Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Imlek dan Sembahyangan, Lauk dan Buah Sajian Mengusung Makna

15 Februari 2022   23:42 Diperbarui: 16 Februari 2022   00:09 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hidangan Khas Imlek (Foto: Tribun Manado via Kompas.com)

Agak lucu didengar bila saya membuat pengakuan bahwa saya adalah (turunan) etnik Tionghoa yang abal-abal. Banyak alasan untuk dikemukakan, terutama bagi siapa pun yang mempertanyakan hal ini.

Saya tumbuh di tengah keluarga yang status keberadaannya miskin dan hidup di desa. Ketika ayah serta paman dan tante mulai besar, kakek dan nenek saya pindah ke kota kecil bernama Donggala.

Seperti apakah kota Donggala di Sulawesi Tengah itu? Ketika mulai remaja dan merantau untuk bersekolah ke pulau Jawa, saya menggambarkannya sebagai kota di kaki gunungan tepi pantai. Jawaban paling praktis bagi siapa pun yang bertanya.

Orang Tionghoa seperti keluarga saya, yang apabila dikastakan, bukanlah kasta terdidik yang berkebudayaan tinggi. Lebih mirip dengan sebutan Tionghoas "abangan". Lebih larut pada budaya lokal wong ndeso di pedalaman Sulawesi Tengah.

Mereka banyak menghabiskan usia produktif di era pemerintahan Orde Baru (Orba) yang menerbitkan banyak larangan. Makanya, satu-satunya yang mampu saya ingat semasa kecil adalah adanya altar kecil untuk menyembahyangi leluhur.

Selebihnya, saya hanya tahu disebabkan Imlek yang semata-mata ditandai baju baru, silaturahmi, dan dapat angpoa. Tidak ada acara besar, sebab di kota kami tidak ada kelenteng. Sembahyangan di rumah dan sekadarnya.

Ketika datang era kebebasan karena jasa alm Gus Dur, saya sudah tumbuh di kota besar di pulau Jawa dan memeluk keyakinan lain. Tak ada lagi altar leluhur. Imlek menjadi sama seperti perayaan agama lainnya--bahkan terkesan lebih kecil.

Justru dari bacaanlah, sebagaimana siapa pun yang tertarik membacanya, saya tahu lebih banyak tentang Imlek dan lainnya. Bahkan mengenai sajian sembahyang, saya lebih memahaminya saat ini. Dahulu, sewaktu kecil, tahunya cuma "asyik, makan enak nih".

Sekarang saya menyadari dan takjub betapa menu-menu sembahyang menghadirkan keseimbangan dari sisi kesehatan. Polanya selalu sama: Ada daging, ada buah-buahan. Dan ternyata, semua punya makna.

Sebagai misal, dalam perayan Imlek dihadirkan ayam atau bebek. Keduanya biasanya disajikan secara utuh. "Hidangan ini melambangkan kesetiaan dan ketaatan," tulis Kompas.com Sebab, ayam atau bebek konon ditengarai sebagai hewan serakah.  Tujuan hidangan ini agar yang memakannya terhindar dari sifat buruk tersebut.

Bagian kedua, selalu ada hidangan buah-buahan. Ternyata, ada buah yang memang wajib dihadirkan sesuai dengan makna yang diusung. Dalam perbincangan, disebut-sebut bahwa jeruk misalnya, adalah buah yang melambangkan keberuntungan. Sementara apel adalah buah yang menyimbolkan keselamatan.

Namun sajian ini di kota Donggala kala itu tidaklah demikian. Dalam keterbatasan, keluarga saya hanya menghadirkan apa yang ada di sana. Misalnya, hanya ayam yang menjadi pilihan karena bebek bukan santapan umum.

Demikian juga dengan buah-buahan, sesuai dengan kondisi yang ada di sana pada saat itu. Yang saya ingat, jeruknya kecil-kecil. Sementara apel, masih terasa mustahil karena hanya ada di pulau Jawa. Jauh berbeda dengan kota-kota modern di Jawa.

Kebutuhan lauk dan buah-buahan untuk sembahyangan atau merayakan Imlek, pada masa kini, tidak lagi menjadi persoalan yang pelik. Dengan mudah kita jumpai bukan hanya di toko buah besar, melainkan juga di "jalan menuju rumah kita".

Untuk lauk, bisa dibeli di resto-resto favorit, tinggal pilih mana yang paling lezat. Demikian juga untuk buah-buahan, kini tersedia dengan kualitas sangat baik. Berbagai buah pilihan tepercaya tidak memusingkan kita dalam memilihnya.

Untuk urusan terakhir ini, terasa mudah untuk didelegasikan atau menitipkan ke orang lain untuk membelinya. Tinggal menyebutkan "tolong belikan yang Sunpride, ya" maka perhatian kita bisa dialihkan untuk mengurusi yang lain. Tidak dibutuhkan waktu dan pikiran untuk beremeh-remeh soal mutu, sebab hanya itu satu-satunya pemegang sertifikat GAP.

Perhatian kita selebihnya adalah yang jauh lebih asyiknya. Apa itu? Menyiapkan angpoa bagi yang telah menikah untuk diberikan kepada anak atau ponakan-ponakan. Dan, menyiapkan hati yang berdebarkan untuk menerima angpao.

Urusan ini cukup menarik. Pertama-tama adalah mencari amplop-kecil-merah yang menarik untuk dibeli. Desainnya sangat variatif dan memukau mata. Namun, kita harus berhati-hati. Apalagi menggunakan yang menampilkan shio, jangan sampai tertukar shio lama karena amplopnya stok lama.

Lainnya? Tak kalah serunya adalah memburuh uang baru untuk angpao. Mengapa? Sejak Bank Indonesia (BI) tak lagi melayani penukaran uang, maka kita harus berburu ke bank-bank terutama di mana kita adalah bagian dari nasabahnya.

Uang untuk angpao harusnya elok, oleh karena itu menggunakan uang baru adalah sepantasnya demikian. Selain itu, sekadar tips ala saya, gunakan uang pecahan seratus ribu. Ups, ada apa ini? Sederhana saja: sebab warnanya merah. Kan Imlek adalah momentum bermerah-merah sebab melambangkan hoki. Akur?

Begitulah sekilas pintas. Kisah bagian terakhir ini menjadi keseruan saya sebab saya kan sudah menikah. Sudah saatnya berbagi angpao. Hiks, tidak lagi dalam posisi menerima. Namun, percayalah, baik dalam status menerima maupun memberi, sama-sama teramat membahagiakan.

Well, selamat Imlek buat yang merayakannya! Gong Xi Fat Cai! Segala berkah terbaik kiranya melingkupi hidup Anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun