Pada tahun 1947, etnis Rohingya melakukan pemberontakkan terhadap Pemerintah Myanmar untuk memisahkan diri dan bergabung dengan negara Bangladesh. Negara Bangladesh merupakan negara mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal tersebutlah yang membuat etnis Rohingya ingin bergabung dengan negara Bangladesh. Hidup sebagai minoritas Islam di negara yang otoriter dapat memicu terjadinya ancaman, kekerasan dan deskriminasi bagi etnis Rohingya. Berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia dialami oleh orang-orang Rohingya.
Pada tahun 1990, Pemerintahan Myanmar telah membuat kebijakan untuk membatasi segala sesuatu terhadap Rohingya. Kemudian pada tahun 2014, Pemerintah Myanmar membuat kebijakan untuk melarang penggunaan istilah Rohingya dan mendaftakan etnis Rohingya sebagai etnis Bengali dalam sensus pendudukannya. Lalu pada tahun 2015, Pemerintah Myanmar kembali membuat kebijakan dengan mencabut kartu identitas penduduk Rohingya sehingga menyebabkan kehilangan kewarganegaraanya dan tidak mendapatkan haknya.
Orang-orang Rohingya diancam tidak hanya oleh pemerintah Myanmar, tetapi juga oleh junta militer, yang mempromosikan gerakan anti-Muslim di antara komunitas Buddhis dan Burma di Myanmar sebagai bagian dari kampanye melawan Rohingya. Orang-orang Myanmar tidak pernah mengakui  Rohingya  Bengali sebagai kelompok etnis, percaya bahwa 'Muslim Arakan',  'Muslim Burma' dan 'Bengali Burma' adalah objek ejekan terhadap Rohingya. Beberapa komunitas Rakhine dan Burma telah menolak untuk mengakui Rohingya sebagai kelompok etnis dan  telah ditolak menjadi anggota Dewan  Etnis Nasional.
Etnis Rohingya tidak mendapatkan hak asasi manusia dan kewajibannya sebagaimana manusia biasanya. Ancaman, kekerasan dan deskriminasi yang dialami oleh etnis Rohingya semakin menambah kekhawatiran orang-orang Rohingya akan keamanan mereka jika tetap bermukim di Myanmar. Ini menyebabkan mereka mengungsi untuk mencari keamanan dan bantuan. Hal yang dialami oleh etnis Rohingya ini telah melanggar Hak Asasi Manusia.
Etnis rohingya tidak mendapat wilayah tempat tinggal. Otorita Myanmar memberikan tempat khusus bagi etnis Rohingya guna menghindari bentrok kembali dengan etnis Burma. Hal tersebut membuat etnis Rohingya ingin mengambil kembali wilayahnya. Namun, pemerintah Myanmar tidak memberikan wilayahnya karena takut akan mendominasi dan merebut wilayah asli warga Rakhine.
Resolusi Konflik
Penulis melihat bahwasanya konflik etnis Rohingya di Myanmar level eskalasi sudah mencapai level limited destructive blows. Berdasarkan analisa penulis, etnis Rohingya sering mendapatkan kekerasan dan bahkan tidak dianggap sebagai warga Myanmar sama sekali. Etnis Rohingya juga dideskriminasi sehingga mereka mendapatkan perilaku yang tidak manusiawi. Dengan begitu penulis memberi resolusi konflik yang ditawarkan yaitu mediasi.
Mediasi merupakan upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian yang diterima oleh kedua belah pihak. Â Â
References
Gita W, I. M. (2015, April ). Perlakuan Deskriminasi Terhadap Etnis Rohingya oleh Myanmar dalam Perspektif Hukum Internasional. Kertha Negara, 03 No. 02, 3-5. Dipetik September Minggu, 2022, dari https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/1336610
Rahmawati Novia Sigit, N. (2020, Februari). Perlindungan Terhadap Orang Tanpa Kewarganegaraan (Stateless People) dalam Hukum Internasional (Studi Kasus Etnis Rohingya di Myanmar). Uti Possident: Journal of International Law, Vol. 1 No. 1, 119-129. doi:https://doi.org/10.36565/up.v1i1.8303