Lebih dari 20 juta orang, lebih dari 8 persen penduduk Indonesia, adalah penyandang disabilitas. Di dalamnya ada pasien kusta, penyandang disabilitas karena kusta, dan orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK).
SETAHUN telah terlampaui dalam rentang linimasa, Maret 2020 hingga kini. Rasa-rasanya seluruh orientasi jagat kehidupan umat manusia berubah drastis. Perbincangan lisan dan tertulis, bahkan yang berkelindan di benak kita, dikepungi oleh badai pandemi Covid-19.
Turut serta dalam kumparan ini adalah soal-soal ekonomi dan sosial. Topik-topik lain, termasuk isu-isu terkait kesehatan lainnya, seolah lepas dari ingatan kita. Namun kiranya tak terjadi demikian dalam runtut kerja para pemangku kepentingan (stakeholder).
Terkait topik kesehatan, turut menjadi tanda tanya bila kita memasuki ranah terkait para penderita Kusta ( Morbus Hansen). Mengingat dalam kondisi kehidupan yang berjalan sebagaimana biasanya saja, mereka telah cukup berat menitinya.
Pertanyaan-pertanyaan seputar ini bermuara pada acara perbincangan di Ruang Publik KBR bekerja sama dengan NLR Indonesia via Zoom dan Live streaming (22/07/21), yang kemudian dapat diakses bebas di kanal YouTube KBR.
Tajuk "Akses Kesehatan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas termasuk Orang dengan Kusta" menjadi sangat relevan dengan situasi pandemi, khususnya masa Perberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Kedua narasumber, Suwata (Dinas Kesehatan Kab Subang) dan Ardiansyah (Aktivis Kusta dan Ketua PerMaTa Bulukumba) menyuarakan hal sama. Dalam kondisi kondusif pun beban yang harus ditanggung oleh para penderita sudah cukup berat.
Diskrimasi dan Stigma
Bagi Suwata kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih menimbulkan masalah yang sangat kompleks dan membawa akibat disabilitas ganda. Secara fakta, mereka mengalami disabilitas secara sensorik dan motorik. Sudah demikian, harus pula berhadapan stigma dalam masyarakat.
Suwata bercerita bahwa di Subang kusta masih menjadi permasalahan di masyarakat. Ini tak lepas dari minimnya pengetahuan masyaraat serta adanya pemahaman atau kepercayaan yang keliru.
Persepsi negatif ini muncul dalam masyarakat dan melekat kuat. Alih-alih seseorang dengan gelaja kusta mendapatkan pengobatan dini, malah apa yang mereka alami kerap kali dipersepsi secara berlebihan--misalnya sebagai kutukan kehidupan.
Hal ini dibenarkan Ardiansyah yang aktif di komunitas PerMaTa Bulukumba. Ia menggarisbawahi tentang perlakuan diskriminasi atau stigma yang masih berkembang di masyarakat. Untuk itulah Ardiansyah dan komunitas tergerak memberikan pemahaman dan edukasi yang dibutuhkan.
Hal lain yang terjadi misalnya, penderita kusta kerap belum bisa mengakses pelayanan di Rumah Sakit Umum (RSU). Mereka malah dirujuk ke rumah sakit di luar dari Kab Bulukumba. Umumnya masih dilayani Puskesmas. Sementara yang ideal, mereka sebaiknya dilayani di Rumah Sakit Kusta.
Di Tengah Pandemi
Covid-19 boleh saja mengambil porsi perhatian terbesar. Namun, kusta tidak bisa diabaikan. Dalam kesempatan itu Suwata memaparkan data-data yang masih memprihatinkan. Dalam tiga tahun terakhir, ungkapnya, cacat tingkat dua di Kabupaten Subang menunjukkan kenaikan.
Pada 2018, terdapat 7 kasus cacat di mana itu adalah 5 persen dari keseluruhan kasus yang ditemukan. Pada 2019, ditemukan 9 kasus (7,9 persen). Dan pada 2020, tercatat 12 kasus yang menunjukkan angka 11 persen.
Tak hendak berdiam diri, menurut Suwata, ada berbagai upaya yang dilakukan. Selama ini, selain adanya forum SKPD peduli disabilitas, telah dilakukan advokasi terkait undang-undang yang mengatur hal ini. Juga dilakukan integrasi peran pemangku kepentingan kesehatan dan meningkatkan peran masyarakat.
Fokus yang prgoram prioritas meliputi pengedalian penularan, pencegahan kecacatan, pemberdayaan peningkatan pola hidup, pengurangan stigma dan diskriminasi, serta inspirasi perubahan perilaku melalui tokoh-tokoh masyarakat.
Strategi Adaptif
Berkenaan dengan situasi kekinian, Suwata juga mengungkapkan strategi khusus yang patut ditiru bagi daerah-daerah lain. Suwata menyebutkan lima hal utama terkait akses inklusif yang bisa ditempuh.
Pertama, mendekatkan layanan kepada yang membutuhkan, yang dalam hal ini terkait penyakit kusta. Dalam upaya ini dihadirkan kelompok-kelompok perawatan diri. Termasuk program homecare yang dilakukan perawat.
Kedua, peningkatan kemampuan (skill) dan kapasitas petugas kesehatan. Ini dicapai melalui pelatihan dan integrasi program. Ketiga, berupa peningkatan peran serta masyarakat yang melibatkan tokoh-tokoh di tingkat desa.
Keempat, melakukan pemenuhan terkait logistik semisalnya obat-obatan yang dibutuhkan. Kelima, pemenuhan jaminan kesehatan bagi Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK). Sebab OYPMK termasuk dalam golongan warga yang termajinalkan--termasuk aspek ekonomi.
Demikian ringkas kata yang bisa diungkap di sini. Untuk mengetahui keseluruhannya, Anda bisa menyimak perbincangan berikut:
Harapan
Dari perbincangan ini, terungkap betapa krusial peran elemen masyarakat. Dalam program besar mengenyahkan kusta dari tanah air, ini kontribusi nyata yang bisa disumbangkan oleh kita semua.
Langkah-langkah dasar yang bisa dilakukan, tergolong sederhana. Mulai dari munculnya pemahaman yang benar untuk menjauhkan diskriminasi atau menepis stigma. Hingga peran sebagai sesama melalui keaktifan mengambil bagian dalam lingkup komunitas.
Dalam menumbuhkan optimisme, diharapkan kondisi yang diterima OYPMK akan membaik seiiring meredanya pandemi Covid-19. Apa yang kita alami saat ini terlampau berharga untuk tidak memberi dorongan bagi para pemangku kesehatan untuk berbuat lebih baik. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H