Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

SKK Migas: Ujung Tombak Migas & Penggerak Ekonomi Negara

18 Maret 2015   00:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:30 1667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Anda tahu SKK Migas itu apa? Saya tidak. Saya mengenal nama "SKK Migas" melalui pemberitaan media massa. Namun sayangnya yang ter-blow up dan terbaca orang awam seperti saya adalah berita negatif yang tidak menambah pengetahuan lebih jauh tentang apa itu SKK Migas.

Gagal Paham dan Telepon Siang

Semula saya mengira SKK Migas adalah anak perusahaan Pertamina, yang bertugas mencari ladang mi gas. Alasannya sederhana, karena SKK Migas kerap disebut-sebut sebagai penyuplai minyak dalam berbagai diskusi yang mencuat manakala harga BBM akan naik. Kekeliruan persepsi ini mungkin bukan hanya ada di benak saya, mengingat orang-orang di luar negeri pun bisa mengira Indonesia adalah bagian dari Bali.

Dari berbagai pemberitaan yang ramai mencuat dan menghiasi media massa itu, pemahaman saya kemudian bergeser. Muncul dugaan baru dalam pemikiran saya bahwa SKK Migas itu adalah "perusahaan" induk Pertamina. Mirip Pemegang Saham, atau posisi Komisaris dan Direksi dalam sebuah perusahaan.

Senyampang itu, konsep pikir saya yang tampak canggih itu, dilengkapi dengan pemahaman yang semula saya kira benar bahwa SKK Migas itu prioritasnya mengurusi minyak, sementara urusan gas sepenuhnya domain Perusahaan Gas Negara (PGN).

Saya tahu PGN? Jelas , sama seperti saya tahu Pertamina. Bagaimana bisa demikian? Mudah saja, karena saya kerap melihat logo PGN menghiasi brosur, pamflet, sampul notes, spanduk, dan atribut lain dalam berbagai kegiatan yang disponsorinya.

Berangkat dari pemahaman semu ini, saya meyakini PGN itu sekedudukan dengan SKK Migas. Namun karena PGN "jualan" gas, saya kemudian merevisi persepsi itu dengan menganggap PGN itu perusahaan kaya "juragan" gas, sama seperti Pertamina "juragan" minyak.

SKK Migas, Pertamina, PGN. Itulah "Segitiga Bermuda" yang remang-remang dan penuh misteri di otak saya. Sampai suatu siang tumben saya "pede", penuh gaya, dan nekat menelepon kantor pusat SKK Migas dan dilayani oleh seorang staf humas. Terima kasih, Bapak Alfian. Dari penjelasan beliau saya mendapatkan informasi yang sebenarnya.

Menguak Misteri "Segitiga Bermuda" Migas

Jadi, ceritanya begini. Ada sumber kekayaan besar yang berada di dalam perut bumi negeri kita, yaitu minyak dan gas. Ada pihak yang ingin menjualnya, kita sebut saja Perusahaan. Perusahaan ini ada yang berasal dari luar negeri dan juga dalam negeri. Untuk melayani Perusahaan, Negara secara resmi membentuk sebuah lembaga/institusi sebagai Perwakilan Negara. Perwakilan Negara ini tidak ikut-ikutan berjualan minyak dan gas.

Siapakah Perwakilan Negara itu? SKK Migas! Sementara yang disebut Perusahaan itu, antara lain, adalah Pertamina dan PGN. Sebagai ilustrasi, tentu saja Anda tahu Bank Indonesia (BI). Dan, Anda pasti tahu pula bahwa BI adalah satu-satunya bank yang tampak keren tapi tidak bersedia menerima bila kita ingin membuka tabungan di sana. Apakah BI adalah bank yang sok gaya dan arogan? Tidak, karena BI dibentuk untuk melayani Perusahaan bank, bukan nasabah perorangan atau nasabah korporat sekalipun.

Jadi, SKK Migas itu bukan pedagang minyak dan gas, melainkan mengurusi "kebijakan", yang dalam hal ini adalah sektor minyak dan gas. Dalam istilah lain, penanganan minyak dan gas dibagi dalam dua bagian besar. Ujung permulaannya disebut Hulu (Upstream), sementara ujung akhirnya disebut Hilir (Down Stream). Bagian Hulu adalah urusan Negara sebagai pemilik kedaulatan, yang dalam hal ini diwakili oleh SKK Migas. Infografik berikut akan memperjelas hal ini.

14266113681823645287
14266113681823645287

Jejak Langkah Bersalin Rupa

Bagaimana sih asal-muasal urusan hulu migas kita? Ihwal sejarah perkembangan eksplorasi dan eksploitas migas secara modern mungkin bisa dimulai dari kisah Jan Reerink. Anak laki-laki saudagar penggilingan beras pada zaman Belanda di Indonesia ini, sambil menjaga toko kelontong ayahnya di Cirebon, sering kali hanyut dalam lamunan penemuan ladang minyak.

"Buah bengong" itu seolah segera terwujud saat Reerink mendapat informasi bahwa ada rembesan minyak di lereng Gunung Ciremai, di kawasan Desa Cibodas, Majalengka. Kala itu, tahun 1871, ia melakukan pengeboran yang dikenal sebagai sumur Madja-1 di desa Maja, Majalengka, Jawa Barat. Namun, hasilnya tidak sesuai harapan dan sumur itu pun lalu ditutup.

Kisah berlanjut mengenai Jan Zijlker, seorang manajer dari perusahaan East Sumatra Tobacco Company. Pada 1880 ia mengunjungi sebuah perkebunan tembakau di Sumatra Utara. Di sana, ia melihat penduduk setempat (Langkat) membuat obor menggunakan suatu zat yang bisa membuat obor itu menyala dalam jangka waktu lama. Ternyata zat itu adalah minyak tanah.

Ditemukannya lapangan minyak Telaga Tiga dan Telaga Said di dekat Pangkalan Brandan oleh A.G. Zeijlker pada 1883, menandai penemuan sumber minyak dengan pengeboran modern yang pertama di Indonesia. Kemudian disusul penemuan lain di Pangkalan Brandan dan Telaga Tunggal. Pada waktu yang bersamaan, juga ditemukan lapangan minyak Ledok di Cepu, Jawa Tengah, Minyak Hitam di dekat Muara Enim, Sumatera Selatan, dan Riam Kiwa di daerah Sanga-Sanga, Kalimantan.

Menjelang akhir abad ke-19 terdapat 18 perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Menyertai itu, berdiri banyak perusahaan. Dalam perjalanan waktu yang berlekuk-liku, singkat cerita, lahirlah Pertamina.

Pertamina hadir dengan tujuan untuk mengelola aset perminyakan nasional. Melalui UU No. 8 pada 1971, Pemerintah mengatur semua perusahaan minyak yang hendak menjalankan usaha di Indonesia wajib bekerja sama dengan Pertamina. Karena itu Pertamina memainkan peran ganda; sebagai regulator (hulu) sekaligus operator (hilir) yang menggarap sendiri sebagian wilayah kerjanya. Ini berlangsung sampai Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi No. 22 tahun 2001 di mana Pertamina beralih bentuk menjadi PT Pertamina (Persero) dan melepaskan peran gandanya. Pertamina hanya memegang satu peran sebagai operator murni (hilir).

Siapa yang menjalankan peran regulator (hulu)? Pada 16 Juli 2002 Pemerintah membentuk Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Lembaga ini didirikan melalui UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta PP No 42/2002 tentang BP Migas. Peran regulator di sektor hilir, dijalankan oleh BPH Migas yang dibentuk dua tahun setelahnya.

Dalam perjalanannya, langkah BP Migas terhenti melalui putusan Mahkamah Konstitusi pada 13 November 2012, karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Melalui Perpres No. 95/2012, kemudian terbentuklah Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas), sebelum pada akhirnya menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Apakah perbedaan BP Migas dan SKK Migas? Menurut Rudi Rubiandini yang saat itu menjabat Kepala SKK Migas, terdapat tiga perbedaan. Pertama, SKK Migas memiliki dewan pengawas yang akan menilai kinerja SKK Migas. Fungsi dewan ini sama dengan fungsi komisaris pada perusahaan dan majelis wali amanat pada Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Kedua, penggunaan kata “khusus” menunjukkan SKK Migas langsung bertanggung jawab secara institusi kepada Presiden dan berkoordinasi dengan Kementerian ESDM. SKK Migas bertujuan membuat industri migas menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Untuk itu, Kepala SKK Migas ditunjuk oleh Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Ketiga, perubahan pola pikir. Lembaga seperti BP Migas terlalu memikirkan hal-hal teknis dan mikro. Hal ini membuat berbagai proyek migas dianggap terhambat, karena BP Migas terlalu detail mengatur proyek. Urusan mikro ini diserahkan kepada kontraktor migas, agar lebih fleksibel, rapi, dan jelas tanggung jawabnya.

Landasan Kiprah SKK Migas

UU dan Perpres

SK Migas berubah menjadi SKK Migas melalui Perpres Nomor 9 Tahun 2013, dengan cakupan tugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama. Lembaga ini melandaskan diri pada UU No. 22/2001, yang pada Pasal 3 merumuskan tujuannya:

a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi secara berdaya guna, berhasil guna, serta berdaya saing tinggi dan berkelanjutan atas Minyak dan Gas Bumi milik negara yang strategis dan tidak terbarukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan;

b. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan;

c. menjamin efisiensi dan efektivitas tersedianya Minyak Bumi dan Gas Bumi, baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku, untuk kebutuhan dalam negeri;

d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;

e. meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia;

f. menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Ringkasnya, SKK Migas dimaksudkan agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik Negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Tugas Pokok dan Fungsi

Dalam jabaran Tugas Pokok dan Fungsinya, SKK Migas:


  • Memberikan pertimbangan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;
  • Melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama;
  • Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mendapatkan persetujuan;
  • Memberikan persetujuan rencana pengembangan selain sebagaimana dimaksud dalam poin sebelumnya;
  • Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
  • Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; dan
  • Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.

Visi, Misi, dan Budaya Organisasi

Pencapaian yang hendak diraih SKK Migas tertuang dari pernyataan Visi: Menjadi mitra proaktif an terpercaya dalam mengoptimalkan manfaat industri hulu minyak dan gas bumi bagi bangsa dan seluruh pemangku kepentingan serta menjadi salah satu lokomotif penggerak aktivitas ekonomi Indonesia.

Dalam gerak untuk mencapai visi tersebut, SKK Migas mengusung Misi: Melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama dengan semangat kemitraan untuk menjamin efektivitas dan efisiensi kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi guna sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Sementara Budaya Organisasi yang ingin dibangun, mengacu pada akronim PRUDENT, yang diuraikan sebagai berikut:


  • Profesional: Bertindak sebagai seorang profesional yang berkomitmen tinggi.
  • Responsive: Cepat tanggap terhadap permintaan informasi dan penyelesaian masalah.
  • Unity in Diversity: Mensinergikan perbedaan untuk mewujudkan pencapaian yang lebih baik.
  • Decisive: Berani mengambil risiko dengan didasari oleh perhitungan dan pertimbangan matang sesuai kewenangan yang dimiliki.
  • Ethics: Menjalankan bisnis dengan standar etika yang tinggi dan konsisten.
  • Nation Focused: Memaksimalkan potensi dan kemampuan nasional.
  • Trustworthy: Menjadi kredibilitas sehingga mendapatkan kepercayaan dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholders).

Begini Proses Migas di Hulu

Eksplorasi dan Produksi Migas

Untuk mendapatkan minyak dan gas bumi, dibutuhkan proses yang panjang dan mahal. Industri migas modern membagi proses ini menjadi dua tahap, yaitu Tahap Eksplorasi dan Tahap Produksi. Kegiatan Eksplorasi dimaksudkan untuk menemukan cadangan migas, sedangkan kegiatan Produksi bertujuan mengangkatnya ke permukaan. Kegiatan Eksplorasi terdiri dari beberapa tahap, meliputi Studi Geologi, Studi Geofisika, Survei Seismik, dan Pengeboran Eksplorasi.

Studi Geologi dilakukan untuk memahami struktur dan susunan batu di lapisan bawah permukaan. Dari hasil studi ini, dapat diketahui area yang perlu dikaji lebih lanjut menggunakan Studi Geofisika. Studi Geofisika bertujuan untuk mengetahui sifat fisik batuan mulai dari permukaan hingga kedalaman beberapa kilometer di bawahnya. Proses ini berlangsung selama 6 bulan hingga 1,5 tahun tergantung dari luasan area dan kedalaman yang dituju.

Metode yang paling banyak digunakan untuk mengetahui sifat fisik batuan adakah Survei Seismik. Melalui kegiatan seismik, keadaan di bawah tanah dapat direkonstruksi menjadi gambar dua atau tiga dimensi. Kegiatan seismik berlangsung selama 1-4 tahun, tergantung lokasi dan tipe receiver.

Berdasarkan hasil interpretasi gambar, bila ditemukan lapisan yang berpotensi menyimpan cadangan migas, maka selanjutnya akan dilakukan keguatan Pengeboran Eksplorasi. Data seismik yang akurat, belum tentu menjamin terdapatnya cadangan migas. Data tersebut harus dibuktikan dengan kegiatan Pengeboran. Semakin dalam lapisan yang dibor, semakin besar biaya yang harus dikeluarkan.

Pengeboran merupakan bagian terpenting dalam kegiatan Eksplorasi maupun Produksi. Lama waktu pengeboran satu sumur bisa memakan waktu 1-4 bulan.

Kegiatan Eksplorasi mengandung risiko dan ketidakpastian yang sangat tinggi. Oleh sebab itu dibutuhkan modal yang sangat besar, teknologi yang canggih, dn sumber daya manusia yang berpengalaman.

Risiko terburuk dari kegiatan Pengeboran adalah dry hole atau tidak ditemukannya cadangan migas. Namun kedua kondisi ini tidak bisa diketahui tanpa melalui kegiatan Eksplorasi.

Jika kegiatan Eksplorasi berhasil, kegiatan dapat dilanjutkan dengan tahap pengembangan atau Produksi. Kegiatan ini mencakup pengeboran sumur pengembangan serta pembangunan fasilitas Produksi.

Keguatan Produksi mengangkat minyak dan gas bumi ke permukaan. Aliran migas akan masuk ke dalam sumur lalu dinaikkan ke permukaan melalui turbin. Minyak dan gas bumi kemudian dialirkan ke sumur, lalu naik ke permukaan melalui pipa salur. Setelah itu dialirkan ke separator yang akan memisahkan keduanya dari material yang tidak dibutuhkan hingga akhirnya minya dan gas bumi saling dipisahkan. Proses ini biasanya memakan waktu 6 bulan hingga 3 tahun.

Minyak dialirkan menuju tangki pengumpul, sementara gas dialirkan melalui pipa kepada konsumen. Proses pengangkatan ini dapat memanfaatkan tekanan alami atau menggunakan metode pengangkatan buatan.

Pada kontrak kerja sama yang dianut Indonesia, semua biaya yang timbul dari kegiatan eksplorasi dan produksi sepenuhnya ditanggung kontraktor, dan nantinya akan dikembalikan saat lapangan sudah menghasilkan dalam bentuk hasil produksi minyak dan gas bumi. Kegiatan eksplorasi dan produksi migas memakan waktu serta proses yang sangat lama. Migas yang saat ini kita nikmati merupakan hasil dari eksplorasi dn produksi selama puluhan tahun. Semua ini dilakukan untuk menjamin ketersediaan minyak dan gas bumi bagi masa depan.

Pola Bisnis

Indonesia menggunakan sistem kontrak kerja sama dalam melakukan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Dengan sistem ini, negara sebagai pemilik cadangan migas mencari mitra bisnis yang memiliki dana tidak terbatas dan keahlian untuk melakukan kegiatan eksplorasi.

Setelah melalui proses lelang wilayah kerja, perusahaan pemenang akan berkontrak dengan SKK Migas selaku badan Pengawas dan Pengendali kegiatan usaha hulu migas. Segala modal dan risiko dari kegiatan eksplorasi migas ditanggung oleh kontraktor. Negara tidak mengeluarkan modal dan menanggung risiko apa pun, melainkan mendapatkan pembagian hasil yang lebih besar. Sering kali muncul anggapa yang salah mengenai sistem pengelolaan migas di Indonesia. Kontraktor dianggap mengambil keuntungan sebesar-besarnya dan negara memiliki posisi yang lemah. Hal tersebut keliru karena dalam melakukan kegiatan operasinya, kontraktor berada dalam kendali pemerintah dan tunduk pada kontrak yang diawasi oleh SKK Migas. Tidak seperti bisnis pada umumnya, sistem kontrak kerja sama sepenuhnya menguntungkan negara karena bila ditemukan cadangan migas yang komersial, maka segala biaya operasi akan dikembali atau disebut Cost Recovery. Pengembalian dana operasi bukanlah keuntungan kontraktor, karena biaya yang dikembalikan sama dengan biaya yang dikeluarkan.

Keuntungan lain dari kontrak kerja sama, pengembalian biaya operasi tidak dilakukan dengan metode Cash to Cash, melainkan In Kind, yaitu dalam bentuk hasil produksi migas.

Sering muncul pertanyaan, apakah negara tidak bisa mengelola sendiri sehingga harus harus menggunakan jasa kontraktor? Melalui kontrak kerja sama, pemerintah tidak perlu mengambil risiko dengan mempertaruhkan APBN untuk menanggung biaya operasi. Bekerja sama dengan kontraktor, memastikan negera mendapatkan keuntungan yang besar untuk kemakmuran rakyat.

Dalam kontrak bagi hasil minyak bumi, negara mendapatkan 85% dari keuntungan dan 15% adalah bagian kontraktor.

Tantangan dan Potensi

Hasil migas pada tahun 1970-an menjadi tulang punggung Indonesia dalam mencanangkan Repelita dan membangun infrastruktur penunjang kegiatan ekonomi yang saat ini kita nikmati. Bahkan hingga saat ini, sektor ini berperan besar kedua setelah pajak dalam hal penerimaan negara. Namun kita tahu bahwa minyak dan gas adalah kekayaan alam yang tidak terbarukan. Jika cadangan di sebuah tempat habis, maka tidak ada lagi yang bisa dilakukan.

Fakta yang harus kita terima, Indonesia bukanlah negara yang kaya minyak dan energi, melainkan tepatnya negara yang kaya akan keragaman di bidang energi. Keragaman apakah itu? Mulai dari angin, air, minyak, batubara, sampai panas bumi.

Peningkatan eksplorasi bisa saja dilakukan, tetapi membutuhkan investasi tinggi dan dukungan iklim investasi yang kondusif. Dalam bahasa sederhana, dibutuhkan biaya yang kian mahal, kelancaran perizinan, dan kepastian hukum.

Satu hal perlu disadari dan dukung, ternyata meskipun cadangan minyak kita menurun, cadangan dan produksi gas Indonesia memperlihatkan tren positif. Untuk itu dibutuhkan keseriusan dalam membangun infrastruktur yang menjadi syarat pemanfaatan gas bumi. Tentu sambil dibarengi dengan pengembangan sumber energi terbarukan yang sesungguhnya sangat melimpah di Indonesia.

Sambil menantikan proses tersebut berlangsung, kita berharap SKK Migas terus berkiprah secara langsung maupun tidak langsung. Melalui Kegiatan tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh pelaku industri hulu migas, diharapkan perbaikan kehidupan masyarakat dapat terus berjalan. Dan tentu juga melalui multiplier effect terhadap perekonomian dengan menghidupkan industri-industri penunjang yang memberikan lapangan kerja baru bagi masyarakat lokal hingga ke pelosok nusantara.

Selamat mengemban tugas ini, SKK Migas!

{}

*Rujukan terpilih ada pada penulis, bagi yang berminat silakan meninggalkan pesan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun