Dear Pak Tjip, apa kabar Bapak di sana? Di sini, hujan masih sering turun. Sering kali beruntun hingga ganti hari belum juga reda. Banyak kegiatan terhenti, memaksa saya duduk untuk berpikir atau merenung, berdiam atau melakukan sesuatu secara terbatas.
Kapan Bapak akan melakukan perjalanan lagi ke Yogyakarta? Ah, sayang masa-masa itu saya tidak ada. Kita saling mengenal ketika Bapak sudah jarang ke Indonesia atau singgah di Yogyakarta. Namun tidak apa-apa, Bapak hanya sejauh klik ke alamat Kompasiana dotcom. Lagi pula, tidak baik ke mana-mana.
Kondisi pandemi Covid-19 dan cuaca sedang tidak bersahabat. Sebagian wilayah Yogyakarta sebaiknya tidak dikunjungi karena termasuk zona tidak aman. Berguyup bersama keluarga di rumah adalah tindakan yang bijaksana.
Mengekang keinginan untuk pergi-pergi adalah krusial, agar kita dan orang-orang di sekeliling kita aman dan sehat. Dengan tindakan "sederhana" inilah kisa bisa turut berkontribusi dalam mengerem penyebaran vuris.
Oya, mengingat Bapak membuat saya ingin menceritakan sebuah kisah yang baru saja selesai saya baca. Judulnya "Perak dan Emas", ditulis oleh seseorang bernama Laura L. Padgett. Kisah ini terselip di antara sekian banyak cerita yang terhimpun dalam buku Chicken Soup for the Soul: Think Possible.
Pak Tjip dan Laura, tentu saja tidak bisa dibandingkan secara apa adanya. Apalagi, perbedaan gender jelas terpampang di hadapan kita. Namun, terdapat kemiripan dalam hal apa yang dilakukan. Laura mulai belajar menari dan Bapak mulai menulis--terutama yang kami kenal melalui medium di Kompasiana dotcom.
Pada usia pertengahan empat puluhan, Laura memutuskan untuk belajar menari. Ia menyukainya. Tahukah Bapak apa yang kemudian ia alami? Ia menuai cemoohan dari teman-temannya. Mereka tidak mendukung dan berusaha menjauhkannya dari kegiatan itu. Namun Laura tidak menyerah. Ia berteguh hati mengikuti kursus tari secara konsisten.
Suatu ketika, Laura didorong mengikuti kompetisi tari. Terhadap hal ini, sebenanya ia sama sekali tidak berminat. Namun tantangan ini akhirnya diterima olehnya karena mendatangkan manfaat untuk meningkatkan kemampuannya menari. Alhasil, dalam tahun demi tahun yang ia lewati, ia berhasil mengumpulkan beberapa medali--meskipun hanya perunggu dan perak.
Kisah itu kemudian agak mengejutkan, saat Laura berhasil meraih medali emas pada usianya yang lima puluhan. Padahal, lomba yang satu ini sangat kompetitif dan bergengsi. Ia berhasil merengkuh emas pertama. Namun, pada saat bersamaan ia mengalami peristiwa yang sangat membuat malu dan terpukul.
Tahukah Bapak, Laura mendapat lemparan sepatu nari dari seseorang. Hal ini dilakukan oleh seorang peserta yang gagal merebut medali emas itu. Sembari itu, ia melancarkan kecaman dengan kata-kata keras. "Kau tidak berhak atas medali itu, Padgett. Kau terlalu tua untuk menari ...."
Selewat tahun itu, Laura berhenti mengikuti lomba nari apa pun. Namun, bukan karena peristiwa pelemparan sepatu itu. Bukan pula akibat cercaan yang ia terima. Sebab hanya karena Laura menyadari usianya sudah tidak lagi memadai untuk mengikuti lomba yang ketat dan sulit. Ia telah cukup mensyukuri medali-medali yang pernah diraihnya.
Ringkas kata, atas semua yang ia alami, Laura sampai pada refleksi diri yang mengagumkan. Ia beranggapan bahwa medali-medali yang pernah diterimanya itu seperti telah disediakan begitu saja baginya. Untuk ia gunakan sebagai contoh apabila seseorang mengeluh tidak berhasil meraih impiannya lantas menyalahkan usia, kemampuan, atau tidak tahan terhadap kritik.
Jika ada seseorang yang ngomong seperti itu, kata Laura, ia akan langsung memberikan undangan ini. "Bersediakah kau datang ke rumahku untuk minum teh? Aku ingin menunjukkan sesuatu."
Sekali lagi, tentu saja Bapak tidak bisa dibandingkan secara adil dengan apa yang dialami oleh Laura L. Padgett. Namun, bagi saya ada kemiripan atau untaian benang merah perihal Bapak yang terus menulis tanpa lelah di Kompasiana. Tentu saya yakin Bapak menghadapi tantangan tersendiri, entah besar atau kecil, untuk setia melakukannya.
Setiap kali tulisan Bapak muncul di Kompasiana, mungkin tanpa Bapak sadari, sebenarnya Bapak sedang menyampaikan pesan kepada orang-orang muda untuk tetap dan terus produktif. Agar tak henti menulis, meraih impian untuk menjadi pengabar informasi dan gagasan yang positif. Terutama di tengah banjir konten negatif atau hoaks saat ini.
Bapak, dan tentu juga Ibu, telah memberikan teladan kepada orang-orang muda untuk konsisten dan persisten. Dalam makna yang lebih luas, lebih dari sekadar aktivitas menulis. Saya termasuk di dalam barisan ini, yang menerima teladan Bapak. Â Oleh sebab itu, seperti Laura, saya ingin mendapatkan undangan untuk ke rumah Bapak. Undangan minum teh sambil.
Pak, Saya janji untuk duduk manis sambil mendengarkan Bapak bercerita tentang semangat yang tak kunjung padam. Sudah pasti saya akan merasa sangat terhormat untuk undangan itu.
Pada akhirnya, harapan saya kiranya Bapak berkenan menerima surat dengan pesan "nakal" di bagian akhir ini. Sementara berharap Bapak tidak marah, saya ingin mengakhirinya surat ini dengan meminta satu hal kepada Bapak. Tidaklah sulit untuk dipenuhi, yaitu sampaikan salam manis buat Ibu Roselina. Saya menduga, beliaulah yang akan menghidangkan teh untuk kita. Hahaha.
Demikian, Pak. Sampai kita bersua lagi melalui tulisan.
Salam Gudeg dari Jogja,
~khun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H