Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bonus Demografi: Madu dan Racun di Tangan Kita

7 Oktober 2014   05:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:06 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bonus Demografi" adalah dua kata yang saat ini semakin sering disebut-sebut di media massa. Saya tahu kedua kata ini sejak tahun lalu melalui Wakil Gubernur (Wagub) DKI Basuki Tjahaja Purnama. Dalam berbagai kesempatan terkait, beliau menyinggung dua kata ini. Namun, hingga terakhir kali saya mendengar beliau merespons pertanyaan Cheryl Tanzil di acara “Satu Jam Bersama Basuki Tjahaja Purnama” (RTV, 29/9/2014), saya belum juga mengerti "makhluk" apakah ini.

Pencarian di Youtube mengantar saya pada penjelasan Dwini Handayani. Wakil Kepala Lembaga Demografi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) ini secara sederhana dan gamblang memberikan informasi yang mudah dipahami orang awam.


Usai menonton tayangan ini, izinkan saya meringkasnya. Struktur penduduk sebuah negara dapat dibagi tiga:


  • Usia di bawah 15 tahun (“Anak-anak”, nonproduktif)
  • Usia 15-64 tahun (Produktif)
  • Usia di atas 65 tahun (Lansia, nonproduktif)

Sebuah negara disebut mendapat Bonus Demografi apabila pada suatu masa jumlah penduduk usia produktifnya lebih banyak (melonjak, naik) melebihi penduduk usia nonproduktif.


  • Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena penduduk usia lanjut belum banyak sementara angka kelahiran anak tidak lagi tinggi.
  • Kapan mulai terjadi di Indonesia? Tahun 2012.
  • Kapan akan berakhir? Tahun 2030.
  • Apakah hanya terjadi di Indonesia? Tidak. Brazil, Rusia, dan India mengalaminya. Juga negara-negara di Asia seperti di Thailand, Tiongkok, Taiwan, dan Korea.
  • Apa untungnya? Pertumbuhan ekonomi akan naik 10-15%. Misalnya Korsel dari 7,3% menjadi 13,2%, Singapura dari 8,2% menjadi 13,6%, dan Thailand dari 6,6% menjadi 15,5%.
  • Apa ruginya? Kalau penduduk usia produktif ini tidak berkualitas, kelak akan menghasilkan “banjir” Lansia yang membebani.

Para pakar memperkirakan jumlah penduduk usia produktif Indonesia pada 2020-2030 akan mencapai 70%. “Kondisi ini sangat menguntungkan, masyarakat akan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dengan dana tabungan yang lebih banyak," ungkap Dr Sukamdi, MSc, peneliti di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM). Sementara McKinsey Global Institute (2012) memprediksi ekonomi Indonesia pada 2030 akan mengalahkan Jerman dan Inggris.

Kontribusi BKKBN

Tanpa mengabaikan sukses dari program-program pembangunan lainnya, apresiasi layak diberikan kepada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Lembaga ini menunaikan tugas pemerintahan di bidang pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana dengan menyandang visi “Penduduk Tumbuh Seimbang 2015”.  Visi ini merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional, yaitu mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang dan keluarga berkualitas yang ditandai dengan menurunnya angka fertilitas (TFR) menjadi 2,1 dan Net Reproductive Rate (NRR) =1.

Rovicky Putrohari, Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia, dalam blognya Dongeng Geologi menjelaskan bahwa kondisi ini merupakan hasil program kontrol kelahiran bayi yang dicanangkan secara intensif pada 1960-1970 an, yaitu Program Keluarga Berencana atas rancangan ide dari Widjojo Nitisastro.

[caption id="attachment_364479" align="aligncenter" width="468" caption="Sumber: Blog Dongeng Geologi - http://rovicky.wordpress.com"][/caption]

Dr Sukamdi, MSc menggarisbawahi bahwa Bonus Demografi terjadi karena penurunan fertilitas (kelahiran) dan mortalitas (kematian) dalam jangka panjang yang mengakibatkan terjadi perubahan struktur umur penduduk. Penurunan fertilitas akan menurunkan proporsi anak-anak. Hal itu terlihat dari keberhasilan program KB. Adanya penurunan kematian bayi juga akan meningkatkan jumlah bayi yang terus hidup dan mencapai usia produktif.

Keberhasilan usaha di bidang kependudukan ini, menurut pakar ilmu sosial Prof Mayling Oey Gardiner, sudah di depan mata. Ia berharap momentum ini tidak terlewatkan dan sekadar menjadi “legenda peluang”. Senada dengan hal ini, Rovicky Putrohari menamnahkan, “Kondisi seperti ini tidak mudah terjadi atau bahkan bisa dikatakan kesempatannya hanya sekali.”

Madu dan Racun di Tangan Kita

Bonus Demografi yang dialamai Indonesia ini tidak akan hadir berlama-lama. Kesempatan emas ini diperkirakan akan berakhir pada 2030. Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran dan kesiapan segera bagi kita untuk menyongsongnya. Jika tidak, “madu” di tangan kanan kita akan terabaikan dan “racun” di tangan kiri mulai menggerogoti kita. Potensi pertumbuhan ekonomi 10-15% dan impian kesejahteraan masyarakat akan digantikan oleh bencana yang menghantui masa depan.

Sekadar untuk memudahkan kita dalam membayangkan kondisi Indonesia pada 2035, mari kita merujuk sensus penduduk tahun 2010. Dalam sepuluh tahun, penduduk Indonesia bertambah 32,5 juta jiwa dengan rata-rata angka Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) sebesar 1,49% per tahun. Dengan asumsi LPP tetap, maka jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 akan mencapai 450 juta jiwa.

Jumlah penduduk yang besar ini akan menjadi beban yang luar biasa untuk dipikul. Bencana nyata yang langsung mengintai adalah ketersediaan lapangan kerja. Seiring dengan hal itu, daya dukung dan daya tampung alam serta lingkungan semakin tidak ideal dan menghadirkan banyak masalah seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, gagal panen, kesulitan air bersih, perubahan iklim, dan sebagainya.

Bencara kedua yang mengancam adalah apakah sumber daya manusia yang melimpah ini memiliki kompetensi untuk bersaing di dunia kerja dan pasar internasional? Ujian akan hal ini tidak sejauh tahun 2035. Masyarakat Ekonomi ASEAN atau dalam bahasa lain perdagangan bebas ASEAN, sudah harus kita hadapi pada akhir tahun depan dengan bekal

Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) Indonesia di urutan 6 dari 10 negara ASEAN, di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei, dan Singapura. Untuk ukuran dunia, Indonesia menempati posisi 111 dari 182 negara.

Bencana lain yang siap menyongsong, terkait dengan penyediaan energi dan sumber daya alam untuk menjadi bahan bakar dan bahan baku. Keprihatinan ini secara gamblang disuarakan oleh Rovicky Putrohari dalam artikel yang sama di blognya. Berdasarkan perkiraan, Indonesia akan menjadi Net Import Gas tahun 2016 dan menjadi Net Import Energi total tahun 2024 atau paling lambat 2027.

[caption id="attachment_364480" align="aligncenter" width="468" caption="Sumber: Blog Dongeng Geologi - http://rovicky.wordpress.com"]

1412609592776469743
1412609592776469743
[/caption]

Bersiap Sedini Mungkin, Bersiap Sekarang Juga

Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Prof. dr. Fasli Jalal, ada empat syarat yang harus dipenuhi agar Indonesia dapat menikmati Bonus Demografi:


  1. Angkatan kerja yang berlimpah itu haruslah berkualitas, baik dari sisi kesehatan, pendidikan, maupun kompetensi profesionalnya.
  2. Suplai tenaga kerja produktif yang besar harus diimbangi tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai, sehingga pendapatan perkapita meningkat dan penduduk Indonesia dapat menabung sehingga akan meningkatkan tabungan di tingkat keluarga dan nasional.
  3. Jumlah anak yang sedikit dan dengan pendidikan yang lebih baik akan memungkinkan perempuan memasuki pasar kerja untuk membantu meningkatkan pendapatan keluarga.
  4. Dengan berkurangnya jumlah anak umur 0-15 tahun karena program KB, anggaran yang semula disediakan untuk pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi mereka dapat dialihkan untuk peningkatan SDM pada kelompok umur 15 tahun ke atas agar kelak mereka mampu bersaing meraih kesempatan kerja, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

Dengan mudah kita dapat menyimpulkan bahwa kata kunci dari empat butir uraian di atas adalah kualitas. Kapan dimulainya? Sejak dini. Siapa yang bertanggung jawab? Semua pihak. Itulah penegasan dari Dorodjatun Kuntjoro, Guru Besar FEUI. Semua pihak yang dimaksud beliau adalah pemerintah, swasta, dan masyarakat. Semua perlu terlibat dan berpartisipasi.

Pemerintah diharapkan mampu menjadi agent of development, yaitu memperbaiki mutu modal manusia, mulai dari pendidikan, kesehatan, kemampuan komunikasi, serta penguasaan teknologi. Masyarakat harus menjadi pendukung utama pembangunan mutu manusia dengan cara menyadari pentingnya arti pendidikan, kesehatan, dan aspek-aspek yang dapat mengembangkan kualitas manusia itu sendiri.

Sebagai contoh, Dorodjatun Kuntjoro menyebut soal penurunan fertilitas sebagai salah satu syarat mencapai peluang Bonus Demografi. Penurunan fertilitas ini tidak akan tercapai bila masyarakat tidak berpartisipasi dalam program Keluarga Berencana (KB).

Menegakkan Tonggak Pendidikan

Persepsi atau wawasan tentang pendidikan harus mencapai titik pemahaman yang lebih baik di dalam masyarakat. Jika kita memahaminya dengan baik, maka pendidikan tidak melulu soal sekolah. Bukan selalu tentang kurikulum atau kesempatan duduk di ruang kelas sekolah.

Ada tiga aspek pendidikan, dan ketiganya membutuhkan peningkatan kualitas yang simultan sebagai sumber pengetahuan, yaitu:


  • Pendidikan Formal, yang kita kenal sebagai pendidikan di bangku sekolah.
  • Pendidikan Nonformal, yaitu ilmu atau pengetahuan yang disediakan oleh lembaga atau institusi pendukung pendidikan formal, misalnya kursus, lokakarya, magang, dan sejenisnya.
  • Pendidian Informal, yaitu pendidikan yang bersumber dari keluarga terkait pembentukan kepribadian, pembangunan mental, sikap, dan nilai-nilai keutamaan yang melahirkan generasi berintegritas dan tangguh.

Jika kata kunci pada pendidikan formal adalah guru, maka pada pendidikan nonformal adalah instruktur atau narasumber, dan peran anggota keluarga pada pendidikan informal.

Secara lebih fokus berbicara pada area pendidikan formal, maka ada dua aspek yang harus menjadi titik perhatian, yaitu kesempatan bersekolah yang terbuka buat semua orang dan peningkatan jenjang pendidikan. Kartu Indonesia Pintar (KIP) apabila dapat direalisasikan dengan baik oleh Presiden Terpilih Joko Widodo, akan menjawab kebutuhan aspek pertama. Sementara saran untuk menaikkan wajib belajar 9 tahun menjadi 12 tahun akan mengakomodasi aspek kedua.

Dan yang terakhir yang harus dilakukan adalah perbaikan persepsi siswa atas pilihan-pilihan profesi bagi masa depan mereka. Dalam bukunya Kreatif Memilih Jurusan, Ina Liem mensinyalir betapa miskin atau sempitnya ragam keahlihan yang dimiliki bangsa kita.

Melalui survei sederhana yang dilakukannya, terdapat lima jurusan favorit di perguruan tinggi,  Bisnis, Kedokteran, Akuntansi, Teknologi Informasi, dan Perhotelan. Jika kelima jurusan ini masih mendominasi pasar tenaga kerja kita, dikhawatirkan posisi-posisi unik akan dikuasi tenaga asing. Sementara lulusan jurusan populer yang jumlahnya membludak, akan berebut lowongan yang semakin terbatas jumlahnya. Diprediksi pada 2020, di antara dua posisi manajerial di Indonesia, satu posisi akan dipegang orang asing.

Berdasarkan situasi ini, Ina Liem menggagas 3 Strategi Dasar, yaitu:


  1. Cermat Memilih Keahlihan: Perluas wawasan akan ragam keahlian yang bisa dimiliki.
  2. Menyadari Perubahan Zaman: Amati kondisi terkini dan masa depan, serta relevansinya dengan keahlihan yang akan kita raih.
  3. Global Dexterity: Miliki kemampuan untuk beradaptasi dengan budaya lain.

* * *

Demikian situasi, kondisi, dan saran aksi yang bisa kita lakukan sedini mungkin, sekarang juga. “Jika tidak dilakukan aksi sejak sekarang,” kata Dorodjatun Kuntjoro,  “maka yang akan terjadi adalah door to disaster.” Betapa mengerikan bila era itu yang harus kita hadapi. Padahal, seperti Dwini Handayani mengutip ucapan Soekarno “Beri saya sepuluh pemuda dan saya akan mengguncang dunia,” kita memiliki kesempatan untuk menggerakkan lebih dari 60 juta pemuda. Yuk kita guncang dunia! <>

Rujukan:
Kreatif Memilih Jurusan,Ina Liem, Nadi Inspira Edumedia (2014)
2020, Indonesia Alami Bonus Demografi
Bonus Demografi: Jadikan Berkah, Singkirkan Bencana!
Bonus Demografi Berpotensi Tumbuhkan Ekonomi
Bonus Demografi Harus Dimanfaatkan secara Optimal
Bonus Demografi Perlu Dioptimalkan
BKKBN Ajak Peneliti Kaji Bonus Demografi
Indonesia harus manfaatkan bonus demografi 2025-2035
Facebook BKKBNOnline
Manfaatkan Bonus Demografi: Pilar Produktivitas dan Pertumbuhan Ekonomi
Menyiapkan Indonesia Menghadapi Bonus Demografi
Tahun 2020 Akan Menjadi Periode Menentukan
Website BKKBN Online

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun