"Toko Kelontong". Masih adakah orang yang menyebut dua katanya ini dalam percakapan sehari-hari? Laju zaman dan rentang lapis generasi, semakin membuat dua kata ini menghilang dari benak.Â
Mungkin masih tersisa ingatan, terutama dalam kenangan sebagian generasi yang menamai dirinya secara jenaka sebagai "Generasi Kolonial". Namun, perlahan tapi pasti, ingatan ini terus melambaikan tangan perpisahan. Diisi oleh banyak disrupsi yang kian membenamkannya.
Bagi generasi lebih muda, ingatan ini tenggelam bersama kisah masa kecil mereka. Menjadi bagian dari hal-hal yang terasa kuno. Ia bisa pergi tanpa perlu dikenang. Bukan dalam rupa karya "heritage" yang perlu dirawat agar tegar menyongsong datangnya berlapis generasi.
Bagi generasi terkini, sebagaimana dikenali sebagai generasi yang lahir tanpa pernah membaca koran dan menonton TV, pengalaman berbelanja adalah bagian dari kegiatan berselancar di internet atau aktivitas rekreasi di pusat perbelanjaan mega dan megah.
Melalui kerangka dan arus berpikir disrupsi, maka dapat disimpulkan bahwa nafas hidup toko kelontong sudah selesai. Semua yang masih eksis hingga hari ini, tak lebih dari menjalani masa berhitung mundur; hingga bendera putih tanda menyerah berkibar.
Namun kisah atau sebutlah jalan takdir ini, tampaknya akan menempuh jalan lain. Apa yang kita pandang sebagai bagian dari konsekuensi dan daur hidup yang organik, belum tentu akan sependek itu siklus hidupnya. Secercah harapan bersinar saat bendera putih itu bersalin rupa melalui kiprah SRC.
Toko Kelontong Berdandan Merah
Bermula dari inisiatif kecil yang berlangsung di kota Medan, Sumatera Utara sana. Gerakan kecil untuk memberikan penguatan bagi denyut usaha kecil dan menengah (UKM) itu kian dirasakan manfaatnya. Hingga kemudian, inisiatif SRC ini diputuskan untuk dihadirkan dalam jangkauan nusantara.
Â
Kisah ini bisa ditemukan dalam perjalanan usaha Purwanto, pemilik toko kelontong Rukun yang berlokasi di Jalan Parangtritis, Yogyakarta. Bersisian dengan Losmen Rukun (Google Maps), toko kelontong ini bermula tak lebih dari sekadar lapak berukuran kecil.
Saat dikelola ayah mertuanya, toko kelontong Rukun belum merasa perlu diapa-apakan. Tahun berganti, kemudian pengelolaannya diteruskan oleh Purwanto. Sejak itu dirasakan telah tiba saatnya untuk melakukan pengembangan. Uluran tangan bantuan SCR yang semula ditampik, mendapat giliran diterima dengan sambutan hangat.
Momentum yang berlangsung tahun 2017 itu, membawa berkah berlipat bagi toko kelontong Rukun. "Toko ini sampai perlu dibongkar bangun sebanyak tiga kali," tutur sang pengelola yang dikenal dengan nama panggilan Pak Wanto. Alhasil, bila Anda dalam perjalanan piknik ke Pantai Parangtritis atau menginap di Losmen Rukun, jangan lupa menengoknya.
Pak Wanto menuturkan lebih jauh bahwa toko yang saat ini telah tampil dengan ukuran luas, adalah hasil nyata dari ilmu yang diperolehnya dari SRC. Berbagai bantuan tak henti diterimanya sejak bergabung dengan SRC.
"Pengarahan dan edukasi dari SRC membuat toko kelontong saya semakin maju," ujar Pak Wanto. Omzetnya naik secara meyakinkan. Yang lebih penting baginya adalah toko kelontongnya kian tertata rapi, tidak perlu minder lagi, dan dapat bergabung di paguyuban usaha kecil dalam lingkup DIY dan Purworejo.
Kisah ini nyambung dengan yang dialami oleh lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Pak Is. Ia adalah pemilik toko kelontong Queen di Gunungkidul. Setelah bergabung dengan SRC dan mengalami kenaikan omset yang sangat signifikan, ia tidak ingin egois. Pak Is mengatur strategi berbagi secara indah.
"Saya sekarang sudah tidak menerima barang dagangan dalam ukuran kecil. Juga tidak menjual minyak goreng curah," ujarnya. "Biarlah itu dijual oleh toko-toko kelontong lain yang ada di sekitar toko saya." Demikian filosofi hidup yang diterapkan pemilik yang nama tokonya terinspirasi grup musik lawas kenamaan Queen.
Saat ditanya alasan untuk bergabung dengan SRC, Pak Is dengan tegas dan senyum semringah memberikan jawaban taktis. Sebagai pedagang kecil, katanya, ia tentu saja membutuhkan "kendaraan besar" untuk maju. SRC baginya adalah kendaraan yang ia impikan. Bersama SRC, kemudian terbukti ia mampu "naik kelas".
Pojok Lokal, Pojok UKM, Pojok di Hati
Pojok Lokal menyimpan kisah tersendiri yang menarik untuk didengarkan. Kisah-kisah kecil dengan inspirasi besar. Saat ini, melalui area Pojok Lokal, telah lahir para pelaku usaha rumahan secara organik. Jangan salah menduga. Di antara berbagai jenis makanan ringan khas yang terpajang di gerai Pojok Lokal, ada yang menyimpan kisah lahir yang menakjubkan.
Â
Seperti apa toko kelontong ACDC mula-mula? Seperti toko kelontong tradisional pada umumnya. Bagi orang kebanyakan pada masanya, toko kelontong ACDC ini tergolong modern. Sebagai misal, untuk mengamankan barang dagangan, luas area toko dipenuhi dengan lemari kaca.
SRC hadir dan memberikan edukasi. Prinsipnya, sederhana saja: RBT. "Apa itu, Bu?" Rapi, Bersih, Terang. Demikian jawaban lugas Bu Sukma. Sebagai konsekuensinya, toko kelontong ACDC akhirnya "rela" memasang lampu lebih banyak agar terang, menjual lemari kaca mereka untuk digantikan dengan rak terbuka, serta menata barang dagangan mereka dengan ilmu pengelolaan dari SRC.
Alhasil, toko kelontong ACDC (Google Maps) mampu berdiri setara dengan mini market jaringan modern yang bertebaran. Lebih dari itu, seperti kacang yang tak lupa akan kulitnya, Ibu Sukma tak segan-segan mendedikasikan perhatiannya bagi para mitranya.
Â
Ibu Puji memulai usahanya dalam skala sangat kecil, dengan kemampuan terbatas dalam mengolah produknya, dan menjualnya dalam lingkup sangat sempit. Kini, rempeyeknya telah tampil menawan, bersanding percaya diri dengan produk-produk lainnya.
Demikian juga dengan Pak Jalal asal Prambanan, DIY. Mantan supir ini memulai usahanya juga dari titik nol. Ia terus-menerus diberi masukan tanpa henti. Untunglah si Bapak ini bandel, pantang menyerah. Sekalipun air mata kerap menetes saat ia menempuh perjalanan pulang yang berjarak jauh ke rumahnya di Prambanan.
Jika Ibu Puji mengkhususkan diri memproduksi rempeyek, lain lagi dengan jenis usaha Pak Jalal. Setelah melalui perjuangan panjang, bersama istri tercinta ia menemukan jatidiri melalui produk kemasan pangsit goreng dan stik bawang.
Melangkah Bersama SRC
Inisiatif SRC ini, di luar dugaan. Seolah melawan arus disrupsi. Kuncinya bukan pada kekuatan modal untuk unjuk diri menjadi kompetitor arus utama. Melainkan, langkah sederhana menggandeng mitra. Membentangkan pilihan jalan untuk berubah. Kemudian, membagikan edukasi yang dibutuhkan.
Dalam rentang 11 tahun ini, sejak diinisiasi di Medan pada 2008, SRC sedang menggadang impian untuk menggandeng tak kurang dari 10.000 mitra. Untuk mendukung gerak langkah ini, SRC telah menyiapkan "Ayo SRC" dalam rupa Aplikasi yang bisa diunduh dengan  mudah. Ayo SRC bisa manfaatkan oleh para mitra SRC. Aplikasi itu juga dapat melayani beragam pembayaran.Â
Selain itu, gerai-gerai Pojok Lokal merupakan langkah konkret SRC yang telah melahirkan dan merawat banyak pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) untuk eksis. Semua upaya itu mudah dikenali sebab dirangkum dalam tagline Dekat, Hemat, Bersahabat.
Kontribusi ini akan mudah Anda kenali, terutama melalui branding Pojok Lokal. Dengan gerakan yang intensif, brand ini berpotensi besar untuk tumbuh dalam skala nasional.Â
Dan, melihat apa saja yang telah terpajang, Pojok Lokal selayaknya menarik dan mendapat perhatian lebih banyak pihak. Terutama dinas dan kementerian terkait. Yup, termasuk para milenial yang menjadi staf khusus presiden kali ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H