Diam-diam, mungkin terselip di dalam relung hati terdalam Anda dan saya, sebuah pertanyaan menggugah tanda tanya mengenai efektivitas penggunaan media radio, yang dianggap tradisional di era kekinian. Atas sebersit keraguan ini, saya mendapat jawaban melalui halaman Kompas Muda edisi Jumat, 16 September 2016.
Menarik menelisik laporan utama di bawah tajuk Radio yang Masih "Nge-hits". Dituliskan di halaman itu bahwa kebiasaan mendengarkan radio masih terjaga di kalangan mahasiswa. Hampir setiap kampus punya stasiun radio sendiri, dengan mata acara unggulan hiburan musik.
Nurie Sitta Masruri, mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, mengaku masih mendengarkan siaran radio. Demikian pula ungkap sejumlah nama anak muda lainnya yang ditampilkan di subseksi Kampus (hlm 25). Ringkas kata, di antara impitan televisi dan internet, radio tidak pernah mati. "Pendengar fanatiknya masih banyak," tulis Kompas Muda.
Content "drama radio" sepatutnya turut mengendarai kemajuan teknologi dan digulirkan berviral di media sosial. Ia butuh dihadirkan semudah mungkin dalam aplikasi di smartphone, atau dikemas dalam satu-satuan praktis dalam jamahan platformSoundcloud, Mixcloud, dan lainnya, sehingga penetrasinya tak ubahnya content lainnya. Contoh praktis untuk ini dengan mudah kita lihat bagaimana content televisi kini kita nikmati melalui Youtube—keluar dari belenggu televisi sebagai alat.
Demikianlah, kemajuan teknologi akan menerobos labirin jadul yang mungkin masih bergelayut di benak kita. Termasuk melesatkan drama radio "Asmara di Tengah Bencana" dalam penetrasi yang sukses mengusung edukasi yang pada akhirnya melahir "sikap, perilaku, dan budaya yang mengkaitkan kehidupannya dengan mitigasi bencana". Bukan sekadar kepentingan sukses atas program dari sebuah lembaga bernama "Badan Nasional Penanggulangan Bencana".
Itulah harapan kita, agar teriakan "Mamiii... Mamiiiii... goyang semua!" tak sepilu sepuluh tahun yang lalu. Dan, jeritan "Air sudah meluap!" tidak menjadi monster kejam yang merenggut rasa aman anak-anak kita, yang menjelma cengkeram traumatis panjang yang harus dibayar mahal dalam rentang tahun yang panjang. (ANG)
[]
Facebook: /atkhun
Twitter: @angtekkhun
Instagram: @angtekkhun1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H