Nenek saya bukanlah wonder woman. Perawakannya yang "ceking" lebih mirip Michelle Yeoh yang bintang film itu. Nenek saya juga bukan tipe orang yang tampil ke publik dan melakukan aksi-aksi heroik. Beliau lebih mirip Jokowi, lebih memilih untuk fokus dalam bekerja. Nenek saya tidak pandai berbicara, tidak mirip Margaret Thatcher yang mampu memukau audiens dengan buah pemikirannya. Jika kita mengenal filosofi hidup orang Jawa, sepi ing pamrih rame ing gawe, begitulah nenek saya.
Dengan profil seperti itu, dia hadir dan menjadi pribadi yang meyakinkan (significant person) dan menjadi role model bagi saya. Banyak filosofi hidup praktis darinya yang sederhana namun menakjubkan dan aktual hingga masa kini. Di antara begitu banyak aspek hidup yang diteladankan nenek saya, ada satu hal yang kurang dipahami kami, cucu-cucunya, sehingga pada saat itu cenderung menimbulkan tawa karena dianggap lucu.
Saya tidak mengingat secara detail lagi angka-angkanya, namun nenek saya pernah mengajarkan "matematika" mandi kepada kami. Beliau bercerita bahwa air sangatlah penting dalam kehidupan ini dan sesungguhnya tidaklah diperoleh secara mudah. Oleh karena itu, beliau menceritakan bagaimana ia menggunakan sebuah rumusan dalam hal penggunaan air untuk mandi.
Apabila mandi, kata nenek saya, tidak selayaknya kita membabi buta "byur-byur" bergayung-gayung sampai lengan kelelahan. Tidak boleh, kata nenek saya. Itu cara mandi yang tidak bijaksana. Beliau lalu bercerita bahwa ia menggunakan pola yang kemudian menjadi kebiasaan hidup sehari-harinya.
"Setiap kali mandi, kita harus membatasi berapa gayung air yang kita pakai," terangnya. Beliau lalu menceritakan lebih lanjut perihal penjatahan tersebut. Satu gayung untuk membasahi tubuh, sekian gayung untuk menyiram dari sisi kiri tubuh, sekian gayung jatah untuk sisi kanan tubuh, membilas bagian-bagian tubuh dengan cara mencipratkan air dari dalam gayung, sebelum diakhiri dengan bilasan seluruh tubuh. Semuanya punya hitungan, dan itulah jatah air untuk mandi. Tak boleh lebih.
Kami tertawa saat itu karena menganggapnya sebagai hal yang lucu dan menimbulkan gelak tawa. Nenek saya hanya tersenyum membalas respons kami. Beliau tidak berkacak pinggang dan menuding-nudingkan telunjuknya agar kami mematuhinya bagai prajurit pada komandannya. Tidak sama sekali. Namun, semua ceritanya itu perlahan membuka kesadaran saya dan meresap ke alam bawah sadar sehingga saya mulai mempraktikkan "wejangan" tersebut. Sejak saat itu, saya mandi dengan "matematika" nenek saya.
Hingga kini saya tidak pernah mengerti dari mana ide dan bagaimana beliau bisa memahami betapa air sangat krusial dan suatu hari kelak umat manusia akan mengalami krisis air bersih sebagaimana data-data yang dapat kita baca dari laporan-laporan institusi terkait dan concern dengan hal ini. Saya tidak memiliki kesempatan untuk mewawancarai beliau lagi karena lebih dari 25 tahun yang lalu beliau telah meninggalkan kami. Namun hari ini, saya dapat menempatkan beliau di dalam hati sebagai sosok dalam barisan pelopor gerakan "menabung air untuk masa depan umat manusia".
Bagi saya, atribut tersebut tidaklah berlebihan. Setidaknya beliau telah berhasil mewariskan kebiasaan ini kepada saya pribadi, kemudian saya beserta keluarga. Tentu saja saya dan keluarga tidak perlu repot-repot menghitung gayung bila mandi. Sejak penggunaan shower menjadi populer, kami segera beralih ke alat ini yang sangat membantu mengirit penggunaan air. Lebih dari itu, ada hal pokok yang selalu kami pertahankan saat membeli rumah untuk kami huni, yaitu mempertahankan ruang terbuka selebar mungkin untuk penyerapan air.
Selain itu, ada satu hal yang tidak malu-malu kami terapkan dan ajarkan kepada putri kami sebagai warisan tak langsung dari nenek saya. Bukan "matematika" penggunaan gayung untuk mandi, melainkan Prosedur Operasi Standar (Standard Operating Procedure/SOP) untuk buang air kecil (pipis). Setiap kali salah seorang dari kami hendak pipis, selalu berucap keras, "Ada yang mau pipis?" Lalu kami bergiliran pipis dan orang terakhir yang berhak menekan tombol flush di toilet.
Kini warisan ini telah melekat di dalam diri putri kami. Seperti nenek saya, kami tidak mencerahaminya dengan berbagai teori, wacana, dan kampanye. Melainkan kata-kata yang rasional dan teladan nyata. Dan dengan tanpa malu menceritakan hal ini, kami ingin men-share-kan warisan nenek saya agar menjadi warisan yang mendatangkan manfaat bagi banyak orang, kini dan kelak.
Actions speak louder than words.
Terima kasih, Nek. Jika saat itu kami yang menertawakan ceritamu, mungkin kini giliran engkau yang tersenyum di surga sana saat membaca adanya SOP untuk pipis. Hahaha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H