Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Waktu dan Kisah-Kisah yang Tumbuh di Sepanjang Jalan Kompasianer

5 November 2023   03:29 Diperbarui: 6 November 2023   10:00 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampai di Danau Linow, Sulawesi Utara/Dokumentasi pribadi

Perasaan enggak enak untuk menolak membuat saya memutar otak. Untuk itu saya mencoba mengalihkan genre penulisan, berupa puisi atau cerpen untuk mengisi Kompasiana. Namun saat itu, Fiksiana belum lahir. Jadi secara tegas tertulis bahwa Kompasiana tidak menerima kedua genre tersebut--puisi, cerpen, atau fiksi lainnya. Duh!

Diajak Kompasiana ke Malaysia/Dokumentasi pribadi
Diajak Kompasiana ke Malaysia/Dokumentasi pribadi

Ketika Menang Lomba Kompasiana

Ketika sesekali menang lomba blog di Kompasiana, saya sangat beryukur. Bahkan, sempat terkejut. Bergabung pada Agustus 2013, saya menang lomba blog pada event Kompasianival tahun yang sama.

Pada 18 November 2013 saya menulis tentang "Ayah Paling Bodoh Sedunia". Tulisan ini mengantarkan saya untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Phuket, Thailand. Menyusul kemudian, ajakan jalan-jalan ke berbagai tempat lainnya, di luar negeri dan di tanah air.

Pay It Forward: Kompasiana dan Kompasianer

Pada masa itu, hadiah lomba blog (setidaknya menurut ukuran saya pribadi) sangat besar nilainya. Demikian juga honorarium untuk liputan khusus, berlipat-lipat besarnya dari fee nano-influencer era kini. (Juga menulis di koran dan majalah, selain honor yang besar, kesempatannya terbuka luas.) Lalu, bagaimana cara saya mengembalikannya?

Pertama, melalui biaya-biaya yang harus saya keluarkan untuk ke Jakarta menghadiri event-event tertentu yang diselenggaraka oleh Kompasiana. Biaya perjalanan, biaya akomodasi, dan biaya-biaya lain yang cukup besar untuk ukuran Jakarta dibandingkan dengan Yogyakarta. Termasuk pengeluaran awal saat merintis komunitas Kompasianer di Jogja.

Kedua, mengenai perintisan komunitas Kompasianer di Jogja, saya memulainya dengan "perasaan" dicurigai. Saya mengontak beberapa nama yang saya yakini berdomisili di Yogyakarta. Hasilnya, tidak semua memberikan respons antusias kala itu.

Beberapa Kompasianer yang pada akhirnya memberikan respons, dengan sikap penuh hati-hati, tidak sudi menerima kehadiran saya di rumah mereka. Kami pun membuat janji untuk berjumpa di pagi hari dan di ruang publik yang ramai.

Tidak sulit menularkan "virus" untuk berkomunitas, sebab perjalanan saya di dunia literatur cukup panjang untuk dijadikan bahan motivasi dan Yogyakarta sendiri memiliki sejarah panjang dalam melahirkan puluhan bahkan ratusan penulis. Sebagian di antara mereka berhasil meraih level nasional hingga internasional.

Saya membaca sejarah masa lalu Jogja ini. Sepanjang kisaran 2 kilometer antara Tugu Golong Gilig hingga Kantor Pos Besar Yogyakarta, Jl. Panembahan Senopati, itulah panggung bagi kumpulnya para sastrawan dan seniman yang kemudian menjadi orang top di berbagai tempat.

Maka, dalam ringkas kata, lahirlah komunitas Kompasianer Jogja (KJOG).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun