Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

"Sinar Harapan" dan Kenangan Kecil Tentangnya

4 Januari 2016   04:13 Diperbarui: 4 Januari 2016   09:29 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika ada tempat di mana Dinosaurus tidak punah, itu ada di dunia animasi. Asteroid, sang penghancur itu, luput membuat makhluk hidup raksasa ini menjadi kenangan dan bersemayam dalam fantasi anak-anak. Pixar Animation Studios dan Walt Disney Pictures membesut premis ini menjadi tontonan (film) bertajuk "The Good Dinosaur", arahan Peter Sohn (Ratatouille, The Incredibles, Finding Nemo, Brave).


Namun sayangnya, ini bukan jalan premis atau kisah sukses sebuah harian bernama Sinar Harapan (SH). Pada lembar hari terakhir almanak 2015, harian sore ini mengucapkan salam perpisahan. Terbitan yang selayaknya menjadi Edisi Akhir Tahun, bermakna pula sebagai Edisi Akhir Hidup. Maka, konon koran tertua dan "raja" koran sore di Indonesia ini, harus mengakhiri perjalanannya sebagai koran legendaris.

Eric Somba, Pimred SH, menuturkan kepada Okezone bahwa penyetopan operasi itu setelah penghasilan SH, baik dari oplah penjualan hingga iklan tak mampu menutupi biaya produksi dan operasional.

Diterbitkan pertama kali pada 27 April 1961 dengan moto “Memperdjoangkan kebenaran dan keadilan, kebebasan dan perdamaian berdasarkan kasih”, sejatinya SH bak kucing "bernyawa sembilan". Lewat tulisan Wahyu Dramastuti di edisi terakhir itu, kita diberi informasi mengenai perjalanan "nyawa" SH sebagai berikut:

  • 2 Oktober 1965, dua hari setelah peristiwa G30S, SH dibreidel bersama media-media lainnya.
  • Juli 1970, SH dilarang terbit karena menyiarkan laporan Komisi IV kepada Presiden Soeharto tentang masalah korupsi.
  • 2 Januari 1973, Surat Izin Cetak (SIC) SH dicabut oleh Pangkopkamtib karena tulisan tajam mengenai korupsi di Pertamina, Bulog, Kehutanan, dan dimuatnya RAPBN 1973-1974 pada 30 Desember 1972.
  • 20 Januari 1978, SH diberangus akibat menyiarkan kegiatan mahasiswa dan mengakibatkan panasnya situasi politik.
  • Oktober 1986, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) SH dibatalkan oleh pemerintahan Soeharto dipicu berita utama rencana pencabutan tata niaga bidang impor yang dianggap spekulatif dan dapat mengganggu stabilitas nasional.

Sejak itu, SH tidak pernah terbit lagi. Managemen harian ini dipaksa bermetamorfosis membentuk usaha baru dengan nama PT Media Interaksi Utama (MIU), yang kemudian melahirkan harian Suara Pembaruan.

Ketika situasi politik di tanah air berubah dengan berakhirnya masa pemerintahan Soeharto (era reformasi), barulah "si kucing ini" memperoleh nyawanya kembali dan terbit resmi pada 2 Juli 2001. Motonya tidak bergeser jauh, "Memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan, kebenaran dan perdamaian berdasarkan kasih".

* * *

Dalam perjalanan saya mengenal dunia tulis-menulis dan kemudian belajar serta berkecimpung di dalamnya, ada beberapa media yang memainkan peranan penting. Sebagai pemikat awal dan kelak saya menulis di dalamnya, Sinar Harapan ada di tempat paling pertama dan utama.

Anak-anak Indonesia pada eranya dibesarkan oleh majalah Si Kuncung, Kawanku, dan Bobo, tidak demikian dengan saya. Sebagai anak yang lahir dan bertumbuh di sebuah kota kecil di pulau Sulawesi, distribusi media massa teramat jarang yang memiliki tangan sepanjang itu. Jika pun ada, majalah tergolong dalam daftar barang mewah bagi kami.

Suatu waktu datanglah "pintu" yang terbuka bagi saya. Di harian Sinar Harapan Minggu, saya menjumpai satu halaman penuh tanpa iklan sebagai bacaan yang pas buat saya. Paruh atas koran itu menyajikan bacaan untuk anak-anak, sementara paruh bawah diperuntukkan bagi remaja atau kaum muda. Polanya sama, ada cerpen dan puisi serta berita kegiatan dan profil. Saya menemukan surga di halaman ini, yang kelak menjadi sasaran kirim naskah saat saya mulai belajar menulis.

Dari Sinar Harapan saya terjembatani ke bacaan lebih dewasa dan umum melalui sisipan tabloid Mutiara dan kemudian buku-buku terbitan Pustaka Sinar Harapan. Yang paling saya ingat dari tabloid Mutiara adalah kisah-kisah pendakian gunung dan perjalanan. Satu nama yang kerap terbaca oleh saya adalah Norman Edwin. Norman dikenal sebagai pecinta alam dan wartawan. Jebolan Mapala UI yang mengembuskan napas terakhir di Aconcagua ini secara rutin menuliskan petualangannya. Di tabloid ini pula saya menikmati sketsa-sketsa (cmiiw) Henk Ngantung. Pemilik nama lengkap Hendrik Hermanus Joel Ngantung adalah pelukis Indonesia dan Gubernur DKI Jakarta periode 1964-1965.

Pustaka Sinar Harapan memberi saya pengalaman membeli buku untuk pertama kalinya. Di kota kelahiran saya tidak terdapat toko buku, namun melalui Sinar Harapan saya terhasut untuk membaca dan memiliki buku yang dipromosikannya. Maka dengan uang tabungan, saya belajar membeli buku secara jarak jauh di era toko online masih menjadi mimpi di siang bolong. Berangkat dari titik ini, pada akhirnya saya belajar mengirimkan uang melalui weselpos. Beberapa buku dongeng berwarna saya miliki dengan bangga. Namun, yang tak terlupakan adalah saat saya membeli buku pertama berjudul (cmiiw) "Vivere Pericoloso" karya Setiadi Tryman. Buku berisi kumpulan sentilan redaksi sejenis kolom Mang Usil yang kita kenal di harian Kompas hari ini, diambil dari kolom berjudul sama di SH.

Terkait dengan SH, mata dan telinga saya diperkenalkan dengan dua nama. Nama pertama membawa saya turut hanyut dalam emosi kesedihan akibat pemberitaan (cmiiw) mengenai kecelakaan terjun payung yang membawa maut yang dialami oleh Tina (Agustina?) Rorimpandey, putri H.G. Rorimpandey. Rorimpandey adalah pendiri dan Pemimpin Umum SH pada saat itu. Nama kedua adalah Tuti Gintini, wartawati SH yang namanya sering disebut-sebut dalam percakapan kakak-kakak sastrawan muda saat saya belajar menulis puisi. Tuti menjadi idola, dan tercatat pernah meraih Hadiah Adinegoro, lambang supremasi wartawan di negeri ini.

* * *

Di halaman Sinar Harapan Minggu itu, saya membaca dan belajar menulis. Saya tidak bisa mengingat dengan baik apa saja yang sudah pernah saya tulis di sana. Namun saya tak pernah melupakan puisi pertama saya yang dimuat di sana, yang membuat saya meloncat-loncat kegirangan dan diliputi perasaan berbunga-bunga selama berhari-hari. Puisi pertama itu saya salinkan di sini sebagai penutup sepotong kenangan kecil tentang harian sore Sinar Harapan, sambil mengingat kegembiraan--sekaligus kini kesedihan--yang pernah saya terima darinya. "Terima kasih, Sinar Harapan." Sinarmu mungkin telah redup, namun harapan yang telah kau tebar dan kibarkan dalam perjalanan panjang untuk Indonesia senantiasa akan abadi.

MU

Kurasa begitu banyak yang harus kita bicarakan
pagi ini. Kucingmu masuk rumahku lagi, menyantap
sarapanku. Dan saat aku membaringkan tubuh
ia merampok tidurku

Banyak sengketa yang harus kita selesaikan
Pohon-pohonku yang kau tebang subuh tadi
kini jadi mayat yang mempertanyakan kekuasaanku
Begitu juga burung-burung yang kau tembaki
dengan bedil hasil curian

Sudah saatnya kita saling membayar hutang
Menghitung cost dan benefit pagi-malam
Mumpung masih ada tanah kosong
untuk menjadi arena kita

[]

* Anda dapat membaca edisi terakhir Sinar Harapan versi epaper di sini > http://www.sinarharapan.co/epaper/2015/12/31/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun