Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Seribu Kunang-kunang di Balikpapan

21 Januari 2016   22:40 Diperbarui: 22 Januari 2016   04:35 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kanvas berwarna hitam, taburan kerlip cahaya memenuhi bumi Balikpapan. Saya melongokkan kepala, berusaha mendekatkan diri dengan batas seseorang yang duduk di urutan A, melayangkan pandangan melewati jendela oval Garuda Indonesia CRJ 1000 NextGen. Pesawat terasa bergerak perlahan, lalu kia cepat dan rendah. Memperlihatkan batas laut dan perbukitan yang menyala bak kunang-kunang.

Di malam yang merangkak ke pukul 22.00 waktu setempat, tiba-tiba saya teringat pada cerpen Umar Kayam, "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan". Terbayang adegan "Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini." Kedua tokoh rekaan sastrawan dan budayawan dari UGM ini sedang bercakap dengan setting kota New York dan penggalan dialog fenomenal yang amat dikenali pembaca: “Bulan itu ungu, Marno.

Dalam hitungan menit, Explore Jet ini landing dengan mulus, lalu merdu suara pramugari menyampaikan sambutan selamat datang di Balikpapan. Yep! Kaki saya segera menginjak belahan bumi yang berbeda, bumi Kalimantan. Datsun melalui program #DatsunRisersExpedition 2016 jelajah pulau Kalimantan, telah mengantarkan saya ke sini.

Bergerak bersama penumpang lain, saya pun tiba di pengujung gang dan mengucapkan terima kasih kepada pramugari. Melangkah ke sisi kiri dan berjalan turun, langit Balikpapan serasa memeluk tubuh saya. Mengambil beberapa foto, saya kemudian bergegas menuju bus yang telah menunggu dan membawa kami ke terminal kedatangan.

Bandara yang bagus, gumam saya, sambil mengali ingatan masa lalu akan bandara Sepinggan lama yang kecil dan sederhana, saat saya pernah harus menginap semalam di sini karena gangguan teknis pada pesawat gagal menerbangkan saya menuju Surabaya.

Saat menanti bagasi, telepon genggam saya berdering. Mas Radja dari pihak panitia meminta maaf tidak bisa menjemput, menanyakan apakah hendak bersantap malam, dan memberi petunjuk bagaimana mencapai hotel menggunakan taksi resmi bandara.

Tak lama kemudian, saya mendapat kontak dari Rizky Dwi Rahmawan, Riser asal Banyumas yang berangkat menggunakan pesawat yang sama dan telah berada di luar terminal kedatangan karena tidak membawa bagasi. Kami menyepakati meeting point lalu saya bergegas menghampiri tempat kedatangan bagasi untuk menyambar koper saya yang telah bergerak keluar.

Sebelum melangkah melewati pintu keluar, mata saya empat dimanjakan oleh kehijauan hutan buatan yang menghiasi ruang kedatangan, dan sempat mengambil mengabadikan pesan-pesan perlindungan kekayaan alam.

* * *

Saya menggeret koper dan celingukan. Berputar dan melipir hingga saya menangkap sosok seseorang. "Rizky, ya?" sapa saya. Dan Rizky membenarkan. Kami berjabat tangan mengawali perkenalan, kemudian melangkah bersama untuk keluar. Sesuai petunjuk Radja, saya menghampiri loket taksi dan membayarkan sejumlah uang. Dengan tiket di tangan, petugas taksi meminta kami menunggu sejenak karena saat itu taksi sedang kosong.

Saya memanfaat situasi ini dengan sigap. Menggeletakkan koper, saya berlari kembali ke tempat asal kata disambut petugas. Tadi, mata sempat menangkap objek foto yang terlewati. Ini kesempatan saya kembali dan mengabadikannya papan petunjuk yang mengandung typo (kesalahan penulisan). Hm.. ini barang langka, kapan lagi saya bisa disponsori berada di bandara Sepinggan dan memanjakan kebiasaan usil ini.

* * *

Di hotel yang disediakan panitia, saya hanya bertemu Nanang Diyanto. Sebelumnya, kami pernah jumpa saat menghadiri undangan santap siang di Istana Negara. Dari obrolan, saya pun tahu kami akan kedatangan tuan rumah kompasianer Hilman Fajrin. Kami berdua kemudian menemui beliau, berkenalan dan bercakap banyak hal.

Banyak hal yang kami percakapkan. Saya menggunakan kesempatan ini untuk mengunduh informasi sebanyak-banyaknya dari mas Hilman. Dengan rela mas Hilman berbagi cerita dengan kondisi Kalimantan, medan yang akan kami lalui, situasi penduduk, serta rasa ingin tahu saya mengapa Balikpapan sebagai kota yang besar, megah, dan destinasi Kalimantan tidak menjadi ibukota Kalimantan Timur.

Kami bercakap hingga menjelang pukul 01.00 WITA dinihari. Banyak hal yang masih ingin kami percakapkan, namun waktu tidak memungkinkan. Cerita saya tentang dunia penerbitan buku pun tidak sempat tuntas, meskipun rekan ngobrol saya sudah berganti dari mas Nanang yang sudah pamit duluan, berganti tim panitia.

Kembali ke kamar, kantuk belum juga menghampiri jenis "orang subuh" seperti saya. Saya masih ingin menuliskan catatan perjalanan pertama dan mengunduh data yang dibutuhkan. Namun apa daya, laptop saya gagal terkonek dengan WiFi hotel. Menuruti nasihat panitia agar beristirahat, saya pun mengakhiri malam itu dengan memaksa mata untuk merem.

[]

TULISAN TERKAIT #DatsunRisersExpedition 2016:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun