Jika karena sesuatu dan lain hal perasaan Anda sedang "biru" atau dilanda "galau" dan kehilangan gairah, cobalah pembangkit jiwa ini. Tom Yam akan mengajak Anda merasai semacam terapi kejut bagi indra pengecap. Jelas Tom Yam bukan psikolog dan tidak akan menyelesaikan masalah pribadi Anda, tapi dia dengan ikhlas mengajak Anda untuk bangkit dan berangsur mengusir gundah.
Berdasarkan kandungan herbal, kita jumpai serai/sereh yang konon memberi kita belasan manfaat, seperti menurunkan tekanan darah tinggi, mencairkan lemak, dan mengatasi anemia. Antioksidan, antiseptik, dan efek diuretik di tubuh serai/sereh bermanfaat untuk detoksifikasi. Kandungan magnesium, fosfor, dan folat menjadi nutrisi bagi perkembangan dan fungsi sistem saraf. Dan banyak lagi bila Anda ingin menelusurinya dan mengungkap bahan-bahan lainnya.
Bagi saya, Tom Yam mengajarkan demokrasi, karena tidak ada standard baku atau narasi tunggal bagi bagaimana ia diramu dan menghasilkan rasa. Saat berkunjung selama 3D2N di Bangkok misalnya, kami diajak menyantap Tom Yam sebanyak tiga kali di tempat yang berbeda. Jangan terkejut bila di negara tempat ia lahir, di tiga kesempatan berbeda itu, tak ada rasa Tom Yam yang sama.
Tom Yam pun rela bila Anda mengganti kandungan lauk di dalamnya. Di negeri asalnya, Tom Yam bisa menghadirkan udang (tom yum goong), ayam (tom yum gai), ikan (tom yum pla), maupun makanan laut yang dicampur (tom yum talay atau tom yum po taek), serta jamur. Tom Yam pun tak akan menolak bila Anda menghadirkan muatan lokal (mulok) semisal menambahkan jengkol atau petai misalnya.
Dari Lagu Koes Plus ke Singkong ala Thai
Saat tiba di pengujung santap, Singkong ala Thai yang terasa legit tak akan luput dari pilihan saya. Tak ada alasan khusus, kecuali mungkin karena kedekatan singkong dalam kehidupan serta “budaya” makan singkong yang telah akrab sejak masa kecil saya di Donggala. Saban siang menjelang petang, orang tua di rumah kerap menyajikan singkong kukus atau goreng, bergantian dengan jagung rebus dan aneka buah lainnya.
Namun, ada kisah lain yang membuat saya kita lekat dengan singkong. Mulanya, karena saya takjub dengan lirik lagu Koes Plus yang terdengar di masa kanak. Anda mungkin tahu penggalan ini lagu berjudul Kolam Susu ini:
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Kayu jadi tanaman? Pertanyaan ini terjawab saat saya hadir di kebun dan untuk pertama kalinya melihat masa tanam pohon singkong. Dari satu batang tubuhnya, dipotong-potong sepanjang kira-kira 20 cm, lalu dicocolkan ke dalam tanah. Begitu! Hanya, hanya begitu! Dari tancap-tancap “kayu” kita, kelak tumbuh pohon yang menghasilkan singkong. Wow!