Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Orpa, Film Orpa, dan Angka-angka Mencemaskan Pernikahan Usia Dini

5 Desember 2023   19:15 Diperbarui: 6 Desember 2023   18:56 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orsilla Murib memerankan karakter Orpa dalam film Orpa (Foto: Akun Instagram @filmorpa)

Karakter Orpa dalam film Orpa adalah perempuan belia di tanah Papua yang memanggul makna namanya sebagai "dia yang memilih jalan lain", sosok yang bersikeras menolak pernikahan dini sebagai "tradisi" pragmatisme.

KATA "Orpa" yang digunakan sebagai nama untuk gender perempuan, memiliki beragam arti dalam sejumlah kata. Mengutip laman situs internet Abarim Publications, tercatat kata-kata yang masuk dalam daftar arti Orpa. Selain Leher, kita juga menjumpai kata-kata Tetes, Awan, Surai, dan Dikirim.

Membaca laman yang sama, di entri selanjutnya kita juga menemukan penjelasan ringkas Orpa secara etimologi. Di sana tertulis Orpa sebagai "from the verb ערף ('arap), to droop (terkulai).

Jika dirangkum secara terbatas dari beberapa sumber lain yang juga membahas nama Orpa, maka pemaknaan atas nama Orpa bisa dibaca sebagai sisi belakang leher, yang terkulai, dan melarikan diri.

Apabila mengacu pada sosok perempuan yang menyandang nama Orpa, izinkan saya memperkenal secara ringkas dua perempuan yang saya temukan dalam bacaan dan terkait perbincangan ini.

Sosok pertama adalah Orpa si menantu Naomi, yang berasal dari Kerajaan Moab (sekarang berada di wilayah negara Yordania). Kedua, karakter Orpa yang dihadirkan dalam film Orpa sebagai tokoh utama si perempuan belia di tanah Papua.

Film Orpa nominasi Piala Citra FFI 2023 (Foto: Akun Instagram @filmorpa)
Film Orpa nominasi Piala Citra FFI 2023 (Foto: Akun Instagram @filmorpa)

Orpa dari tanah Moab

Pada zaman hakim-hakim memerintah di Israel kuno, sekitar 1100 SM, bencana kekeringan dan kelaparan menimpa. Tercatat sebuah keluarga melakukan perjalanan eksodus dari Betlehem menuju tanah Moab.

Naomi, salah satu tokoh utama yang diceritakan dalam Kitab Rut, tercatat meninggalkan Betlehem untuk merantau ke tanah Moab demi penghidupan yang lebih baik. Ia bersama sang suami Elimelekh, dan dua putranya Bernama Mahlon dan Kilyon.

Sebagai gambaran, sebuah sumber memberi tahu kita bahwa jarak antara Betlehem dan Moab  adalah 80-100 km lewat darat. Pada masa itu, jarak tersebut biasanya ditempuh oleh orang-orang selama 7-10 hari.

Di negeri asing Moab, Naomi beserta keluarganya berkehendak untuk menetap untuk sementara waktu, hingga keadaan membaik di kampung halamannya. Namun sejarah mencatat, Naomi menetap di sana lebih dari satu dekade.

Di negeri yang kurang bersahabat itu, suami Naomi meninggal dunia. Lalu, dalam ringkas waktu, dua putra yang menikahi perempuan-perempuan Moab, yaitu Orpa dan Rut, turut meninggal dunia. 

Ketika terpetik berita bahwa keadaan di kampung halamannya telah membaik, Naomi memutuskan untuk kembali. Kepada dua menantunya, Orpa dan Rut, Naomi menawarkan mereka untuk pulang ke keluarganya masing-masing.

Orpa berpamitan, lalu pulang ke kampungnya di Moab. Sebaliknya dengan Rut, ia memutuskan untuk ikut bersama Naomi, menuju kampung halaman mertuanya. 

Keputusan berbeda yang diambil Orpa dan Rut ini, dibaca secara berbeda. Rut dianggap sosok yang setia dan taat, sementara Orpa dipandang sebaliknya.

Orsila Murib sebagai Orpa dalam film Orpa (Foto: Akun Instagram @filmorpa)
Orsila Murib sebagai Orpa dalam film Orpa (Foto: Akun Instagram @filmorpa)

Orpa dari tanah Papua

Karakter utama dalam film Orpa adalah Orpa, yang diperakan oleh Orsila Murib. Nama Orpa dalam film ini mungkin tak membutuhkan makna lain selain berasal dari singkatan Orang Papua (Orpa).

Perempuan belia ini hidup di tengah keluarga, lingkungan, dan budaya patriarki yang kuat di tanah Papua. Orpa dipaksa ayahnya (Arnold Kobogau) untuk menikah dengan lelaki kaya dari Jayapura.

Orpa serta-merta menolak. Alih-alih mengikuti patron kuat yang berlaku, sebaliknya Orpa yang telah merajut impian panjang untuk belajar setinggi-tingginya, memilih untuk mewujudkannya.

Ketika dirasa tak lagi memiliki daya untuk menolak, Orpa memutuskan untuk melarikan diri dari rumah. Tujuan langkahnya adalah menuju Wamena. Namun, medan yang harus ditempuhnya tidaklah mudah untuk dijalani.

Rintangan seolah sempurna mengadang Orpa, saat datang dari kejaran ayahnya dengan bantuan warga masyarakat lainnya. Impiannya untuk menjadi sosok anomali atas "tradisi" pernikahan dini serasa sedmikian mewah untuk digapai.

Sebagai informasi, film Orpa adalah hasil karya yang lahir dari Sayembara Jendela Papua. Film ini kemudian diproduksi oleh Qun Films & Studio yang berbasis di Jakarta.

Film Orpa ditulis dan disutradarai oleh Theogracia Rumansara. Film ini adalah karya debut bagi Theo sebagai sutradara dan Orsila sebagai aktor.

Film Orpa merambah ke berbagai festival film internasional, seperti CinemAsia Film Festival 2023, Zabaikalsky International Film Festival 2023, dan Middlebury New Filmmakers Festival di Middlebury, Vermont, Amerika Utara.

Di JAFF (Jogja-Netpac Asian Film Festival) 2022, film Orpa masuk nominasi kategori Best Film, Best Directing, Best Storytelling, Best Cinematography, Best Editing, dan meraih penghargaan Best Performance  Indonesian Screen Awards bagi Orsila Munib.

Orpa yang nekat melarikan diri (Foto: Akun Instagram @filmorpa)
Orpa yang nekat melarikan diri (Foto: Akun Instagram @filmorpa)

Potret pernikahan usia dini di Indonesia

Kumparan.com pada Juni 2023 memberitakan bahwa isu pernikahan usia dini di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.

Berdasarkan data UNICEF per akhir tahun 2022, Indonesia berada di peringkat ke-8 di dunia dan kedua di lingkup ASEAN dalam hal pernikahan dini, dengan total hampir 1,5 juta kasus.

menurut data Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) RI, pengadilan agama menerima 55.000 permohonan dispensasi pernikahan usia dini sepanjang 2022. Ini hampir dua kali lipat jumlah serupa pada tahun sebelumnya.

Mash menurut Kumparan, hingga 2022 perempuan di bawah usia 16 tahun menjadi yang paling banyak terdampak dari kasus ini, yaitu sebanyak 14,15%. Prevalensi itu meningkat signifikan selama pandemi COVID-19.

Faktor pendorongnya, antara lain karena naiknya angka putus sekolah, kondisi ekonomi keluarga yang menurun, kepatuhan terhadap agama dan adat istiadat, dan pengaruh teman yang menikah dini.

Untuk tahun 2021, menurut Komnas Perempuan sebagaimana diberitakan Kompas.com, ada 59.709 kasus pernikahan dini yang diberikan dispensasi oleh pengadilan.

Jumlah ini agak menurun bila dibanding tahun 2020, yakni 64.211 kasus. Namun demikian, angka ini masih sangat tinggi apabila dibandingkan tahun 2019 dengan jumlah 23.126 pernikahan anak.

"Tren yang memprihatinkan ini terus berlanjut meskipun pemerintah telah mengamandemen Undang-Undang Perkawinan pada 2019, yang menaikkan usia minimum pernikahan menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki," tulis Kumparan.

Orpa meninggalkan rumah (Foto: Akun Instagram @filmorpa)
Orpa meninggalkan rumah (Foto: Akun Instagram @filmorpa)

Potret pernikahan dini di Papua

Wahana Visi Indonesia (WVI) memaparkan sekitar 24,71 persen anak di Papua menikah di bawah umur 19 tahun. WVI bahkan mencatat ada anak yang menikah di usia 10 tahun. Demikian pemberitaan cnnindonesia.com pada 15 Sep 2021.

Di kabupaten Asmat, angka pernikahan usia dini hampir mendekati 30 persen. Asmat menjadi daerah dengan angka tertinggi, kemudian disusul Jayapura sekitar 21,87 persen, Jayawijaya 18,23 persen, dan Biak Numfor 17,93 persen.

"Anak dianggap sebagai jawaban untuk keluar dari problem kemiskinan yang ada," tutur Agustinus Agung, salah satu peneliti WVI. Ada anggapan dari para orang tua bahwa menikahkan anak dapat menjadi solusi bagi permasalahan ekonomi.

WVI juga mendapati persentase yang tinggi pada kehamilan anak di bawah umur. Ia menyebut sebanyak 28,57 anak di Asmat pernah hamil. Sementara di Jayawijaya, jumlah anak yang hamil di bawah umur mencapai 20,65 persen, di Biak Numfor 17,94 persen, dan Jayapura 17,46 persen.

Sementara itu papua.tribunnews.com pada 8 Agustus 2022 memberitakan pernikahan dini di Kabupaten Merauke, melejit setiap tahunnya. Tahun lalu, tercatat sebanyak 900-an usia remaja melakukan pernikahan usia dini.

"Data tahun ini saya tidak hafal, namun pernikahan dini di Merauke memang tinggi. Ada 900-an orang melakukan pernikahan dini satu tahun kemarin," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Merauke, Delsiana Gebze kepada wartawan di Hotel Care Inn, Senin (8/8/2022).

"Data itu dari KUA terbanyak pernikahan dini terjadi di wilayah eks transmigrasi. Belum ada dari gereja dan Capil, saya yakin penduduk lokal pasti ada. Hanya secara data belum dilaporkan," ujarnya.

Banyak faktor menjadi penyebab pernikahan dini di Merauke. "Pertama, penyebabnya karena di beberapa wilayah eks transmigrasi mereka bilang melepaskan tanggung jawab ekonomi kepada anak," katanya.

Selain itu, kebutuhan ekonomi dan pemahaman anak remaja yang kurang tentang kesehatan reproduksi. Terparah, kata Delsiana Gebze, akibat kecelakaan atau hamil di luar nikah.

Film Orpa terinspirasi kisah nyata (Foto: Akun Instagram @filmorpa)
Film Orpa terinspirasi kisah nyata (Foto: Akun Instagram @filmorpa)

Refleksi film Orpa

"Film ini sebenarnya terinspirasi dari kisah nyata ya, bukan diangkat dari kisah nyata," ujar Theogracia Rumansara, sang penulis dan sutradara film Orpa, saat dtanya mediaindonesia.com.

"Waktu itu, saya punya teman kos perempuan, yang menikah di usia dini. Saya pikir, teman perempuan itu seumur dengan saya. 'Saya lahir 16 pohon natal yang lalu,'" kata Theo menirukan perkataan temannya tersebut.

"Saya pun kaget ketika itu. Dia waktu SD disuruh nikah dan dia menjadi istri ketiga karena itu dia tidak bisa tinggal serumah dengan suaminya. Dia tinggal di kos. Tapi ya tetap dikasih uang, dikunjungi oleh suaminya beberapa kali," lanjut Theo.

Film Orpa tentu tidak diproduksi untuk menyelesaikan permasalahan pernikahan usia dini di Papua, apalagi di Indonesia.

"Sejujurnya, saya hanya ingin menuangkan gambaran realita yang terjadi saat ini di tanah Papua," ujar Theo sebagaimana dikutip jayakartanews.com.

_

Sumber Informasi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun