Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film "The Teacher's Diary", Pesan Edukatif dalam Balutan Romansa

4 Maret 2021   23:07 Diperbarui: 4 Maret 2021   23:32 1031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Channel Youtube GTHchannel

Lebih dari 12 tahun telah berlalu. Semenjak tayang perdana film Laskar Pelangi, 26 September 2008. Film tentang dunia persekolahan itu mencatat momentum sukses.

Film yang diadaptasi dari novel ini, melengkapi jejak ledak bukunya. Tidak kurang dari 4,6 juta penonton telah menyaksikannya. Ini angka berdasarkan titimangsa Maret 2009.

Pertengahan 2009, gerakan Indonesia Mengajar dimulai. Jejak waktunya, mendekati 12 tahun. Dalam kurun waktu pendek, saat itu, gerakan ini berhasil tumbuh subur di ranah yang telah gembur.

Dalam rentang dua momentum itu, ada banyak kisah yang menyeruak. Baik tersebar dan viral melalui media massa, maupun yang beredar dari mulut ke mulut. Sebagian, menjadi kisah yang dituturkan secara pribadi.

The Teacher's Diary

Sumber: Channel Youtube GTHchannel
Sumber: Channel Youtube GTHchannel
Saya melemparkan diri ke kurun waktu tersebut usai menyaksikan film The Teacher's Diary. Usai larut dalam cerita film ini, saya baru menyimak. Ini film produksi Thailand, rilis 6 tahun selewat Laskar Pelangi.

Saya menemukannya secara tidak sengaja. Posternya muncul di belahan jemari saya. Di layar kaca ponsel. Saat saya menggeser tampilan aplikasi Genflix.

Cerita film ini memiliki kemiripan sekaligus kelainanan yang sangat berbeda. Dalam konteks kisah kisah Laskar Pelangi dan dunia Indonesia Mengajar. Hm, terdengar paradoks? Bukan itu yang dimaksudkan.

Menggunakan kata lain, mungkin lebih pas. Izinkan saya menyebutnya sebagai "varian lain" dalam kolam tema persekolahan. Film yang diperankan Sukrit Wisetkaew dan Laila Boonyasak ini, lebih fokus lebih ke dinamika hidup guru muda.

The Teacher's Diary mengisahkan tentang dua guru muda yang "terdampar" untuk mengajar di pedalaman. Di sebuah sekolah di atas air, yang disebut Baan Gaeng Wittaya (Sekolah Rumah Perahu).

Pergulatan keduanya, disajikan secara unik. Dijejerkan paralel, dalam linimasa berbeda. Ann (Laila Boonyasak) menjalani tahun ajaran sebelumnya, Song (Sukrit Wisetkaew) pada tahun ajaran sesudahnya.

Mereka menjalani dinamika yang "berbeda tetapi mirip". Polanya, mudah dikenali. Di sisi guru, sejumlah problem adaptasi datang bergelombang. Di sisi murid, serenceng kendala mengadang.

Genre Segmen Anak Muda

Sumber: Channel Youtube GTHchannel
Sumber: Channel Youtube GTHchannel
Di sinilah ruang besar kisah dimainkan. Semakin leluasa saat cerita film ini diletakkan pada genre komedi. Terasa miris dan menerbit banyak tawa, terasa iba sekaligus suguhan kekonyolan.

Dalam laju kamera di dua linimasa, kedua karakter tokoh utama ini dipertemukan lebih sebuah buku diary peninggalan (atau tertinggal?) milik Ann. Buku ini sekaligus semacam panduan bagi Song untuk tak menyerah pada keadaan.

Di dalam saling-silang berbagi rasa lewat diary ini, mereka perlahan merasakan semaian perasaan saling suka. Maka, lengkaplah genre yang membungkus film ini, yaitu Romance Comedy (Romcom).

Di sinilah perbedaan film ini dari Laskar Pelangi. Tidak ada obsesi untuk menghadirkan motivasi, inspirasi, wejangan, atau sejenisnya untuk mengobok-obok kalbu agar menjadi film genre lain.

Genre Romcom dan karakter tokoh yang dihadirkan mempertegas film ini menyasar segmen anak muda. Pasar yang sama dengan para Guru Muda dalam program Indonesia Mengajar.

Sampai di sini, saya kemudian bergumam. Mengapa bukan insan perfilman kita yang menggarap film semacam ini? Yang ceritanya tidak berpretensi berat, melainkan cair dan menyesap ke dalam hati terdalam.

Nilai Edukatif

Sumber: Channel Youtube GTHchannel
Sumber: Channel Youtube GTHchannel

Pisau opini Anda mungkin akan membedah tajam. Bahwa nilai edukatif film ini, terasa minim. Sebab, yaitu tadi, tanpa pretensi menjadi "film promosi pendidikan". Yang dikejar-kejar "harus berbobot tinggi".

Film ini sangat natural. Karakter-karakter tokohnya, tampil manusiawi. Sebagai misalnya, jumlah murid Ann sebanyak 7 orang. Saat dilanjutkan Song, muridnya tak lagi lengkap. Mungkin karena sudah lulus, mungkin juga karena "mrotoli".

Selain itu, tiap-tiap anak atau pelakon utamanya, tidak digambarkan atau dijadikan sebagai sosok "hero". Semua dengan cacat-manusiawinya. Mereka bertumbuh perlahan, sebagaimana kita dalam kehidupan nyata.

Satu-satunya bagian yang membosankan adalah panjang durasi yang digunakan sutradara Nithiwat Tharathorn dalam upaya mempertemukan secara fisik Song dan Ann.

Demikian pula kita serasa membenci kebimbangan Ann untuk memilih pada siapa ia ingin berbahagia. Seolah kehilangan akal dalam menggerakkan plot atau alur. Namun, film ini ditutup dengan manis.

Buat yang mempertanyakan titik balik keputusan Ann pada bagian akhir dalam adegan lintasan kereta api, tidaklah sulit untuk menjelaskannya. Ini film berbasis genre romansa, yang dalam uraian definitif berarti "pencarian kebahagiaan melalui cinta".

Selebihnya, film ini sangat menghibur.

Behind the Scene

Menemukan film ini untuk saya sukai, adalah sebuah kisah kecil tersendiri yang layak diceritakan. Ini adalah film kedua yang saya tonton melalui aplikasi Genflix.

Jika diurutkan, film pertama semenjak saya menggunakan Genflix adalah Joy. Sebuah kisah sederhana dengan setting cerita di pedesaan. Tentang kehilangan beruntun yang dialami seorang anak perempuan semenjak usia 7 tahun.

Joy bertutur tentang serangkaian nestapa, sebelum sang tokoh utama menemukan "joy"--dalam makna sejati. "Joy" (sukacita) bukanlah "happy" (bahagia). "Joy" memiliki kedalaman melebihi "happy". Jika Anda tidak percaya, telusurilah makna kedua kata ini.

Genflix bagi pengalaman saya, menghadirkan spektrum lebih luas dalam membuka kemungkin luas menikmati film-film dengan banyak variasi. Buka hanya soal kekayaan cerita dan negara asal--misalnya seantero Asia.

Ada sisi lain, yang rasanya perlu saya ungkap di sini. Ini soal keberpihakan Genflix pada film-film (produksi) anak bangsa. Rasanya perlu digarisbawahi, bukan hanya oleh saya seorang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun