebar dengan cepat. Media sosial digunakan seseorang terutama para remaja sebagai bentuk ekspresi komunikasi yang mencapai utilitarisme. Menurut Jeremy Bentham, kebahagiaan wajib hukumnya diukur dengan “kalkulus moral”. Dimana perhitungan ini menyangkut penentuan nilai kuantitatif kebahagiaan, yaitu nilai kesenangan (pleasure) dan nilai kesakitan (pain). Maka, hal ni mempunyai keterkaitan dengan berbagai hal yang diposting seseorang melalui media sosial. Apa yang kita posting, apa yang kita katakan dalam media sosial akan berbeda maknanya pada tiap-tiap point of view seseorang.
Sebagai contoh yang sekarang selalu ramai yaitu mengenai postingan KPop. Postingan mengenai seputar idol korea ini pastinya memberikan fans atau Kpopers sebuah kebahagiaan dengan hanya melihat idolanya, mereka tau tentang kabar idolanya yang membuat mereka bisa semangat menjalani hari dengan hanya melihat foto ataupun video idolanya yang ada di media sosial. Namun berbeda jika postingan ini dilihat oleh haters, meskipun postingan tersebut hanya berisi foto idol korea dan tidak menyinggung mengenai apapun, haters tetap akan benci melihat postingan tersebut dan mulai melontarkan komentar tajam yang menyakitkan.
Sebagai contoh lain yaitu ketika kita melakukan chatting dengan seseorang di media sosial. Karena komunikasi tersebut berjalan secara daring, sebuah chat dari seseorang bisa saja berbeda makna tergantung pemaknaan apa yang dilakukan oleh seorang penerima. Dalam kata lain, jika pesan tersebut terkesan menyakiti hati pembaca atau penerima, entah itu karena adanya miss komunikasi, nada yang berbeda ketika membaca isi chat, yang kemudian membuat seseorang kecewa atau sakit hati saat membaca chat tersebut. Sebaliknya, jika chat tersebut berisi pujian kepada seseorang, dan penerima membacanya dengan nada yang senang atau gembira, pastinya akan membawa sebuah kebahagiaan dan kesenangan penerima chat tersebut.
Dua hal ini membuktikan bahwa konsep utilitarianisme sangat mempengaruhi komunikasi terutama etika dalam menggunakan media sosial. Kalimat yang kita lontarkan dan apa yang kita posting di media sosial harus tetap ada etikanya. Karena jika hal tersebut saja tidak dihiraukan dapat membuat orang lain kecewa, sakit hati maupun sedih. Karena pada dasarnya kesalahan vital di media sosial dapat menjadi sebuah kesalahan yang sangat fatal. Di indonesia, masih minim etika komunikasi dalam menggunakan media sosial. Bahkan masih banyak terjadi bullying yang terjadi di media sosial. Seperti contoh yang telah saya paparkan sebelumnya bahwa sebuah postingan bisa disalahartikan oleh orang lain dan ketika mereka merasa bahwa postingan tersebut tidak sesuai dengan standar apa yang mereka yakini, membawa bullying kepada kreator yang membuat postingan tersebut. Sudah banyak kasus bullying pada media sosial di Indonesia, dan hukum akan hal ini pun masih juga tidak dihiraukan dan dianggap remeh.
Hal tersebut juga berkaitan dengan konsep utilitarianisme menurut konsep Mill. Apabila dalam sebuah komunikasi bisa menghargai perasaan orang lain, maka dasar kebahagiaan dan jaminan hak serta keadilan seseorang tetap dapat tercapai dan terjalani. Bagaimana interpretasi seseorang terhadap sesuatu yang kita sebarluaskan maupun pesan yang kita sampaikan akan berpengaruh besar terhadap akibat baik atau buruk yang akan ditimbulkan.
Maka, diharapkan masyarakat Indonesia juga memperhatikan etika komunikasi dalam menggunakan media sosial. Terutama sebagai generasi muda diharapkan kita bisa dipandang dengan sdm yang tinggi. Tentu saja hal ini harus dimulai dari diri kita sendiri terutama dalam menggunakan media sosial, dimana satu kalimat saja yang keluar dapat memberikan dampak yang besar bagi seluruh orang entah itu baik atau buruk. Akibat yang ditimbulkan dari etika komunikasi tersebut merupakan sebuah konsep utilitarianisme terutama pada komunikasi di media sosial.