Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Merawat Jiwa Agar Semakin Bercahaya

19 September 2016   23:30 Diperbarui: 20 September 2016   00:14 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan bukan teka-teki untuk dipecahkan, melainkan serangkaian senyuman untuk dibagikan
—Gede Prama

Hidup ini tampak melelahkan. Dibayangi kesia-siaan. Dan garing. Bahkan sebelum kita menempuhnya terlalu jauh. Itulah cahaya pandang bila bersandar pada bahu mitologi Yunani. Tugas manusia dalam kehidupan di muka bumi ini, tak lebih dari menunaikan serangkaian babak. Diawali Zaman Emas, diakhiri Zaman Besi. Dari kehidupan yang diwarnai gelak kebahagiaan, lalu memudar dalam tahapan selanjutnya. Saya membacanya di sini [Wikibuku], dengan tarikan napas panjang.

Pada Zaman Emas, manusia hidup bersama para dewa. Tak perlu bekerja keras, semua melimpah. Lalu tiba Zaman Perak, Zeus berkuasa dan dia membawa derita. Manusia harus berkeringat untuk mendapatkan sesuap nasi.

Usai memusnahkan umat manusia sebelumnya, pada Zaman Perunggu, Zeus mencipta ulang manusia. Sangat kuat dan gemar berperang. Dan Zeus, sekali lagi, pada Zaman Pahlawan, menciptakan umat manusia. Kali ini dengan perangai lebih baik, lahirlah para pahlawan gagah berani dan banyak berpetualang.

Periode terakhir adalah Zaman Besi. Ini adalah masa terburuk, kebaikan kalah oleh kejahatan. Anak-anak mengabaikan orangtua, saudara saling bertikai demi harta, rasa malu lenyap. Penipuan, pembunuhan, dan peperangan beriring dengan perilaku buruk lainnya.

Anak-anak manusia perahu berebut permen di tempat penampungan, lapangan Bulalung, Tanjung Batu, Berau, Kalimantan Timur (25/11/2014) - Foto: Kompas.com/Fabian Januarius Kuwado
Anak-anak manusia perahu berebut permen di tempat penampungan, lapangan Bulalung, Tanjung Batu, Berau, Kalimantan Timur (25/11/2014) - Foto: Kompas.com/Fabian Januarius Kuwado
Namun hidup yang saya kenali, tidaklah semata demikian. Dalam badai zaman sekalipun, selalu ada sinar cahaya pengharapan yang menerobos masuk dengan cemerlang. Selalu ada orang-orang dengan kerinduan meluap ingin berbuat kebaikan. Kikan dengan lagu Bendera memberi gambaran ini:

Biar saja ku tak sehebat matahari
Tapi slaluku coba tuk menghangatkanmu
Biar saja ku tak setegar batu karang
Tapi slalu ku coba tuk melindungimu

Biar saja ku tak seharum bunga mawar
Tapi slalu kucoba tuk mengharumkanmu
Biar saja ku tak seelok langit sore
Tapi slalu kucoba tuk mengindahkanmu

Lebih sublim, menukik dan mendalam, saya tak pernah bisa melupakan penggalan puisi Zawawi Imron, penyair asal Madura, berjudul Ibu. Puisi membalikkan paradigma kita tentang pahlawan sebagai “sosok besar” yang berkiprah nasional dan internasional, atas nama kemanusiaan, dan narasi-narasi besar lainnya—orang-orang yang dihadiahi gelar agung, penghargaan ini-itu, bahkan bila perlu saat perpisahan abadi tiba, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Tidak. Bukan itu. Zawawi Imron menulis:

kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu

Merawat Jiwa Agar Semakin Bercahaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun