Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Optimalisasi Karya Anak Negeri dalam Kegiatan Hulu Migas

10 April 2015   15:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:17 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia adalah negeri yang kaya. Dalam rentang Sabang hingga Merauke yang setara bentang London di Inggris hingga Istanbul di Turki, melalui jajaran lebih dari 17.500 pulau dan dibalut garis pantai terpanjang nomor dua di dunia, terpapar kemilau harta bak hamparan mutumanikam. Udara, air, dan tanah tempat jejak hampir 250 juta penduduk, merepresentasikan sepotong surga di khatulistiwa, yang mencuatkan decak kagum dan iri banyak bangsa lain.

Koes Plus menggambarkannya secara lugas, tanpa tedeng aling-aling, bahwa negeri yang bebas dari badai dan topan ini dikelilingi oleh kolam susu. Hidup di negeri ini cukuplah berbekal kail dan jala, karena ikan dan udang akan datang menghampiri kita. Dengan kualitas tanah surga, tongkat kayu dan batu akan tumbuh jadi tanaman.

Kandungan minyak dan gas bumi (migas), misalnya, adalah bagian dari kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang ditaburkan oleh kemurahan tangan Sang Khalik di bumi Nusantara, menjadi bagian dalam racikan "kolam susu" tersebut; milik kolektif segenap anak bangsa sebagai pemilik negeri ini. Untuk itu, UUD 1945 melindunginya melalui pasal 33 yang menyatakan bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (ayat 3).

Menyibak Jalan Berkabut

Sampai di sini, siapa pun kita yang pernah mengenyam pendidikan dasar dan menengah akan mengerti dan hapal di luar kepala pernyataan Pasal 33 ayat 3 ini hingga ke titik dan komanya. Bahkan mungkin sekali di-stabilo agar terbaca jelas. Namun selangkah lebih maju dari ini, jalan paham di depan kita mungkin akan segera tampak berkabut. Terdapat jurang "pengetahuan dan informasi" pemisah yang membentang tentang bagaimana negara mengelola kekayaan ini untuk mewujudkan kesejahtaraan rakyat. Eksplorasi, eksploitasi, rantai suplai (Supply Chain), hingga urusan bisnis migas dan pendukung-pendukungnya, terasa gelap bagai disinggahi gerhana matahari.

14286518452040911597
14286518452040911597

Ketika menulis artikel SKK Migas: Ujung Tombak Migas & Penggerak Ekonomi Negara sebagai partisipasi dan kontribusi dalam mendukung kerja bareng SKK Migas dan Kompasiana dalam upaya melakukan sosialisasi dan edukasi atau membuka dan membagi wawasan kepada masyarakat umum tentang kegiatan hulu migas, barulah saya memeroleh titik terang buat mengusir kabut tersebut. Setidaknya saya yang awam ini menjadi mengerti perbedaan kegiatan, peran, dan fungsi tiga lembaga/perusahaan yang kerap menghiasi media massa dan berbaur dalam benak saya, yaitu SKK Migas, Perusahaan Gas Negara (PGN), dan Pertamina; dan tentu saja plus serba sedikit tentang dinamika dan pergulatan kegiataan di hulu migas.

Migas: Pilar Pembangunan Ekonomi Indonesia

Rangkaian sejarah mencatat, migas memberikan kontribusi signifikan dan menjadi pilar pembangunan ekonomi Indonesia. Hingga hari ini, fakta yang tak dapat kita mungkiri adalah bahwa migas masih menjadi sumber penerimaan negara terbesar kedua setelah pajak.

Dalam perjalanannya, "jalan migas" dalam rangkuman saya telah melewati tiga fase krusial. Pertama, era pemerintahan Presiden Soekarno, telah meletakkan dasar-dasar perihal pengelolaan migas, di mana negara berdaulat atas sumber daya alam dan cadangan migas.

Kedua, era pemerintahan Soeharto, telah menjadikan migas sebagai pilar dan lokomotif utama dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan kejelian mengaitkannya dengan pertahanan dan ketahanan nasional. Tentu saja yang paling kita ingat dari era ini adalah lahirnya tahapan pembangunan lima tahun (Pelita). Pada era ini, struktur perekonomian Indonesa berhasil diperkuat dengan pengembangan sektor-sektor penerimaan di luar migas.

Ketiga, era Reformasi, yang ditandai dengan keterbukaan informasi, dorongan partisipasi warga, serta pergulatan untuk mengoptimalkan kapasitas nasional serta penerimaan di sektor-sektor di luar migas untuk memberi kontribusi ke APBN.

"Angin Surga" dan Perubahan Paradigma

Waktu berlalu dan kini kita hidup di masa ketika "Angin Surga" migas telah berhenti berkibas kencang. Booming kekayaan yang berasal dari sektor minyak dan pendukungnya, yang sering kali disebut Era Bonanza, yaitu masa ketika minyak memberikan keuntungan sangat besar, memang mencapai masa keemasannya pada periode 1970-an hingga 1985-an.

14286519371858339714
14286519371858339714

Infografik di atas secara gamblang memperlihatkan bahwa Build-up Stage (1960-1977) telah terlewati dan kini kegiatan hulu migas kita telah memasuki Decline Stage (1995-Sekarang). Produksi dan cadangan migas menunjukkan tren penurunan. Fase "Ongkang-ongkang" telah digantikan oleh tren padat modal, padat teknologi, dan padat risiko. Ini adalah konsekuensi yang wajar mengingat migas adalah Sumber Daya Alam yang tidak terbarukan (non-renewable resources).

Susilo Siswoutomo semasa menjabat Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam Konvensi Nasional Penunjang Hulu Minyak dan Gas Bumi (2013) mengatakan bahwa kegiatan eksploitasi yang dilakukan saat itu sudah semakin tidak efisien. Usia sumur-sumur minyak di Indonesia sudah tergolong tua. Untuk operasional, dibutuhkan biaya yang semakin besar. Namun, biaya yang besar itu tidak diimbangi oleh produktivitas yang setimpal.

“Lapangan sudah tua, seperti nenek-nenek 80 tahun. Disuruh lari kencang, sudah tidak bisa. Ongkosnya pun besar, harus urut dulu, harus oles balsam dulu. Begitulah umpamanya sumur tua kita,” demikian tutur Pak Wamen.

Perubahan paradigma sedang menanti da menantang kita, dari tambang uang (revenue) menjadi lokomotif penggerak ekonomi nasional. Dari pendekatan lama sebagai penghasil revenue dan energi, menuju pendekatan baru yang berorientasi pada people prosperity, pro-poor, pro-job, dan pro-growth. Dari sumber pendapatan, bergerak ke arah sumber energi dan bahan baku, serta menciptakan dampak berlapis-lapis (Multiplier Effect).

1428651968803825437
1428651968803825437

Dalam upaya meningkatkan kapasitas nasional dan menciptakan Multiplier Effect, tersedia tiga area penggarapan:

1. Peningkatan peran perusahaan dalam negeri

Seleksi alam akan menyaring para pelaku bisnis di hulu migas. Selain tangguh secara alamiah, diharapkan pemerintah juga menunjukkan keberpihakannya melalui pengambilan kebijakan (policy) dan pengaturan agar ada keseimbangan dengan memberi porsi partisipasi dan penguatan bagi pelaku bisnis nasional.

Menyenggol hal ini, dalam laporan 100 hari kinerja SKK Migas (2013), Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini mengungkap 4 di antara 8 permasalahan di sektor hulu migas yang disampaikannya ke Presiden SBY, yaitu (1) proses pengadaan tanah untuk sektor hulu migas mendapatkan kekhususan, seperti pengadaan tanah skala kecil kegiatan industri hulu migas yang tadinya 5 hektar diubah menjadi 1 hektar, (2) penerapan azas cabotage, yaitu memberi hak operasi angkutan laut secara komersial kepada perusahaan dalam negeri secara eksklusif yang diatur melalui Undang-Undang, (3) penyederhanaan birokrasi perizinan, dan (4) peningkatan iklim investasi hulu migas.

142865201869068971
142865201869068971

2. Peningkatan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN)

Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) masih berpotensi untuk terus didorong naik. Pencapaian kandungan dalam negeri sebesar 54,15% pada 2014, berarti dihasilkannya sekitar Rp200 triliun yang dapat menambah kapasitas belanja negara. Dengan melihat jumlah ini, maka TKDN layak dikawal secara serius untuk mencapai level tertinggi. Apalagi bila kita melihat capaian 2014 berada dalam kecenderungan menurun dalam grafik rentang lima tahun terakhir, di mana pada 2010 mencapai 63%.

Tentu saja ini bukanlah pekerjaan mudah. Dalam pernyataannya di forum Supply Chain Management Summit yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali (2014), Plt Kepala SKK Migas Johannes Widjonarko mengatakan bahwa untuk meningkatkan komponen dalam negeri di industri hulu migas sangat sulit, termasuk dalam penyediaan Sumber Daya Manusia yang memadai. "Komponen Sumber Daya Manusia tidak maksimal karena yang ada di dalam negeri masih banyak yang belum memadai."

14286520451468394931
14286520451468394931

Langkah terpuji untuk mendukung ini, Kementerian Koordinator Kemaritiman (2015) akan mewajibkan kegiatan survei minyak dan gas bumi seperti pemetaan batimetri (kedalaman laut) dan survei seismik menggunakan produk dalam negeri.

Selama ini SKK Migas hanya menganjurkan penggunaan kapal untuk kegiatan survei migas, bukan mewajibkan. Aturan ini dianggap kurang tegas, karena hanya bersifat anjuran (voluntary) dan bukan mewajibkan (mandatory). Tak heran selama ini kapal riset yang berjumlah 12 unit, hanya beroperasi satu bulan dalam satu tahun.

Sejalan dengan itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan TKDN di industri hulu minyak dan gas bumi tahun ini mencapai 60%. Pelaksana tugas Dirjen Migas I Gusti Nyoman Wiratmadja Puja mengatakan TKDN di industri hulu migas masih rendah. Tahun lalu saja prosentasenya lebih rendah dari tahun sebelumnya yang sudah mencapai 57 persen.

3. Peningkatan peran dan kompetensi SDM dalam negeri

Khusus untuk topik ini, mari kita diskusikan dalam subjudul berikut.

Kebutuhan dan Ketersediaan SDM Migas

Keluhan akan lemahnya ketersediaan Sumber Daya Manusia yang andal, tidak datang hanya sekali. Dalam laporan 100 hari kinerja SKK Migas kepada Presiden SBY (2013), Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini menyampaikan 8 masalah yang disebutnya sebagai tantangan yang harus segera diselesaikan dalam waktu dekat. Salah satunya menyangkut peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia industri hulu migas.

Dalam Konvensi Nasional Penunjang Hulu Minyak dan Gas Bumi (2013), Rudi Rubiandini mengungkap bahwa akan ada sekitar 1.300 pengeboran sumur minyak dan gas (migas) sepanjang 2013. Untuk mengejar target tersebut, dibutuhkan Sumber Daya Manusia yang profesional dalam jumlah yang tidak sedikit. Namun dalam kenyataannya, terdapat sejumlah kendala untuk memenuhi kebutuhan ini.

Setidaknya terdapat empat kendala utama  untuk memeroleh SDM andal di tanah air (2013) yang saya rangkum dari pernyataan Rudi Rubiandini (butir 1-3) dan Faisal Basri (butir 4):


  1. Gaji Kecil. Di luar negeri, tenaga ahli pemboran asal Indonesia bergaji minimal Rp150 juta per bulan. Sementara di tanah air, gaji maksimal yang mereka peroleh hanya Rp25 juta per bulan. Tak heran SDM kita memilih merantau ke Eropa, Amerika Serikat, dan Timur Tengah.
  2. Selera Kerja. Kerja di lapangan migas belum menjadi primadona sebagian anak muda Indonesia masa kini. Anak-anak muda sekarang, cenderung memilih bekerja di kantor dengan pakaian necis, berdasi, dan beraroma wangi.
  3. Minim Lembaga Pendidikan. Institusi pendidikan yang membuka jurusan teknik perminyakan dengan kualitas baik, masih belum memadai. Saat ini mungkin hanya ITB yang mampu mencetak lulusan teknik perminyakan dengan standar tinggi. ITB rata-rata hanya meluluskan 10 mahasiswa pertambangan setiap tahun.
  4. Masalah Kultur. Kultur di perusahaan Indonesia kadang kurang kondusif sehingga menjadi penghalang produktivitas mereka yang sebelumnya bekerja di perusahaan asing. Suasana dan iklim kerjanya berbeda, juga diwarnai intrik-intrik yang kontraproduktif.

14286521181009085877
14286521181009085877

MEA, Bonus Demografi, Langkah-langkah Konkret

Dengan kendala-kendala seperti itu, tidaklah mengejutkan saat Deputi Pengendalian Dukungan Bisnis Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Lambok H Hutahuruk memberikan data bahwa pada 2013 ada sebanyak 600 pekerja di sektor hulu Migas dari Indonesia memilih merantau ke Timur Tengah.

Dalam konteks menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), tentu saja fakta ini patut kita banggakan, bahwa SDM Indonesia yang berketerampilan tidak kalah dalam bersaing untuk diterima di industri migas di luar negeri. Di sisi lain, datangnya MEA juga bisa menguntungkan industri hulu migas di dalam negeri, karena kekurangan SDM dapat dicukupkan oleh hadir SDM dari luar (baca: ASEAN).

Ini sebuah kondisi timbal balik yang saling menguntungkan. Namun sayangnya, persoalan tidak sesederhana ini. Yang patut kita ingat bukan hanya soal segera tersongsongnya MEA, melainkan juga hadirnya Bonus Demografi.

Secara sederhana Bonus Demografi dapat dijelaskan sebagai suatu kondisi di sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk usia produktif yang lebih banyak dibandingkan penduduk usia tidak produktif. Lonjakan penduduk usia produktif ini harus dikelola dengan baik sehingga mendatangkan berkah; bukan musibah berupa limpahan manusia yang tidak memiliki kompetensi memadai.

Berikut beberapa langkah konkret yang dapat menjadi pilihan dalam menjawab kondisi-kondisi di atas.


  1. Melakukan sosialisasi secara luas ke masyarakat, khususnya siswa-siswa sekolah menengah tentang ketersediaan profesi/lowongan karier di industri migas. Minimnya informasi membuat para siswa hanya mengetahui jurusan tertentu yang itu-itu saja di perguruan tinggi.
  2. Mendorong bertambahnya lembaga pendidikan yang membuka jurusan atau program politeknik yang mendidik tenaga-tenaga andal di bidang industri migas.
  3. Mendekatkan jurang gaji yang diberikan dengan pertimbangan logis daripada merekrut tenaga kerja asing, lebih baik memilih SDM Indonesia yang kemampuannya tak kalah dengan tenaga asing.
  4. Mengenalkan kampus pada industri migas secara umum, agar lebih dekat dan mengetahui apa yang dibutuhkan industri ini. Kepala Dinas Sumber Daya Manusia (SDM) SKK Migas, Widya Yoshita Sumadyo, pada 2014 menjelaskan bahwa kampus yang pernah melakukan program ini adalah ITB, UNPAD, UGM, dan UPN.
  5. Menggencarkan kuliah-kuliah umum untuk menambah wawasan dan meningkatkan pengetahuan sebagaimana dilakukan secara berkala di Politeknik Akamigas Palembang dan kampus-kampus lain.
  6. Mengadakan bursa kerja yang dikhususkan untuk sektor migas, di mana di dalamnya terdapat bursa kerja ahli serta bursa kerja pendukung, seperti tenaga keuangan dan legal (hukum). Untuk mencapai sasaran yang luas, bursa kerja ini bisa dibuka secara online.
  7. "Expat Goes to Campus". Pada program yang diusung Widya Yoshita Sumadyo ini, para SDM asing yang kerja di sektor migas Indonesia dihadirkan di kampus-kampus untuk berbagi pengalaman dan kompetensinya.
  8. Program magang, dengan mempertemukan pihak kampus dan pelaku industri migas. Dengan demikian, tenaga kerja migas Indonesia akan lebih matang saat hadirnya MEA.
  9. Sistem Sertifikasi untuk meningkatkan kualitas SDM sektor migas. Untuk kepentingan ini, SKK Migas membentuk LSP Rantai Suplai Migas. LSP Rantai Suplai Migas menjadi strategis untuk memastikan dan memelihara kompetensi SDM sektor Migas, khususnya dalam menghadapi "free flow of Skilled Labor" dari MEA.
  10. Mendukung program National Capacity Building (NCB), yang telah diadakan secara berkala oleh SKK Migas.
  11. Dan program-program kreatif lainnya. Semua itu dibalut dengan hal nonteknis berupa penanaman pola pikir (baru) berbasis nasionalisme untuk menumbuhkan kesadaran akan kecintaan dan pengabdian pada negeri melalui sektor migas sebagai potensi kekayaan negara yang diperuntukkan dengan tujuan mulia untuk membawa kesejahteraan kpada masyarakat. Menjadi SDM di negeri asing haruslah diposisikan sebagai kawah candradimuka agar menjadi pribadi andal untuk kelak, dalam jangka pendek maupun menengah, pulang untuk membangun ibu pertiwi.

14286522851297200806
14286522851297200806

Perihal pengelolaan SDM itu sendiri, SKK Migas telah memiliki Blueprint dan Roadmap pengelolaan SDM industri hulu migas 2013-2017. Atas komitmen dalam pengembangan kualitas SDM di Indonesia ini, SKK Migas pada 2014 diberi apresiasi berupa penghargaan ARTDO Presidential Award dalam forum ARTDO Internasional Leadership, HRD Conference and Exhibition di Yogyakarta.

Blueprint dan Roadmap ini telah dirancang secara detail mulaid ari Visi hingga ke Metrics Keberhasilan. Berkas ini kiranya menjadi pandu efektif SKK Migas mengarungi industri ini hingga 2017.

Penutup: “The Land Is Mine”

Migas adalah Sumber Daya Alam yang berperan vital menjadi pilar pembangunan ekonomi Indonesia. Salah satu tantangan industri ini adalah bagaimana meningkatkan peran dan kompetensi SDM, serta partisipasi institusi dan usaha dalam negeri sehingga terjadi peningkatan kapasitas nasional hingga ke tingkat optimal.

Kehendak dan kebijakan pemangku jabatan diharapkan seiring dengan amanat UUD Dasar 1945 sehingga dapat mengawal alih paradigma dari penghasil revenue menjadi lokomotif penggerak ekonomi nasional, yang menghasilkan dampak berlapis (Multiplier Effect).

Kehadiran Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) harus menjadi batu penjuru untuk memijarkan SDM berkualitas, dan Bonus Demografi harus dikelola sebagai "human capital" yang mendatangkan berkah. Lonjakan penduduk usia produktif ibarat limpahan butir-butir pasir yang harus diubah, melalui proses pengeraman dalam pelukan ibunda kerang, agar menjadi mutiara yang bernilai tinggi.

Pola pikir yang dibalut nasionalisme rasional, niscaya akan menggugurkan "mitos" bahwa SDM Indonesia di sektor migas hanya mengejar kekayaan di negeri orang dengan menggadaikan hati dan membutakan telinga dari panggilan berkarya oleh ibu pertiwi. Demikian pula dari sisi para pelaku bisnis, bahwa upah murah bukanlah kontribusi untuk mendatangkan profit. Efisiensi dan penyelenggaraan perusahaan yang sehat jauh lebih utama dari itu.

Ada yang lebih noble (mulia) dari itu, lebih dari kecintaan akan uang. Memikirkan hal ini membuat saya terkenang pada kisaran 10 tahun lalu kala Hermawan Kartajaya dalam sebuah kesempatan membagikan kisah yang menjadi pengantar sebuah klip video. Klip video ini sebelumnya pernah disajikan di forum internasional, dan kala itu berhasil membuat delegasi Indonesia menontonnya dengan perasaan haru-biru dan mata berkaca-kaca.

Dalam kesempatan lain, masih tentang klip video tersebut, saya membaca Hermawan menulis di blognya, "Last night, I hosted MarkPlus Forum in Semarang. After presenting 'Marketing in 2006: Indonesia & Beyond' and closed the forum with a video clip: 'This Land is Mine' I received a nice comment from Forum member." Lalu, beliau pun mengutip kalimat yang disampaikan Lina Soeratman kepadanya, "Dear Mr Hermawan, What a wonderful video clip I just saw in the Forum. It gives such inspiration to build this nation to the highest level."

Kini klip video itu kembali dihadirkan oleh MarkPlus dalam mengusung kampanye Indonesia Wow! 2015. Saya ingin menghadirkan video tersebut di sini, sebagai pengakhir tulisan inidan penegas bahwa kecintaan pada tanah air belumlah pudar. Dengarkan dan simak liriknya, dan izinkan apabila ada yang membasahi kelopak mata Anda.

{}

Bacaan:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun