Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Flo

1 September 2014   20:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:54 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seingatnya, saya hanya "mengenal" dua Florence. Florence Nightingale dan Florence spring bed. Nightingale dikenal sebagai tokoh perawat modern, dan tentu saja pengarang terkenal. Sementara Florence satunya lagi, berurusan dengan ranjang karena dijadikan merek dagang sebuah produsen spring bed.

Kini menjadi tiga, bila Florence Sihombing dimasukkan dalam daftar ini. Namun Flo yang terakhir ini, tidak mampu menandingi ketenaran dua nama pertama sebelum drama SPBU Lempuyangan (Yogyakarta) mencuat. Karena tak ada konteks untuk membicarakan Nightingale dan tak punya alasan tiba-tiba mempromosikan spring bed itu, maka mari kita bicara tentang Flo yang Sihombing.

Dari namanya kita tahu, Flo bukanlah putri Solo. Patut diduga ia bukan tipe perempuan yang bila berjalan akan berlenggak-lenggok bagai macan luwe. Alis matanya boleh saja bagai semut hitam yang beriringan, tapi intonasi dan pilihan kata dalam ucapannya bisa jadi jauh panggang dari kemayu.

Apes tak dapat ditolak, pada minggu terakhir bulan Agustus 2014, khususnya tanggal 26, 27, dan 28, ia berada di kota Yogyakarta. Pada ketiga hari itu, juga sehari sebelum dan sesudahnya, drama kelangkaan BBM sedang memuncak di kota Yogyakarta. Andai saja ia sedang terpekur menatap keindahan Danau Toba, penggalan jalan hidupnya tentu akan berubah.

Saya cukup beruntung menjadi saksi bagian dari drama BBM ini. Pagi sebelum ngantor, siang saat istirahat, dan sore usai kerja saya mencoba berkeliling dalam radius terjangkau. Tak kurang dari 9 SPBU bisa saya lewati dan abadikan melalui kamera henpon, yang kemudian diunggah ke sebuah situs.

Hasilnya? Antrean tampak mengular panjang di mana-mana. Pada beberapa SPBU bahkan Pertamax pun tak tersedia. Pada tanggal 27, pengecer sudah menjual Premium seharga delapan hingga sepuluh ribu rupiah. Pada keesokan harinya, banyak pengecer tutup atau hanya menjual Pertamax dengan harga Rp14.000/botol.

Saya tidak melakukan survei, namun bisa diduga ada dua reaksi deras konsumen: Marah (angot) atau bungkam (letoy). Selain lelah secara fisik dalam mengantre, Anda juga harus menginvestasikan waktu cukup lama dalam barisan penunggu. Di banyak lokasi SPBU, berimbas membuat jalan padat bahkan macet. Mirip saat pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM pada pukul 00.00. Namun yang ini, tak ada pengumuman pendahuluan oleh Pertamina maupun pemerintah. Jika Anda berdomisili di Yogyakarta dan konsumsi BBM adalah vital bagi Anda, maka saya yakin Anda berada dalam suasana hati yang berdebur.

Dalam situasi seperti itu, PT Pertamina kian memanaskan situasi dengan menyiramkan "bensin": "Ini kan hanya di Jawa, makanya konsumen di Jawa ini konsumen manja." Ucapan ini* dari sisi lain turut menyokong fakta bahwa di Pulau Jawa, tidak biasanya terjadi yang beginian. Artinya, selama ini konsumen terlayani dengan baik, berada di wilayah comfort zone. Jadi sangat bisa dimengerti bila seseorang didorong keluar dari comfort zone secara mendadak, emosi akan melonjak-lonjak pula.

Bisakah Anda membayangkan situasi Flo? Mungkin saat itu ia sedang kepepet. Tiba-tiba terlempar keluar dari comfort zone. Turut berandil pula mindset bahwa antrean sepeda motor itu identik dengan pengisian Premium. Jika antrean sedemikian panjang, otak kreatif Anda pun akan bekerja untuk mengubah kebutuhan pengisian BBM. Lalu, ditegur petugas. Lalu, dihampiri yang berwajib. Bonus, disoraki pengantre lainnya. Maka, emosi Anda tersulut. Koordinasi pikiran dan ucapan, riskan tak sinkron. Jika skor Intelegensi Emosional (EQ) Anda tidak super tinggi, subjek/kata "kalian" dengan mudah slip menjadi "orang Jogja".

Jika Anda pernah berada dalam situasi (mirip) demikian, beruntunglah karena Anda akan lebih mudah memahami dinamika emosi dan perilaku yang bisa terjadi. Maka, kesalahan Flo adalah tanggul emosinya kurang tebal, topeng yang dikenakannya kurang berlapis, dan tak pandai mengurut dada. Diperparah, ia dengan mudah terkoneksi dengan media sosial, serta tak lihay dalam mengumpat—bagi orang Yogyakarta, "asu" perlu dijadikan "huasyu" agar tampak ramah. Atau, ia kurang canggih mengolah isu, misalnya dengan memainkan melodrama sebagai victim, sehingga giliran si petugas dan aparat atau pihak SPBU yang akan di-bully rame-rame di media sosial.

Jika Anda tidak bisa memahami Flo, dan belum bisa menerima bila ia hanya dikenakan sanksi sosial serta sanksi non-hukum lainnya, maka mari jebloskan ia ke wilayah hukum. Tak hanya perdata, sekalian pidana. Jerat ia tanpa ampun dengan UU ITE—mumpung belum direvisi. Jadikan kasus ini preseden nasional untuk memenjarakan semua hatter di media sosial, tanpa pandang akun. Termasuk, seret pengunggah pertama posting (capture) Flo beserta orang-orang yang juga turut menyebarluaskan capture tersebut. Bukankah UU ITE pun harus berlaku bagi semua orang? Tidak apa-apa penjara segera membludak penuh sesak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun