Di kanvas berwarna hitam, taburan kerlip cahaya memenuhi bumi Balikpapan. Saya melongokkan kepala, berusaha mendekatkan diri dengan batas seseorang yang duduk di urutan A, melayangkan pandangan melewati jendela oval Garuda Indonesia CRJ 1000 NextGen. Pesawat terasa bergerak perlahan, lalu kia cepat dan rendah. Memperlihatkan batas laut dan perbukitan yang menyala bak kunang-kunang.
Di malam yang merangkak ke pukul 22.00 waktu setempat, tiba-tiba saya teringat pada cerpen Umar Kayam, "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan". Terbayang adegan "Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini." Kedua tokoh rekaan sastrawan dan budayawan dari UGM ini sedang bercakap dengan setting kota New York dan penggalan dialog fenomenal yang amat dikenali pembaca: “Bulan itu ungu, Marno.”
Saya menggeret koper dan celingukan. Berputar dan melipir hingga saya menangkap sosok seseorang. "Rizky, ya?" sapa saya. Dan Rizky membenarkan. Kami berjabat tangan mengawali perkenalan, kemudian melangkah bersama untuk keluar. Sesuai petunjuk Radja, saya menghampiri loket taksi dan membayarkan sejumlah uang. Dengan tiket di tangan, petugas taksi meminta kami menunggu sejenak karena saat itu taksi sedang kosong.
Saya memanfaat situasi ini dengan sigap. Menggeletakkan koper, saya berlari kembali ke tempat asal kata disambut petugas. Tadi, mata sempat menangkap objek foto yang terlewati. Ini kesempatan saya kembali dan mengabadikannya papan petunjuk yang mengandung typo (kesalahan penulisan). Hm.. ini barang langka, kapan lagi saya bisa disponsori berada di bandara Sepinggan dan memanjakan kebiasaan usil ini.
Di hotel yang disediakan panitia, saya hanya bertemu Nanang Diyanto. Sebelumnya, kami pernah jumpa saat menghadiri undangan santap siang di Istana Negara. Dari obrolan, saya pun tahu kami akan kedatangan tuan rumah kompasianer Hilman Fajrin. Kami berdua kemudian menemui beliau, berkenalan dan bercakap banyak hal.
Banyak hal yang kami percakapkan. Saya menggunakan kesempatan ini untuk mengunduh informasi sebanyak-banyaknya dari mas Hilman. Dengan rela mas Hilman berbagi cerita dengan kondisi Kalimantan, medan yang akan kami lalui, situasi penduduk, serta rasa ingin tahu saya mengapa Balikpapan sebagai kota yang besar, megah, dan destinasi Kalimantan tidak menjadi ibukota Kalimantan Timur.
Kami bercakap hingga menjelang pukul 01.00 WITA dinihari. Banyak hal yang masih ingin kami percakapkan, namun waktu tidak memungkinkan. Cerita saya tentang dunia penerbitan buku pun tidak sempat tuntas, meskipun rekan ngobrol saya sudah berganti dari mas Nanang yang sudah pamit duluan, berganti tim panitia.
Kembali ke kamar, kantuk belum juga menghampiri jenis "orang subuh" seperti saya. Saya masih ingin menuliskan catatan perjalanan pertama dan mengunduh data yang dibutuhkan. Namun apa daya, laptop saya gagal terkonek dengan WiFi hotel. Menuruti nasihat panitia agar beristirahat, saya pun mengakhiri malam itu dengan memaksa mata untuk merem.
[]
TULISAN TERKAIT #DatsunRisersExpedition 2016:
- Wish List: Cara Sederhana Jelajah Diri dan Menemukan Makna Hidup
- Datsun dan Wish List yang Terjawab
- Seribu Kunang-kunang di Balikpapan
- Kerjap Mata Pertama Menyapa Kutai Timur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H