Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Laku Biasa Anak Presiden Jadi Buah Debat

11 Juni 2015   05:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:07 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di "negeri pencitraan", setidaknya dalam rentang sepuluh tahun terakhir, laku biasa bisa menuai respons luar biasa. Hal-hal yang dipandang "oasem" (asam), bergaris tipis menjadi "aosem" (awesome). Berbagai hal yang sejatinya amat human, direspons sebagai atau menjadi peristiwa human interest.

Itulah yang menimpa seorang Joko Widodo dan menjadi magnet untuk diangkat menjadi bahan perbincangan sejak beliau menginjakkan kaki di ibukota dalam peran sebagai Gubernur DKI Jakarta. Pun tak luput sepanjang proses pilpres, hingga menjelang perhelatan pernikahan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka.

Harian Kompas, Rabu 10 Juni 2015, menempatkan tulisan bertajuk "Anak Presiden, Anak Tukang Becak, Sama Saja" di halaman muka. Intro karya tulis Sonya Hellen Sinombor itu, bernas dan lugas:

Sebagai anak Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka (27), sebenarnya bisa menjadi "raja sehari" saat duduk di pelaminan bersama calon istrinya, Selvi Ananda Putri (24), di Istana Kepresidenan. Gibran bisa memilih mau di Istana Bogor, Cipanas, Jawa Barat, atau di Istana Negara, Jakarta. Namun, kesempatan itu ditepisnya jauh-jauh.

Dikutip pula ucapan langsung Gibran, "Mau anak Presiden, anak tukang becak, sama saja (kalau ingin mandiri)." Jawaban lugas itu menanggani pertanyaan wartawan Kompas mengapa sebagai anak Presiden ia tidak mau menggunakan fasilitas Istana, seperti pada era yang lalu.

Selebihnya dan sedalamnya, tentu saja Anda bisa membacanya sendiri. Saya mengungkapkan hal ini di sini sebagai hal kedua yang memicu kegelisahan benak saya sepanjang hari ini hingga terusik untuk menuliskannya di sini.

Lalu, apa hal pertama yang memendarkan ricuh kecil di ranah ini? Tak lain status Facebook yang ditulis oleh Marco Kusumawijaya, founder dan direktur RUJAK Center for Urban Studies. Pendukung kritis dan rasional Jokowi saat pilpres ini menulis tidak terlalu panjang.

Semoga Ini Cukup

Saya sangat terharu membaca ini, sebab merasakan betapa tiba-tiba bangsa Indonesia mendapat berkah suatu tauladan yang sangat layak pada tempat yang sangat tinggi. Sesuatu yang sudah lama diperlukannya.

Semoga kita semua mampu menyadari berkah ini, dan menerimanya dengan baik.

Saya harap ini cukup.

Yang dirujuk dan di-share oleh pakar yang menyebut dirinya "Architect and urbanist" ini adalah tautan pemberitaan Kompas.com bertajuk Ketua RW akan Jadi Saksi Nikah Gibran.

Sekadar penyegar, dalam tulisan tersebut diungkap bahwa alih-alih tampil keren meminta tokoh beken, putra sulung Presiden Joko Widodo itu malah memilih Ketua RW di perumahannya, Abdul Karim, sebagai saksi nikah. Alasannya sederhana saja, lantaran Abdul dianggap mengenal keluarga Jokowi sejak lama.

Informasi ini diulik wartawan dari Kepala Kantor Urusan Agama Banjarsari Mukhtarozi saat dijumpai di kantornya, Selasa (10/6). “Saksinya nggak pakai pejabat tinggi kayak orang lain, keluarga pak Jokowi menunjuk pak RW yang memang tahu betul Mas Gibran,” ujar Mukhtarpzi.

Menurut Mukhtarpzi, pemilihan Ketua RW menjadi saksi nikah Gibran merupakan salah satu kesederhanaan yang selama ini dikenal dari keluarga Jokowi. Di saat pejabat lain berlomba-lomba mendatangkan saksi orang-orang termahsyur, Jokowi lebih senang menunjuk orang yang sudah lama dikenalnya meski hanya warga biasa.

Tak pelak, status FB tersebut menuai sahut-menyahut komentar dari banyak Fesbuker. Seseorang dengan inisial MT memberikan tanggapan, "Orang yang rendah hati pasti Ditinggikan. Selamat buat putra Pak Jokowi... semoga menjadi contoh yang baik bagi anak2 pejabat yg lain."

Pemegang akun SAN menulis, "Sudah jadi pengetahuan umum bahwa: bahkan untuk sikap dan tindakan kecil seperti di atas saja, banyak pejabat kita yang salah kaprah dan salah menempatkan dirinya. Jadi contoh kecil seperti yang ditunjukkan oleh Pak Jokowi adalah sesuatu yang langka di negeri ini!"

Namun tentu ada saja orang yang terusik dan memberikan respons negatif akan hal ini. Sebagaimana biasanya, tindak laku biasa ini dipandang sebagai pencitraan. Atas hal ini, DD menuliskan secara ringan, "klambine batiik ireng kok ra coklat ... salah maneh ... cen nek wis sengit ki opo opo salah ... ati mrongkol kok ra rampung2 ... selamat n nderek mangayubagya bapak presiden."

Seorang berinisial AS mencoba memberikan informasi apa adanya. Ia menulis, "yang tinggal di solo sudah bisa merasakan aura pak Jokowi, ngga kagetan kaya krn sudah kaya, ngga gengsian karena sudah tertempa hidup sederhana sebelumnya, membanggakan memiliki presiden low profile... bukan pencitraan, memang sudah way of life nya... terharu... mana ada perbaikan kantor kelurahan/kecamatan di kota kami dengan lay out yang menghijau sebelum era jokowi? dia benar2 bekerja saat dulu dan sekarang... we love jokowi.. yang menjadi pertanyaan bisakah kita rakyatnya menjaga kebersihan dan merawat perbaikan?"

Bagaimana komentar Marco Kusumawijaya selaku tuan rumah akun? Beliau menulis, "Kalau membaca komentar pada dinding ini, kelihatannya cukup bagi sebagian orang, sementara bagi sebagian yang lain tidak pernah cukup. Benar kata R. Tagore, bahwa sesuatu yg baik itu masuk atau tidak ke dalam diri tergantung kepada kapasitas yang dibangun sendiri oleh ybs."

* * *

Ah, begitulah rumitnya laku biasa di era pencitraan. Saya berkata dalam hati, "Jangan coba-coba melakukannya bila mental Anda tidak kuat, karena situasi mudah berbalik. Laku biasa berputar menjadi laku pencitraan." Hal remeh-temeh seperti ini, bagi sebagian orang, menjadi ribet-belibet. Menyitir salah seorang penulis komentar, buah simalakama bisa lahir di sini: Laku mewah dianggap boros, laku biasa dianggap pencitraan.

Semoga ini tidak menjadi racun pikir bagi kita semua bahwa orang biasa sebaiknya tidak neko-neko menjadi orang luar biasa, rakyat biasa cukuplah menjadi rakyat biasa; mimpi tak perlu terlalu indah. {}

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun