Hari telah lepas senja, jarum jam berjalan hingga larut. Di peraduan, si Ibu sedang memandang wajah lelap kedua putra tersayangnya. Si Sulung, yang dipanggil Biru, lahir dalam proses wajar dan sempat jadi anak tunggal. Itu sebelum si Hijau lahir dan menjadi si bungsu yang kerap digoda sebagai si Melon.
Sejak kehadiran si Hijau, bukan hanya anggota keluarga, banyak orang lain yang turut jatuh hati padanya. Ia memang lahir tidak sepenuhnya dalam masa inkubasi seperti si Biru. Mungkin itu salah satu sebab ia mendatangkan banyak cinta. Orang-orang gemas dan selalu memburunya. Wajahnya yang chubby dan tubuhnya yang sintal, disukai siapa saja. Mereka kompak melindunginya sedemikian rupa. Perlakukan yang diterima si Hijau ini tentu saja kontras bila dibandingkan dengan si Sulung.
Si Ibu yang galau ini tahu benar hal ini. Meskipun cinta yang dbagikannya selalu adil, ia tak kuasa mengatur besaran cinta yang mengalir dari orang lain ke si Hijau. Permohonannya agar si Biru diperlakukan sama, setelah coba diajukannya kepada sang suami, namun ia tak mampu berbuat lebih jauh. Si Ibu yang ibarat menyukai buah Manggis, harus menerima kenyataan buah Simalakama.
Riwayatmu Dulu dan Kini
Membincangkan eksistensi Elpiji nonsubsidi, ibarat menonton drama satu babak di atas. Agar benderang memotret pilin-milin soal ini, kita harus merunut ke belakang. Pada suatu ketika di masa lampau, karena alasan yang rasional, diputuskan untuk melakukan konversi dari minyak tanah ke Elpiji. Migrasi ini harus massif dan tuntas, karena beban tanggungan atas minyak tanah ini sudah selayaknya diakhiri. Dari sini, lahirlah Elpiji bersubsidi tabung 3 kg.
Usai sukses konversi si Hijau, persoalan di hulu tersundul ke atas. Kebijakan subsidi ini pada akhirnya mulai mengorbankan si Biru, yang tanpa subsidi. Nilai keekonomian si Biru, merangkak naik dan lama-kelamaan kian jauh di atas harga jual. Selisih inilah yang harus ditanggung sebagai defisit yang berdasarkan prognosis awal akan mencapai Rp 6,1 triliun. Wow!
Dari mana asal kerugian ini? Mari kita gunakan ilustrasi dengan meminjam dan mengembangkan kisah di atas. Ketika si Biru masih menjadi anak tunggal, jatah makan sepiring nasi utuh menjadi miliknya sendiri. Namun saat si Hijau lahir, ia harus berbagi dengan prioritas buat si Hijau. Jika si Hijau lahap mengkonsumsi ¾ piring nasi, maka kekurangan nasi sebesar itu harus dibeli dari warung sebelah untuk si Biru. Jelas ini pengeluaran ekstra bila dibandingkan dengan nasi piring pertama hasil olah sawah sendiri. Apalagi kalau nasi yang dibeli di warung itu harus dibayar mengunakan mata uang dollar, yang secara “natural” nilai kursnya fluktuatif dan cenderung menguat. Dan, yang tidak beruntung, beban ini ditanggungkan ke pundak si Biru—tak dibagi ke si Hijau.
Ketika PT Pertamina diizinkan untuk menaikkan harga Elpiji nonsubsidi ukuran tabung 12 kilogram sebesar Rp 1.500 per kilogram pada 10 September 2014, catatan kerugian bisnis Elpiji 12 kg tahun 2014 masih menghasilkan angka Rp452 miliar sehingga total kerugian mencapai Rp 5,7 triliun. Ini tidak mengherankan dan bisa kita pahami secara logika:
Pertama, jika nilai keekonomian dan harga jual sebuah produk tidak selaras, maka ada jarak bernama kerugian. Jarak ini secara prinsip ekonomi harus dikejar dan dilampaui sehingga mendatangkan margin keuntungan. Secara psikologis agar tidak terjadi shock, kenaikan sebaiknya bertahap. Semakin ditunda, semakin menumpuk, menghasilkan selisih kian jauh. Ekses lain, menggunakan sudut ungkap berbeda, bukankah ini bisa disebut sebagai SUBSIDI model lain?
Kedua, dengan cara membandingkan harga jual Elpiji kita dengan negara-negara tetangga dan Asia lainnya. Silakan Anda simak image berikut. Meskipun Elpiji kita telah berubah harga menjadi Rp9.519 per kg, kita masih menang murah kan? Sebagai informasi, harga keekonomian Elpiji 12 kg menurut Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budyo, seharusnya Rp15.110 per kg atau Rp181.400 per tabung.
Menapaki Jalan ke Depan
Atas semua hal yang sudah berlangsung, sungguh bijak bila kita segera menarik pelajaran penting darinya.
1. Mengedukasi masyarakat bahwa Elpiji itu produk impor. Konsekuensinya, pembeliannya menggunakan mata uang asing (dollar) yang kursnya fluktuatif dan cenderung menguat. Dalam bahasa awamnya, Elpiji itu memang mahal.
2. Pihak pemegang otoritas sebaiknya memberikan izin dalam satu tarikan roadmap yang dibuat oleh PT Pertamina, misalnya dalam rancangan lima tahun dengan angka kenaikan bertahap hingga mencapai dan melampaui nilai keekonomian Elpiji nonsubsidi. Apabila telah disepakati, segeralah disosialisaikan kepada masyarakat.
3. Sangat disarankan kepada PT Pertamina untuk mempertimbangkan adanya varian tengah, misalnya Elpiji nonsubsidi ukuran tabung 6kg. Bagi pemakai dari kalangan kelas ekonomi menengah ke bawah, ini akan sangat menolong. Akan lebih mudah mengatur budget yang bersifat bulanan daripada akumulasi yang harus ditanggung pada bulan tertentu. Bias positif lain, tabung 6 kg ini akan mengatasi beban angkat yang terlampau berat pada tabung 12 kg bagi konsumen tertentu, misalnya ibu-ibu.
4. Pemerintah diharapkan lebih serius dalam menjalankan konversi Elpiji ke pemakaian Bahan Bakar Gas (BBG). Tidak hanya sebagai bahan bakar kendaraan, BBG seharusnya juga segera masuk untuk keperluan rumah tangga. Keuntungan lain selain murah, BBG itu lebih ramah lingkungan dan tidak perlu mengimpor. Pemerintah harus mendorong Perusahaan Gas Negara (PGN) dan anak usaha PT Pertamina di bidang gas untuk agresif menunaikan tugas ini.
5. Dengan kesadaran bahwa dalam setiap langkah menaikkan harga mengandung konsekuensi terjadinya penyimpangan, diharapkan PT Pertamina menyiapkan langkah-langkah antisipasi. Khusus dalam butir ini, bila berkenan, saya ingin menyisipkan saran kecil agar PT Pertamina lebih selektif dan fokus dalam menyalurkan dana sosial korporat. Arahkan sebesar-besarnya bagi masyarakat yang terkena dampak, langsung atau tidak langsung, dari kenaikan harga Elpiji nonsubsidi ini.
* * *
Demikian sudut pandang, buah pikir, dan butir-butir praktis sederhana ini diungkap melalui artikel ini. Tidak ada maksud lain selain sebagai sebuah upaya kecil untuk berkontribusi melalui urun rembuk dari seorang anggota masyarakat biasa dari lintas ilmu dan profesi yang berbeda. Kiranya tulisan ini mendatangkan manfaat yang cukup berarti bagi pemangku kepentingan dalam bidang ini.
Rujukan:
Mulai Hari Ini, Harga Elpiji 12 Kg Naik Rp 18.000 Per Tabung
Siap-siap, 1 Januari 2015 Harga Elpiji 12 Kg Naik Lagi
Ini Alasan Pertamina Menaikkan Harga Elpiji 12 Kg
Pakar: Jangan Pakai Elpiji, Elpiji Itu Impor
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H