Bens Leo dikenal sebagai jurnalis dan pengamat musik kawakan tanah air. Bernama sejati Benedictus Hadi Utomo, ia memulai karier dengan menulis tentang Koes Plus dan dimuat di harian Berita Yudha. Ia kemudian berkiprah di majalah musik Aktuil. Sempat bergelimang musik untuk majalah Gadis dan menangani majalah Anita Cermerlang. Buku layaknya biografi tentang dirinya terbit beberapa bulan lalu, mengambil judul Bens Leo dan Aktuil - Jejak Jurnalisme Musik.
Dear Kompasianer,
Lembar kalender bulan November 2021 belum juga berakhir tatkala tiba kabar duka itu, bahwa Bens Leo telah meninggalkan kita. Beberapa orang penting tanah air yang dekat almarhum, terutama kolega kerja di masa lalu, telah menuliskan semacam obituari personal masing-masing.
Saya hanya membaca dan membayangkan wajah beliau yang terekam dalam perjumpaan fisik terakhir di Yogyakarta. Tak ada rencana untuk menuliskan hal yang sama. Sebab, saya tak memiliki kapasitas, intensitas, dan interaksi selayak mereka untuk menutur ulang dalam narasi in memoriam. Saya hanya menyelipkan pesan di lama komentar Facebook rekan sejawat beliau di majalah remaja Gadis.
Sebersit niat itu baru mencuat tatkala tanpa sengaja menjumpai Topik Pilihan Kompasiana dengan tajuk "Selamat Jalan Bens Leo". Tanpa berpretensi menuliskan unggahan in memoriam, saya ingin menggoreskan kenangan kecil berkenaan dengan Bens Leo untuk mengungkap kebaikan hatinya.
Ketika mula-mula saya mengetahui nama Mas Bens, tak ada arti khusus dalam benak remaja saya. Siapa dia? Saya tidak mengenalnya secara spesifik. Sekadar alfabet dalam deretan nama kru atau staf majalah Gadis.
Nama ini tidak memiliki relevansi dengan saya secara pribadi, melainkan majalah Gadis. Majalah ini teramat memikat saya disebabkan satu dan dua hal. Ini berkenaan dengan darah muda saya yang sedang menggejolak dalam hal belajar menulis. Dan kelak, membutuhkan media untuk berekspresi.
Pertama-tama, tentu saja karena majalah Gadis memiliki rubrik yang sangat menawan dan menantang buat penulis potensial dan newbie seperti saya. Antara lain apabila diurut berdasarkan halaman, ada rubrik berisi cerita mini (cermin) sebelum sampai pada halaman cerpen. Cermin adalah cerpen dalam format ringkas, sependek satu halaman majalah.
Ada pula rubrik puisi yang keren, diasuh oleh Agus Dermawan T yang pernah saya jumpai di kantor redaksi majalah Gadis. Mas Agus adalah seorang tokoh dengan kurasi puisinya yang, walau terbuka luas untuk segmen remaja, keren-keren. Dalam setiap edisi, kaplingnya tidak tanggung-tanggung, dua halaman penuh. Itu sebabnya halaman puisi sangat memadai untuk disusupkan artikel apresiasi sastra populer.
Rubrik-rubrik ini menggoda untuk diikuti secara reguler, sebab terbuka dalam menerima naskah kiriman dari pembaca. Selain itu, ada satu rahasia kecil lagi, honorarium pemuatan naskah di majalah Gadis, termasuk besar. Sangat membahagiakan dalam ukuran dompet mahasiswa.
Dipicu oleh hal ini, saya membeli majalah Gadis secara rutin. Sebulan, tiga kali terbit. Banyak ilmu yang membuat pembaca jadi pintar, di samping mendapatkan hiburan yang level informasinya keren. Tak ada penyesalan rutin membelinya, meski uang saku berkurang teratur tiga kali dalam sebulan.
Perhatian saya kemudian semakin meluas, melingkupi rubrik-rubrik lain. Beberapa tulisan tentang musik, mulai menarik perhatian untuk dibaca. Sebagian besar bagi saya, ditulis bukan saja dengan menarik, tetapi juga dengan sudut penceritaan yang berbeda. Dari sini kemudian saya tahu siapa orang di balik itu. Bens Leo!
Dear Kompasianer,
Saya sangat ingat momentum ini, tetapi tidak lagi mampu mengingat bagaimana bisa membaca tentang diri (bio) Bens Leo di majalah itu. Namun, kata kunci yang menggerakkan saya adalah karena diungkap bahwa Bens Leo berasal dari Surabaya sebelum menempuh karier di Jakarta.
Saat itu, saya sedang berdomisili di Surabaya untuk menempuh pendidikan jenjang SMA. Pada momentum itu, saya sedang berpikir keras akan kuliah apa dan di mana. Di antara sedikit yang menarik perhatian, salah satu alternatif yang terpikirkan adalah hijrah kuliah ke Jakarta.
Minimnya sumber informasi tentang kehidupan perkuliahan dan dunia akademik usai SMA pada era itu, membuat saya nekat. Saya menyurati "kakak asal Surabaya" itu. Untuk bertanya, meminta informasi, dan berkonsultasi sebagai masukan buat pergumulan saya.
Saat mengirimkan surat itu, saya tak berani berharap banyak dan muluk. Namun kenyataan berkata lain. Rupanya surat saya diterima dan ditangani dengan sangat baik oleh pihak majalah Gadis. Surat menggunakan perangko itu sampai di meja redaksi Mas Bens. Dan, fantastisnya bagi saya kala itu, dibalas olehnya. Itu sangat berarti buat seorang saya.
Surat bersejarah itu tak ada lagi dalam genggaman saya. Namun, peristiwa kecil dengan kenangan besar itu terpatri lekat dalam ingatan. Apalagi, surat tersebut tidak dituliskan menggunakan mesik ketik. Melainkan menggunakan tangan. Ya, tulisan tangan seorang Bens Leo.
Saya tak pernah berani berharap sedemikian besar, itu pula sebabnya terasa manakjubkan. Seseorang dengan status dan (pastinya) sesibuk jurnalis dan "aktivis" musik Bens Leo, masih berkenan mambaca dan menjawab surat seorang "anak kecil" di antara banyaknya surat yang mungkin ia terima setiap hari saat itu.
Dear Kompasianer,
Pada akhirnya, hijrah ke Jakarta tidak pernah menjadi buah pilihan saya untuk menempuh kuliah. Melalui banyak pertimbangan, saya menemukan ketetapan untuk berdomisili di Surabaya. Namun tetap saja pilihan itu terjadi, yaitu fakultas yang saya incar dan jadi pilihan, berada di bawah pengaruh majalah Gadis.
Waktu kemudian berlalu, hari-hari saya disibuki kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya). Di sela-sela tuntutan kuliah dan kegiatan lain, waktu saya juga semakin tersita untuk rajin menulis dan mengirimkannya ke berbagai media massa, dan menikmati honorarium buat menopang uang saku.
Salah satu majalah remaja yang intens saya ikuti selain majalah Gadis adalah majalah Anita Cemerlang. Berbeda dengan Gadis, majalah Anita Cemerlang menitikberatkan isinya pada fiksi sebab posisinya adalah majalah kumpulan cerpen (kumcer).
Di tahun-tahun saya mulai kurang aktif lagi menulis di majalah Anita cemerlang, saya membaca pemberitahuan bahwa Bens Leo telah bergabung di majalah ini. Ia mengemban tugas sebagai Pemimpin Redaksi dan membawa orientasi baru bagi majalah ini sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman kala itu.
Berlipat-lipat waktu kemudian, saya tak menyangka bila di awal masa pandemi Covid-19, saya masih berkesempatan melihat sosok itu di Yogyakarta. Perawakannya belum juga berupa: Ramping. Seolah tak bisa gemuk adalah ciri khas dirinya yang paling paten.
Kala itu, dalam situasi protokol kesehatan (prokes) ketat, tidak mudah bergerak di antara sekitar 80-an peserta. Mas Bens juga tampak sibuk dengan para senior yang mengampu lokakarya  penulisan yang diusung oleh Kemenparekraf ini. Saya pun mengurung diri untuk menemui dan menyapa empat mata.
Kabar paling anyar yang beredar dan saya baca di WhatsApp Group berkenaan dengan sosok Bens Leo adalah saat ia meluncurkan buku. Judul buku itu adalah "Bens Leo dan Aktuil - Rekam Jejak Jurnalisme Musik". Terasa melegakan, sebab buku ini mengabadikan kiprah yang sangat bermakna.
Lalu, semuanya kini sepenuhnya telah mewujud sebagai kenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H