Pesan itu tiba terlebih dahulu. Sebelum saya menjumpai beberapa visual di Internet. Wajah lelaki itu dalam kemasan usia lansia. "Telah berpulang ke Rahmatullah, Prof DR Arief Budiman bin Salam Sutrawan dalam usia 79 tahun pada Rabu 23 April 2020 pukul 11.40 WIB di RS Ken Saras, Kab. Semarang."
Tiba-tiba, isi benak saya terasa terlempar entah ke waktu yang mana. Nama ini sempat tak mengisi ingatan saya. Padahal, beberapa tahun lalu seorang kawan pernah bercerita. Ia hendak menyisipkan waktu untuk berupaya memasuki relung sempit benak lelaki itu, sebelum ingatannya berkabut.
Dua Sisian Waktu
Di bangku SMA, saya belajar PDKT dengan sebuah buku fenomenal. Baru saja terbit, saat itu. Beberapa teman membicarakannya.
Saya membeli dan mulai membacanya. Tertatih di halaman-halaman pembuka yang panjang. Namun, terhentak saat memasuki paragraf pembuka. "Saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di pasifik."
Itulah penggalan buku "Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran". Melalui buku itu, terpetik informasi bahwa Gie punya kakak. Bernama Soe Hok Djin, yang kemudian menggunakan nama Arief Budiman. Tak beresonansi apa pun dalam otak saya yang kecil, saat itu. Kecuali selintasan komentar dalam hati, "Adiknya lebih hebat ya, daripada kakaknya." :)
Waktu berlalu, masa kuliah tiba. Saya memilih belajar psikologi, dengan minat besar menulis dalam rupa artikel populer. Selain teori-teori kering di bangku kuliah, kami rajin mengonsumsi tulisan-tulisan populer di koran dan majalah.
Salah satu rujukan, pada rubrik konsultasi psikologi harian Kompas Minggu. Di sana, ada pengasuh bernama Leila Ch. Budiman.
Kedua nama ini, Arief Budiman dan Leila Ch. Budiman, akhirnya "berjodoh" di benak. Melalui sebuah buku berjudul "Pembagian Kerja Secara Seksual".
Seorang dosen bercerita bahwa buku ini ditulis saat Arief Budiman sedang menempuh kuliah lanjut di Amerika. Berdasarkan pengalaman hidup di negeri itu bersama istrinya, Leila Budiman.
Tentang Pasangan Ini
Dalam ingatan saya, Kompas Minggu pernah dua kali mengungkap siapa dan bagaimana Leila Budiman selaku pengasuh rubrik konsultasi psikologi. Tentang betapa numpuk surat-surat yang masuk. Bagaimana dalam satu kali pemuatan di Kompas Minggu, Leila memgelompokkannya dalam satu tema tertentu.
Tulisan kedua, tak lepas dari hal teknis saat pasangan ini telah bermukim di Australia. Bagaimana surat-surat pembaca yang masuk, dikirim secara fisik ke Australia.
Dan dalam artikel tersebut, masih semampu saya mengingatnya, ditulis bahwa Leila akan mengakhiri pengabdiannya selama belasan tahun sebagai penjaga rubrik (penjabrik) itu.
Mengenai nama Arief Budiman, saya menjumpainya lebih kerap dalam keterlibatan beliau di dunia sastra. Saat mencoba mengenal majalah sastra "Horison", nama itu ada. Memang dalam rentang 1966 hingga 1972, Arief pernah menjabat sebagai redaktur.
Di sastra, namanya terutama muncul dalam perdebatan "Sastra Kontekstual", sejak Sarasehan Kesenian di Solo (Oktober 1984). Ia salah satu tokoh yang terlibat. Nama lainnya yang sangat menonjol dalam silang opini ini, tentu saja adalah Ariel Heryanto.
Belakangan saya tahu dari membaca, bahwa sosok ini sudah pernah terlibat dalam pertukaran opini (polemik) lain, mengenai Metode Ganzheit dengan M.S Hutagalung yang saat itu berada di sisi Aliran Rawamangun.
Membangun Rumah Dengan Menulis
Ada kisah lain yang saya "temukan" dan membuat saya terkagum-kagum. Topik ini mengenai bagaimana pasangan ini memiliki rumah dengan skala luas di Salatiga. Orang-orang yang berdiam di sekitar Salatiga tentu mengenali lokasi ini dengan baik.
Rumah "sebesar" itu, yang dirancang oleh Romo Mangunwijaya, ternyata dibangun dengan uang hasil menulis di Kompas. Arief "membayar cicilan" dengan cara mengirimkan artikel untuk dimuat. Wow! Mengagumkan sekali bagi saya di usia kecil itu saat membacanya. Heroik, Borrr!
Kisah heroik lainnya, diceritakan oleh dosen saya lainnya. Yang ini tentang bagaimana seorang Tionghoa bisa "menaklukkan" gadis Minang.
Sebagaimana kita tahu, sistem yang berlaku di Minangkabau adalah Matriakal. Menggunakan kalimat pendek, dapat dijelaskan bahwa dalam sistem Matriakal, yang dominan memegang kekuasaan adalah pihak ibu (perempuan).
Terakhir, mengingat sosok Arief Budiman tidak akan mungkin lepas dari kesederhanaannya. Ia tak lepas dari penampakan seperti "encek-encek" lainnya.
Tidak ada tampang orang kaya, bahkan sangat mungkin tidak terlihat sebagai orang dari kalangan kelas menengah. Lebih mirip seniman yang idealis. Namun isi otaknya, bukanlah "kaleng-kaleng". Banyak butir emas di dalamnya. Berbahagialah orang-orang yang sempat menjadi mahasiswanya.
Cuatan Terakhir
Namanya kembali terselip dalam pembicaraan publik saat Mira Lesmana dan Riri Riza membuat film "Gie" (2005). Film ini menampilkan Nicholas Saputra sebagai Gie. Sita Nursanti main di sini, dan memetik gitar, menyanyikan lagu legendaris berjudul "Donna Donna". Anda masih bisa menonton scene ini di YouTube.
Sebagai informasi, film "Gie" memenangkan tiga penghargaan dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2005. Untuk Tata Sinematografi, Pemeran Pria Terbaik bagi Nicholas Saputra, dan penghargaan sebagai Film Terbaik. Momentum film ini, membuat buku "Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran" kembali terbit dan dibaca banyak orang, terutama dari kalangan muda.
Saat terlibat dalam proses pembuatan sebuah buku terkait Gie dengan Agus Santosa, penulis asal Salatiga, kami sempat berbisik-bisik. Bukan tentang Nicholas Saputra yang saat itu sangat diidolai. Melainkan sebuah pertanyaan kecil yang membersit nakal, "Apakah benar Gie pergi karena sergapan gas beracun di Semeru?"
Saya diberi tahu bahwa Arief Budiman tidak berminat menjawab pertanyaan ini. Saat itu, kami saling pandang dan tersenyum. Biarlah misteri ini terbawa pergi dalam istirahat beliau untuk selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H