Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Berbagi Kisah dari Loket Reservasi Kereta Api

14 Oktober 2014   13:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:06 1212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selamat siang Bapak Ign. Jonan. Siang ini Bapak sedang di mana? Di ruangan kantor yang adem berpendingin atau sedang kepanasan blusukan di stasiun, di antara gerbong dan rel-rel kereta api? Saya percaya pemberitaan media bukanlah isapan jempol bahwa Bapak betah juga kelayapan di lapangan. Gelar The Best CEO 2013 tak menghalangi langkah Bapak untuk turut berpanas-panas dan "menikmati" bau keringat yang khas di area transportasi publik.

Siang ini, ketika artikel ini mulai saya tuliskan, kota Yogyakarta juga sedang disiram terik matahari. Mungkin tak jauh berbeda seperti liputan sebuah stasiun TV belum lama ini bahwa Jakarta kini mengalami lonjakan suhu 2-4 derajat lebih panas. Namun entah kesamber apa, saat sedang merencanakan perjalanan ke Surabaya, saya ingin membeli tiket langsung ke stasiun, seperti zaman dulu saat tiket belum bisa dijangkau lewat online. Padahal toko swalayan imut (mini market) hadir tepat di depan kantor saya, siap melayani penjualan tiket KA online. Ah, mungkin juga oleh dorongan supaya ngirit Rp15.000.

[caption id="attachment_366176" align="aligncenter" width="500" caption="Ini nomor antrean saya, ada informasi jam di situ"]

14132161481987890762
14132161481987890762
[/caption]

Saya tiba dari arah Selatan stasiun Tugu lewat pintu masuk Jalan Pasar Kembang. Dari area parkir, berjalan tak jauh. Lalu menaiki tangga, masuk, dan berbelok ke kiri. Di sebuah meja memencet tombol mesin yang memunculkan selembar nomor antrean. Terbaca angka 181 dan sesaat kemudian dari pengeras suara terdengar panggilan ke loket untuk pemegang nomor antrean 121. Setelah mengisi formulir pemesanan dan bengong entah mau ngapain, saya memutuskan untuk menikmati jalan kaki di seputaran stasiun sebelum kemudian terpikirkan untuk makan siang sebagai alternatif membunuh waktu yang produktif.

Tak butuh waktu terlalu lama, saya kemudian bergegas membayar sepiring gudeg dan melangkah kembali ke arah stasiun. Dalam perjalanan, saya menduga nomor antrean saya sudah terlewatkan. Sambil mengayunkan kaki saya merancang kalimat permintaan maaf dan senyum termanis. "Maaf, Mbak. Karena lapar, saya pergi makan siang. Nomor antrean saya sudah lewat, bolehkah saya mendapatkan layanan sekarang?"

Namun konsep kalimat itu tak perlu saya ucapkan, demikian juga senyum termanis saya batal diumbar. Pada mesin petunjuk nomor antrean tertera angka 160. Ups, masih 20 orang sebelum tiba giliran saya. Selama satu jam lebih saya tinggal, saya hanya kehilangan pengantre 39 orang.

14132162141306864975
14132162141306864975

Saya masih mengenali ruangan ini. Kini tidak berjubel seperti dulu. Dengan penataan kursi tunggu yang efisien, malah membuat ruangan itu lebih lapang. Kursi yang tersedia belum penuh. Namun saya memutuskan untuk berdiri saja dan mengedarkan mata untuk mengamati situasi. Pertama-tama, mata saya bersirobok dengan banner ini:

[caption id="attachment_366179" align="aligncenter" width="500" caption="Visi dan Misi PT KAI. Serta Motto: Anda Adalah Prioritas Kami"]

1413216272667641591
1413216272667641591
[/caption]

Saya melihat ke sekeliling. Tampak wajah-wajah lelah dan bosan. Dua orang bule yang duduk di kursi paling belakang, juga tampak kegerahan karena udara panas. Hm, saya yang orang Yogya juga kegerahan kok. Iseng, saya memandang dan menghitung AC yang terpasang. Seharusnya ada 6 buah, tapi tinggal 5 karena yang satu hanya terdapat jejaknya di tembok. Dan dua di antara 5 itu, tidak dalam posisi berfungsi.

14132163891226743552
14132163891226743552

1413216429291583383
1413216429291583383

Jika di tambah AC di dekat tiga petugas loket, maka total ada 4 buah AC yang beroperasi. Tapi mereka tak berdaya, sehingga pintu harus dibuka agar angin ikut bekerja sama mengantarkan adem. Saya mendekat ke dua AC terdekat, dan apa yang saya peroleh? Hanya terasa angin yang agak sejuk menerpa kulit wajah saya.

Dulu di sini lebih pengap, tapi mungkin saja disebabkan oleh jubelan orang-orang yang tumplek-blek di ruangan ini. Kini saya bisa menyebutnya "lengang". Tak ada lagi papan petunjuk proses atau alur untuk pembelian tiket, itu sudah digantikan oleh petunjuk dalam ukuran lebih kecil dan dipasang di dekat TV:

14132164781443487650
14132164781443487650

14132165171021223172
14132165171021223172

Di bawahnya, pada sebuah meja, diletakkan mesin pencetak nomor antrean. Mesin yang tampaknya sama dengan mesin yang pernah saya lihat dahulu. Namun kini ia seorang diri. Tidak ada lagi satpam menjaganya. Orang-orang swalayan memencetnya. Dan di sampingnya diletakkan formulir-formulir pemesanan untuk diisi oleh calon penumpang.

1413216557318843215
1413216557318843215

Di depannya, konter sayap kiri, tak ada petugas yang melayani calon penumpang. Dulu di sini jadi loket 4, 5, dan 6. Kini, hanya ada sepi:

1413216593121223672
1413216593121223672

Yup, tidak mengherankan juga. Meskipun ruangan reservasi ini tidak berjubel seperti dulu, antrean tetap panjang karena jumlah loket berkurang separuh. Tampaknya memang secara perlahan namun pasti layanan penjualan tiket langsung ini tidak akan menjadi prioritas lagi. Ini kesimpulan saya pribadi, sebab saat mengedarkan pandangan ke sekeliling saya menjumpai 3 banner ajakan untuk membeli tiket secara online dengan iming-iming tidak akan lelah mengantre:

14132166391401521782
14132166391401521782

14132168252004639718
14132168252004639718

1413216872250671551
1413216872250671551

Saya menghela napas panjang. Ketiga banner inilah yang memicu gerak tangan saya mengambil kamera HP dan mengabadikan ruangan reservasi ini. Serta memacu inspirasi saya untuk menuliskannya di sini.

Mungkin masih dalam jangka waktu yang (agak) panjang, tapi akan tiba masanya perubahan terjadi. Masa ketika tak dibutuhkan banner ajakan seperti itu lagi. Oleh karena itu saya bergegas mengabadikannya. Jika tidak sekarang, mungkin saya tidak akan memiliki kesempatan seperti siang ini lagi. Kesempatan atau momentum untuk menyaksikan perubahan zaman, seperti era menjelang Dinosaurus punah.

Usai memotret-motret, saya mendekati loket karena pemegang nomor antrean 180 sudah dipanggil sesaat sebelumnya. Penasaran juga mengapa nomor saya belum dipanggil padahal dari tiga petugas, di depannya hanya ada pengantre nomor 179 dan 180. Dari dekat terlihatlah dengan jelas, memang hanya dua petugas yang melayani calon penumpang. Seorang lagi, sedang menghitung uang. Mungkin giliran ia bertugas sudah berakhiran saatnya berkemas-kemas.

* * *

Dengan perasaan lega, saya memegang kedua lembar tiket yang amat berharga ini. Menengok jam di dinding sambil melangkah ke pintu keluar, saya melihat angka yang ditunjukkannya: 12.40. Hanya kurang "sedikit", 17 menit lagi, maka genaplah dua jam saya menantikan tiket ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun