Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hore! Ke Bali Belajar, Kembali Belajar

3 Januari 2021   23:59 Diperbarui: 4 Januari 2021   00:27 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi: Pixabay

Apa makna kembali belajar bagi seorang anak bila dalam kesehariannya ia sudah merasa libur tiada henti. Atau, apa pula arti kembali belajar buat seorang anak manakala dalam kesehariannya ia telah berada dalam suasana--dalam makna positif--tidak pernah libur?

Mari kita perbincangkan.

Saya selalu suka dengan kategorisasi ini. Setidaknya buat diri saya atau perbincangan pribadi saya dengan orang lain. Saya gunakan di sini untuk meletakkan latar yang ada di benak saya terkait topik yang kita percakapkan ini. Bahwa pendidikan atau pembelajaran akan lebih mudah kita pahami melalui tiga ranah ini.

Pertama, apa yang disebut sebagai Pendidikan Formal. Ini jenis pembelajaran yang kita dapatkan melalui lembaga pendidikan resmi. Belajar secara resmi, mengikuti kurikulum, ditempuh dalam kurun waktu tertentu. Berlangsung dalam jenjang-jenjang yang kita pahami selama ini.

Kita tahu, Sekolah Dasar (SD) berlangsung selama enam tahun. Sekolah Menengah Pertama (SMP), akan sepanjang tiga tahun. Babak terakhir, Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak kurang dari tiga tahun. Urutannya pun tak bisa dinegosiasikan: SD-SMP-SMA. Lalu, datanglah tahapan di atasnya: S1, S2, dan S3.

Kedua, Pendidikan Nonformal. Inilah pendidikan atau pembelajaran yang diselenggarakan oleh lembaga atau perorangan. Lebih dinamai dengan pilihan kata atau diksi kursus. Biasanya berlangsung singkat, dalam "skala  kecil"--menyasar satu keahlian khusus yang ingin kita kita kuasai kompetensinya.

Apa yang dipelajari anak bila mengambil pembelajaran nonformal ini? Bisa sejurus atau selaras dengan Pendidikan Formal yang sedang ditempuhnya. Fungsinya, untuk memperkuatnya. Jadi lebih piawai atau setidaknya tidak tertinggal wawasan. Ini semisal les tambahan untuk penguasaan akan mata pelajaran tertentu.

Namun, ada yang lebih luas. Bahkan, kini semakin luas. Bersifat pengembangan bakat atau minat anak pada hal tertentu. Sebut saja les piano atau biola yang kerap difasilitasikan, didorong-dorong orangtua kepada anak. Pada zaman dulu, termasuk yang keren adalah kursus komputer!

Bagi individu yang lebih dewasa, minat untuk belajar secara nonformal kian berkembang. Kemajuan zaman, ikut memberdayakan hal ini. Kursus memasak misalnya, marak mengikuti tren acara-acara olah menu di TV atau event tertentu. Atau ini, seni suara, oleh vokal. Juga mengikuti tren lomba-lomba yang kian bergengsi.

Bagi yang serius, kompetensi-kompetensi dasar ini kian diasah. Apalagi di masa pandemi ini, melalui streaming, kian beragam dan banyak ditawarkan. Berseliweran di ads media sosial, baik Instagram maupun Facebook. Juga media lain, termasuk serbuan via email.

Di era kemajuan teknologi, hal-hal yang bisa dipelajari, kian marak. Belajar coding misalnya. Atau, belajar copywriting dan SEO. Demikian pula tawaran belajar mengolah visual dalam rangka mempercantik feed di Instagram. Ada yang audiovisual, belajar menjadi video editor. Bahkan kelas belajar untuk ber-Podcast.

Dari segi waktu, Pendidikan Nonformal berlangsung lebih ringkas dan singkat. Hanya hitungan satu atau dua jam. Ada juga yang berlangsung periodik satu atau dua kali dalam seminggu, lalu berakhir dalam hitungan minggu. Dan, dihargai dengan selembar sertifikat. Tanpa seremonial "sakral" semacam wisuda.

Ketiga, adalah Pendidikan Informal. Pembelajaran ini berlangsung lebih cair. Tanpa batasan topik secara khusus dan tak diukur melalui satuan waktu. Basis pendidikan informal ini adalah keluarga. Interaksi antarpribadi dalam lingkar keluarga, besar maupun yang terutama keluarga intin. Kemudian, kontribusi lingkar kedua adalah pertemanan. Dua lingkaran ini punya peranan penting.

Maka, ketika pandemi tiba, sesungguhnya yang babak belur adalah Pendidikan Formal. Pendidikan Nonformal, dengan sigap bermunculan melalui tawaran berbagai platform. Bahkan, pilihannya semakin banyak dan jangkauan kian luas. Sementara Pendidikan Informal, selayaknya mencapai puncak kejayaannya, di mana keluarga menjadi lebih dekat dan erat disebabkan keharusan "belajar dari rumah" dan "bekerja dari rumah".

Itu kondisi idealnya. Demikian secara teoritis. Namun, begitulah seharusnya esensi dari fungsi berkeluarga. Maka, diksi kembali belajar, setelah berakhirnya "libur", pada masa pandemi ini tidaklah "berasa banget". Yang berbeda, terutama, adalah soal-soal personal. Lebih ke setting suasana, kesiapan psikologis, dan kembali berdisiplin dalam hal pengaturan waktu.

Ini tentu akan berbeda kisahnya bila selama ini orangtua terlalu membedakan atau menyederhanakan, atau mendikotomikan bahwa belajar hanya di sekolah, berlangsung di kelas, diselenggarakan oleh guru. Selain itu adalah tidak belajar. Pastinya, ini bukan soal penggunaan kata atau pemakaian diksi.

Dengan demikian, berbahagialah orangtua atau keluarga yang memfungsikan mereka sebagai teman belajar. Yang mengeksekusi bahwa belajar itu berlangsung seumur hidup. Semua tempat adalah ruang kelas, setiap percakapan adalah kurikulum, dan setiap interaksi adalah laboratorium untuk praktik belajar.

Lima Tips Sederhana

Buat keluarga yang tidak seberuntung ini dalam membangun konsep pembelajaran, berikut langkah-langkah prakstis yang kiranya bisa dilakukan.

Pertama, mulailah mencicil kata atau diksi kunci "sekolah" secara hangat. Semisal "hore, sebentar lagi adek sekolah", "Asyik sekolah sudah mau dimulai", atau "Duh senangnya bentar lagi jumpa teman-teman sekolah".

Kedua, mulai melakukan setting waktu. Perlahan, weker yang seolah Anda matikan pada masa liburan, mulai dihidupkan. Terutama dalam arti mengatur ritme tubuh, jam biologis anak, dilaraskan dengan jam sekolah.

Ketiga, ajak anak duduk dan bercakap dengan perangkat kalender. Dorong ia menandai periode belajar. Namun, beri hiburan dengan diskusi mengenai piknik atau kegiatan rekreasi yang direncanakan di tengah-tengah periode belajar.

Keempat, ajak anak mempersiapkan atau merapikan perlengkapan belajar, yang selama masa libur ini kurang diperhatikan, berantakan, atau kini tak lagi lengkap. Dengan demikian, mereka akan jauh lebih tenang sebab segalanya telah siap.

Kelima, beri mereka motivasi. Tentu saja dengan pilihan kata dan diksi sesuai dengan usia mereka. Saat Anda melakukannya, jangan lupa selaraskan dengan ekspresi Anda. Enggak lucu kalau Anda bilang "Yeay, senangnya bisa sekolah lagi" dengan wajah ditekuk atau cemberut.

Keenam, eh ... lima sajalah. Nanti kebanyakan dan Anda merasa terbebani. Bukannya dapat inspirasi, malah dapat stres. Yang penting, Anda sudah dapat poinnya, kan? Okelah, mari semangat para Mak dan Mas!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun