Selepas duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan berpindah pulau untuk meneruskan pendidikan, tidak ada bulan yang menerbitkan rindu yang teramat dalam akan kampung halaman selain tibanya bulan puasa.
Selalu ada denyut kehidupan yang berbeda, sebagai penanda Ramadan segera dan sedang tiba. Ada gairah berbeda dan perubahan dinamis komposisi barang jualan di toko ayah.
Barang-barang kebutuhan pokok, dijaga keutuhannya. Item jualan tertentu, mendapat perhatian lebih. Biskuit, sirup, dan minuman dalam kemasan botol, untuk menyebut beberapa yang paling menonjol, tampak semringah di hari-hari itu.
Namun, ada yang paling tidak lazim dari hari-hari di bulan-bulan sebelumnya. Datang kiriman kurma dalam satuan besar. Mengkreasi aktivitas lain yang istimewa dalam rentang setahun yang berlangsung.
Kurma
Saya ikut di dalamnya. Kami antusias, dalam kegembiraan, menyendok dan menimbang kurma. Dalam plastik lebih kecil, dalam ukuran timbangan berbeda. Dalam kegembiraan itulah, jemari ini sesekali nakal. Membawa butir kurma ke arah lain. Yup, ke mulut dan mengunyahnya sebagai pengalaman yang jarang.
Memasuki bulan Ramadan, jam bermain kami di luar rumah dan keramaian jalanan, berubah. Pekik suara anak-anak dan tawa orang-orang muda mekar pada saat jelang dan akhir jam taraweh. Sesekali, sudah ada yang menyalakan kembang api.
Berbalik arah dengan kemampuan menahan rasa lapar dialami teman-teman. Saat hari-hari berpuasa bertambah, wajah mereka kian terlihat lebih enteng menjalaninya. Namun, menjelang pengujung, justru dada kian mendebarkan.
Pengurus komunitas yang kami kenali, mulai mengatur peminjaman mobil. Ibu saya mulai mengatur stok barang-barang tertentu untuk keperluan sendiri. Dan kami, para anak mulai membayangkankan datangnya antaran menu-menu khas malam menjelang Idul Fitri.
Berbeda dengan apa yang saya jumpai di Pulau Jawa, di mana ketupat adalah yang khas pada Idul Fitri. Di kota kelahiran saya, ada tradisi antar-mengantar beberapa menu khas. Terutama dilakukan pada malam jelang atau di pagi Idul Fitri.
Burasa, Sokko Tumbu, Gogos
Burasa, Sokko Tumbu, dan Gogos. Itulah menu-menu antaran yang masih lekat dalam ingatan saya. Beberapa lainnya, tampaknya cukup langkah, sehingga tidak mudah untuk menelusuri namanya lagi. Semua itu disertai lauk rendang, opor, dan lainnya yang lewat.
Semuanya enak! Itu sebabnya sejak sore kami memilih untuk mengosongkan perut dan bersantap malam dengan antaran ini. Jika Anda penasaran, ketiga nama ini tidak sulit untuk ditemui di Internet.
Ketika sudah agak besar, saya ikut menerima kiriman yang berdatangan ini. Dibawa bertempat di piring atau rantang, lalu dibungkus kain. Setelah semua menu dipindahkan dan dicuci, kami menaruh antaran balasan menggunakan tempat yang sama untuk dikembalikan.
Pada puncak malam, antaran ke rumah orangtua saya bisa memenuhi seluruh jengkal meja makan dalam ukuran besar. Sayang saat itu belum ada smartphone dan media sosial untuk mengabadikannya.
Ini disebut apa? Budaya, ritual, atau sekadar kebiasaan lokal yang terjadi di Sulawesi sana? Biarlah para pakar yang mengungkapkannya. Namun, pemandangan ini mewarnai masa pertumbuhan saya dengan pembelajaran. Bahwa relasi antarmanusia di bawah "payung" Ramadan dan Idul Fitri, bukan hanya soal bercakap. Melainkan juga hingga soal bersantap.
Itulah kisah tentang bulan dan momen yang hilang sejak saya meninggalkan tanah kelahiran untuk merantau. Saya tidak tahu, bagaimana tahun ini akan berlangsung di sana pada masa pandemi Covid-19.
Gus Dur
Saat memikirkan masalah ini, saya dibawa pada perenungan yang ditinggalkan oleh Gus Dur sebagaimana bisa ditelusuri di website Santrinews.com Menurut KH Abdurrahman Wahid, masalah itu ada dua.
Pertama, adalah masalah yang dapat diselesaikan. Bagi sosok Presiden ke-4 Indonesia ini, masalah pertama ini bukanlah masalah. Mengapa? Sebab ini bisa diselesaikan.
Kedua, masalah yang tidak dapat diselesaikan. Untuk masalah yang tidak dapat diselesaikan ini, janganlah ambil pusing untuk dipikirkan secara berlebihan. "Kan tidak dapat diselesaikan," begitu kira-kira akan diucapkan Gus Dur.
Sebagaimana khas Gus Dur yang kerap memberikan jawaban "ringan", kita diajarkan untuk tiba pada pemahaman yang lebih dalam dari sekarang kulit luar. Kedua jawaban ini hendak memberi tahu kita untuk melakukan ikhtiar hingga menuju hasil.
Jika lebih dari itu, dan semua terjadi di luar kuasa kita, jangan lupa untuk menuju tawakal. Dalam KBBI V, tawakal diuraikan sebagai "pasrah diri kepada kehendak Allah Swt.; percaya dengan sepenuh hati kepada Allah Swt. (dalam penderitaan dan sebagainya)."
Covid-19 bisa meruntuhkan pertahanan tubuh jasmani bagi yang tidak siap, tetapi ia tidak akan mampu meluruhkan pengharapan yang baik. Yang berlaku bagi kita adalah dua sisi seiring, upaya terbaik dan tawakal terpenuh.
Itulah yang menjadi bagian dari pengharapan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H