Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berlipat Ganda Kecewa dengan Layanan Citilink QG947

26 Mei 2016   01:49 Diperbarui: 27 Mei 2016   02:25 5455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Permen karet bekas, tampak jorok (Foto: @angtekkhun)

Saya merasa beruntung bisa mengenal Citilink dalam dua siklus hidup. Siklus pertama sangat lekat di ingatan karena dua hal paling menonjol. Pertama, desain pesawatnya yang menampilkan “bunga-bunga”. Kedua, pramugarinya, seingat saya menggunakan seragam yang saya sebut busana montir (one pieces, celana panjang) berwarna merah. Saat itu, Citilink diperkenalkan sebagai “keluarga” Garuda Indonesia yang berbiaya murah. Airlines ini menjadi pilihan utama apabila saya menempuh perjalanan dinas Yogyakarta-Jakarta pp.

Siklus atau periode kedua, saat Citilink telah diubah dengan warna dominan hijau, mendarat di bandara Halim Perdanakusuma, dengan busana pramugari yang “normal” dan pakaian pramugara hijau strip yang tak “ramah” dipandang oleh mata. Pada periode ini, saya beberapa kali sempat menikmati Citilink dengan rute yang mendarat di bandara Halim Perdanakusuma.

Setelah lebih sering menikmati airlines lain, saya cukup terkejut karena saat mendapat undangan untuk menghadiri sebuah acara yang berlangsung di Jakarta pada Selasa, 24 Mei 2016, penyelenggara menyediakan tiket Yogyakarta-Jakarta menggunakan penerbangan Citilink. Saya pun menyambutnya dengan antusias sebagai momen untuk bernostalgia dengan Citilink dan mendarat di bandara Halim yang lebih “tenang”.

Capture Screen (Foto: @angtekkhun)
Capture Screen (Foto: @angtekkhun)
Namun, yang terjadi kemudian adalah apa yang diekspresikan oleh peribahasa “Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak”. Kejadian pertama, ternyata pesawat yang bakal saya tumpangi ini adalah Citilink dengan rute yang mandarat di bandara Soekarno-Hatta. Saya mengetahuinya dengan tanpa sengaja saat menanyakan kepada penyelenggara apakah saya disediakan penjemputan di Halim? Ternyata, saya akan mengalami perjalanan perdana dengan Citilink hijau dengan rute Soetha.

Tak berentang lama, kejutan kedua tiba. Masuk pesan teks bahwa jadwal penerbangan QG947 mengalami perubahan karena faktor operasional. Semula tercatat jam penerbangan 14.40 WIB, diubah menjadi 15.30 WIB.

Capture Screen (Foto: @angtekkhun)
Capture Screen (Foto: @angtekkhun)
Pada hari keberangkatan, muncul kejutan ketiga. Di ruang tunggu, tiba-tiba terdengar panggilan kepada penumpang QG947 untuk mengambil snack. Yang ini cukup menyenangkan, karena Citilink menunjukkan tanggung jawabnya atas delay yang terjadi. Namun, kegembiraan hati ini tidak berlangsung lama. Boarding yang terlambat, take off yang ditunda dengan alasan belum mendapatkan izin mendarat dari Soetta. Maka lengkaplah ini bagai domino yang melahirkan konsekuensi berkelanjutan. Landing dengan waktu yang bergeser jauh, membuat saya terjebak dalam traffic jam berkepanjangan karena bertepatan dengan jam kepadatan lalin Jakarta dan kondisi ibukota diguyur hujan. Alhasil, sekitar pukul 21.00 WIB saya baru tiba di hotel. Sejumlah janji bertemu dengan kawan, berantakan. Saya gagal jumpa seorang kawan lama dan bertemu di larut malam dengan kawan yang lain.

Apakah kisah ini berakhir di sini dan dengan menuliskan ini saya mengeluhkan hal-hal sepele yang remeh-temeh dan mencitrakan saya seorang lelaki “cemen”? Tidak. Ada drama seri lain yang tak kalah mengesalkannya yang berlangsung di dalam pesawat selama perjalanan ini.

Baiklah, kita lanjut. Sebagaimana biasanya, saat memasuki badan pesawat, saya mengucapkan “Selamat siang...”. Karena tidak membawa bacaan, saya melanjutkan ucapan dengan menanyakan apakah tersedia koran untuk saya baca? Saya mendapat jawaban elegan dan manis bahwa koran belum tersedia di Citilink. Sebagai gantinya, saya dihibur oleh Mbak Pramugari bahwa tersedia majalah di kursi penumpang.

Oke, kini saatnya saya menuturkan kisah yang tak kalah serunya. Saya memilih duduk di pinggir gang dan mendapat nomor 24D. Duduk di sini, kepala saya serasa diincar “rudal”. Lalu lintas penumpang di lorong pesawat yang sempit terasa menyebalkan. Beberapa orang berjalan ke depan mencari tempat duduknya, sementara arus terbanyak berasal dari penumpang yang naik dari tangga depan. Maka tak heran saya harus menyelamatkan kepada dari koper yang lewat dekat kepala saya sebagai upaya dari penumpang untuk saling melewatinya.

Boarding Pass (Foto: @angtekkhun)
Boarding Pass (Foto: @angtekkhun)
Mengapa hal ini terjadi? Karena Citilink tidak mengumumkan agar penumpang dengan nomor kursi besar untuk naik terlebih dahulu. Dan saat berjalan di landasan, pun tak ada rambu yang memandu pemisahan “kelompok duduk” penumpang ini. Kedua cara ini tampak sepele, namun apabila salah satunya diterapkan, maka saya tak perlu memiring-miringkan kepada agar aman dari terjangan benda-benda bawaan penumpang.

Daftar menu yang dobel (Foto: @angtekkhun)
Daftar menu yang dobel (Foto: @angtekkhun)
Saat situasi mulai tenang, saya mulai mencari bacaan. Ulik-mengulik, alhasil nihil, saya tak menemukan majalah penerbangan sebagaimana ditegaskan oleh Mbak Pramugari di depan pintu masuk itu. Sebaliknya, saya mendapati buku menu dobel. Karena “malu bertanya sesat di jalan”, saya menanyakan perihal majalah penerbangan ini kepada seorang pramugara. Tak lama kemudian, Si Mas datang kembali dan menyodorkan sebuah majalah disertai permohonan maaf karena majalah “Linkers” tersebut sudah lecek. Tapi karena saya membutuhkan bacaan, dengan senang hati saya pun menerimanya.

Apa yang kemudian saya temukan? Ah, karena sudah menjadi kebiasaan dalam memperlakukan buku dan majalah, maka tindak pertama saya yang sudah menjadi kebiasaan mendarah daging adalah memeriksa edisi terbit. Dan, mengejutkan, ternyata di tangan saya adalah “Linkers” edisi April 2016! Enggak percaya, coba simak foto di bawah ini.

Linkers, majalah Citilink (Foto: @angtekkhun)
Linkers, majalah Citilink (Foto: @angtekkhun)
Linkers edisi April 2016 (Foto: @angtekkhun)
Linkers edisi April 2016 (Foto: @angtekkhun)
Lecek sana-sini tampak kumuh (Foto: @angtekkhun)
Lecek sana-sini tampak kumuh (Foto: @angtekkhun)
Kejutan berikut yang tak kalah serunya adalah di depan wajah saya bertengger permen karet bekas menempel mantap dengan aroma yang semriwing lewat di hidung saya. Saya bisa saja bertahan selama penerbangan dengan selamat, tetapi saya sadar ini bukanlah standar kebersihan sebuah airlines. Oleh karena itu, saat awak kabin mulai berkurang kesibukannya dan pas seorang pramugari lewat, saya bertanya sopan, “Mbak, ini bisa tolong dibersihkan?” Saya menunjuk ke arah objek tersebut. Mbak Pramugari berlalu dan menyuruh pramugara bernama Gunawan untuk menghampiri saya. Dengan selembar tisu kering, Mas Gunawan berterus-terang, “Ini sulit dihilangkan Pak. Apakah Bapak bersedia pindah ke kursi nomor 27?”

Permen karet bekas, tampak jorok (Foto: @angtekkhun)
Permen karet bekas, tampak jorok (Foto: @angtekkhun)
Setelah mempertimbangkan beberapa hal, saya menolak untuk diajak pindah dan menerima kenyataan yang disampaikan oleh Mas Gunawan bahwa permen karet itu tidak bisa dibersihkan secara tuntas.

Beralih ke momen lain, saya ingin menutupnya dengan keunikan terakhir. Ketika tiba saatnya para awak kabin memeragakan tindak keselamatan, seorang pramugari berdiri tak jauh dari kursi 24D. Dengan santai ia meletakkan semua alat peraga tersebut di lantai pesawat. Drama babak pertama berlangsung. Tiba-tiba dengar suara lengking. Awak kabin yang membacakan petunjuk, berhenti lalu kemudian melanjutkan. Drama babak pertama terulang lagi. Suara lengkingan kembali terdengar. Kali ini pramugari di dekat kursi saya dengan sigap berjalan ke belakang. Entah untuk melakukan apa. Namun yang pasti, onggokan alat peraga yang ditinggalkan di lantai begitu saja, menjadi objek menarik untuk saya foto. Hasilnya? Lihatlah foto di header tulisan ini.

* * *

Membaca profil perusahaan di website Citilink, tercantum dengan gagah subbagian yang bertajuk “Brand yang telah banyak meraih penghargaan”. Tercantum dengan jelas pernyatan, “Citilink menempatkan kepuasan pelanggan di atas segalanya. Sebagai bukti keberhasilan ... Citilink telah meraih beberapa penghargaan antara lain...” Dengan menaruh percaya pada pernyataan ini, saya berharap apa yang saya alami ini hanya terjadi dalam penerbangan GQ947 dan hanya pernah terjadi satu kali.

Pernyataan (profil) perusahaan (Foto: @angtekkhun)
Pernyataan (profil) perusahaan (Foto: @angtekkhun)
Saya menuliskan ini dengan berat hati dan setelah mempertimbangkannya selama hampir tiga hari, bukan dengan maksud untuk mencemarkan nama baik Citilink. Sebaliknya, agar semua yang terjadi ini menjadi umpan balik dan informasi dari bawah kepada manajemen dan pemangku kepentingan untuk mempertahankan kinerja baik Citilink serta tidak lalai melakukan Quality Control (QC).

Demikian, kiranya berkenan.­

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun