Yang dapat kita wariskan kepada generasi lebih muda, tidak selalu almari imajinatif yang memuat banyak dan beragam laci kenangan. Salah satunya adalah menu favorit keluarga, menjadi kuliner yang merekam jejak langkah panjang di hati anggota keluarga. Pada secarik resep, selusuh apa pun, terkandung narasi terbuka untuk diceritakan kembali.
Kisah dalam skala nasional tentang hal ini menyelip dalam pemberitaan saat Penerbit Komunitas Bambu merilis ulang buku kuliner berjudul Mustika Rasa. Mustika Rasa, diterbitkan secara resmi oleh Departemen Pertanian pada tahun 1967, adalah satu-satunya buku masak resmi yang pernah diterbitkan dari rahim Pemerintah Indonesia. Buku yang lebih tepat disebut kitab karena mencapai ketebalan 1123 halaman ini, dicetuskan oleh Presiden Soekarno, berproses selama 7 tahun.
Buku asli tersebut, bila masih bisa didapatkan di pasar loak, konon telah berharga sekitar Rp 2,5 juta, sebagaimana ditaksir oleh sejarawan JJ RIzal sebagaimana diwartakan Kompas.com. Sementara buku rilis baru (Agustus 2016), yang telah menggunakan ejaan Bahasa Indonesia, hanya dicetak 800 eksemplar dan dijual dengan harga Rp400.000.
Sekejap Cerita Tentang Mustika Rasa
Buku yang memuat 1600 resep ini menyimpan narasi unik. Masih berdasarkan kisah JJ Rizal, kala itu Soekarno meminta istrinya, Hartini untuk merangkum buku tersebut. Dikumpulkanlah pamong praja desa sampai ahli gizi untuk menyusun segala dokumentasi mengenai masakan Indonesia. Hingga akhirnya tahun 1967 buku tersebut diterbitkan secara terburu-buru di akhir masa jabatan Soekarno sebagai Presiden RI.
Sumber lain menceritakan bahwa proses penyusunan telah dimulai sejak 1960. Tak pelak, dibutuhkan waktu yang panjang karena resep-resep tersebut dikumpulkan dari Sabang hingga Merauke, menggunakan metode menelepon satu per satu pemilik resep atau dihubungi melalui surat dan kartu pos.
Masih menurut sumber yang sama, buku ini disusun agar menjadi pedoman bagi seluruh rakyat untuk memanfaatkan bahan makanan yang ada di sekitarnya dan mengolahnya menjadi makanan lezat. Saat itu pemerintah memang sedang mencanangkan deversifikasi, intersifikasi, dan ekstensifikasi pangan dalam upaya antisipasi atas ancaman krisis pangan.
Sebaliknya pula, Soekarno tidak pernah menghidangkan makanan internasional bagi tamu-tamu asing. Ia memaksa tamu asing untuk makan, menikmati makanan Indonesia. Kuliner Indonesia, bagi Soekarno, adalah topik yang sangat serius. "Dia (Soekarno) tahu betul tugasnya adalah mempersatukan dalam kebhinekaan dan salah satu caranya lewat kuliner," kata JJ Rizal sebagaimana dikutip Kompas.com.
Ini Kisah Lain, Tentang “Mustika Khun”
Meskipun seusai Mustika Rasa buku kuliner tak pernah diterbitkan lagi oleh pemerintah, “tradisi” ini terus berkembang dalam format yang berbeda. Resep masak yang marak terhidang di koran, majalah, atau penerbitan lain di masa lalu, kerap menjadi sasaran kliping ibu-ibu. Tak jarang dirawat dengan rapi dan diwariskan ke anak-anak perempuan. Dalam format buku, masih kita jumpai terus diterbitkan oleh penerbit swasta dalam beragam kemasan.