Mohon tunggu...
Ang Tek Khun
Ang Tek Khun Mohon Tunggu... Freelancer - Content Strategist

Sedang memburu senja dan menikmati bahagia di sini dan di IG @angtekkhun1

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Jurus Kaya Unik: Ekonomi Pas-pasan? Pakailah LED

21 November 2014   18:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:13 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tebak-tebak buah manggis
Bisa tebak mengapa Bang Toyib
Tidak pulang-pulang?
Karena dia tidak pakai LED.

Apalah LED itu? LED bukanlah singkatan dari “Love Emak & Daddy”. Juga bukan ungkapan lebay “Lemot Enak Deh”. Dan, sudah pasti bukan gojekan (candaan) “Lu Emang Dodol”. Menurut Om Wiki, LED itu singkatan dari Light-emitting Diode, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara harfiah berarti Diode Pancaran Cahaya. Di situ dijelaskan bahwa LED adalah “suatu semikonduktor yang memancarkan cahaya monokromatik yang tidak koheren ketika diberi tegangan maju”. Dalam bahasa awam, LED bisa dijelaskan sebagai jenis lampu hemat energi dan ramah lingkungan.

Akal-akalan Promosi?

Saya pertama kali mendengar kata LED saat sebuah produsen memasang iklan besar dan membuat acara heboh tentang lampu ini dengan tema “Kota Terang Hemat Energi”. Di Monas misalnya, monumen itu diwarnai sedemikian rupa menggunakan cahaya lampu. Termasuk di Yogyakarta, Pagelaran Keraton dan Monumen Serangan Umum 1 Maret dihias begitu rupa.

Reaksi saya? “Ah, itu kan cuma akal-akal promosi saja!” Apalagi saat membaca sebuah thread di Kaskus berjudul “Iklan LED Philips menyesatkan”. Di sana diungkap tentang iklan sebuah produsen lampu LED yang dianggap “menipu” konsumen. Tertulis “Last up to 15Years”, tapi ternyata ada tanda bintang kecil (*) yang menjelaskan “syarat dan ketentuan” pemakaian sehari 2,7 jam. “Emang ada agan-agan nyalahin lampu sehari cuma 2,7 jam? Apalagi lampu luar ruangan pasti kan dinyalahin terus sampe subuh,” tulis yang bersangkutan.

Nah, benar kan dugaan saya. Pasti ini akal-akalan. Puluhan komentar di sana juga menertawakan “akal bulus” ini. Namun ada satu-dua komentar yang rasional, dan saya pun terpancing untuk mulai berhitung secara rasional. Sebagai penguji, saya mengambil contoh lampu di teras rumah. Rata-rata, lampu akan menyala selama 12 jam. Kalau dimasukkan dalam perhitungan, akan jadi begini:

1 tahun = 365 hari
15 tahun = 5475 hari
12 jam : 2,7 jam = 4,4
5475 hari : 4,4 = 1244 hari
1244 : 365 hari = 3,4 tahun

Wow, hebat! Masa hidup lampu LED 3,4 tahun. Padahal berdasarkan pengalaman, lampu teras yang konon hemat energi itu perlu saya ganti pada hampir setiap tahun.

Berdasarkan fakta irit ini, saya memutuskan untuk melakukan survei ke toko. Dari pengamatan atas sebuah produsen lampu LED, saya menjumpai fakta-fakta berikut:

3W LED setara 25W
5W LED setara 40W
7W LED setara 60W
10W LED setara 70W
13W LED setara 75W

Keunggulan Utama Lampu LED

Dibuat semakin penasaran, saya lalu melakukan pencarian informasi lebih lanjut. Cukup mengejutkan saat saya menemukan perbandingan yang dilakukan oleh Forbes. Namun, saya paling salut dengan komparasi apik yang dilakukan designrecycleinc.com Coba deh di-klik, pasti hati Anda akan meleleh dibuatnya. Ditambah berbagai sumber lain, saya dapat merangkum kelebihan utama lampu LED adalah:


  • Umurnya lebih panjang
  • Efisiensi energy 80-90 persen
  • Memerlukan tegangan listrik yang rendah
  • Cahaya yang dihasilkan tidak panas.
  • Cahaya yang dihasilkan tidak mendistorsi warna sekitar
  • Tidak mengandung merkuri (ramah lingkungan)
  • Dapat diarahkan sesuai keinginan (dengan lensa optik)


Tapi lampu LED bukannya tanpa kekurangan. Sejujurnya saya dibuat shock oleh harganya yang selangit. Sampai di sini saya sempat melangkah mundur untuk tidak menyentuhnya. Sampai kemudian tanpa sengaja saya teringat pada sebuah prinsip belanja yang bagi saya unik. Saya kutipkan di sini:

“Belanjalah barang berkualitas. Saya mengartikan prinsip ini sebagai investasi barang jangka panjang. Meski kualitas tidak selalu berbanding lurus dengan merek, tapi biasanya merek memang menjamin kualitas, hukumnya seperti itu. … jika ada barang yang harganya sedikit di atasnya [mahal]dengan selisih wajar dan kualitasnya lebih baik, tahanlah sedikit untuk menabung. Ini penting karena ini berkaitan dengan usia pakai. Barang konsumsi diciptakan dengan masa pakai tertentu oleh produsen.”

Saya pun mengangguk setuju dengan prinsip ini. Sering kali kita terjebak dalam prinsip sebaliknya–kalau ekonomi kita pas-pasan, belilah barang murah. Ternyata ini perangkap, karena pada akhirnya kita akan lebih boros karena akan membeli barang yang sama berkali-kali.

Peluang Menjadi Pahlawan

Tidak, ini bukan bercanda. Penelusuran lebih lanjut membuat saya lebih terkejut. Pertimbangan kondisi ekonomi pribadi tiba-tiba mengecil nilainya saat kita membaca fakta-fakta yang menggetarkan. Menurut sebuah riset, konsumsi listrik yang digunakan untuk pencahayaan mencapai 19% setiap tahun, menyebabkan 1,9 miliar ton emisi CO2 di seluruh dunia. Wow! Alangkah berarti penghematan energi hingga 85 persen

Bagaimana kondisi Indonesia? Tingkat ketersambungan listrik di Indonesia masih berada di angka 78%. Rasio pemakaian lampu LED tercatat hanya 1:15. Betapa jauh bila dibandingkan dengan Singapura yang mencatat angka rasio 1:5 dan China 1:3. Jadi, bila 1 dari tiap 15 rumah saja di Indonesia beralih menggunakan LED, maka biaya yang bisa dihemat akan mencapai Rp100 miliar dalam setahun. Ini setara dengan menanam 595.000 pohon!

Fantastis, betapa dahsyat angka-angka ini. Apalagi bila kita bisa mengambil bagian dalam mengubah prediksi bahwa pemakaian LED di Indonesia pada tahun 2020 baru akan tembus 60%.

Beraksi Sekarang, Gunakan Strategi

Melihat situasi dan kondisi seperti ini, tak ada kata lain selain “beraksi sekarang juga”. Bumi dan segala isinya, layak kita wariskan ke generasi berikut dalam kondisi lebih baik. Antara lain, “hanya” dengan melakukan hal “sederhana” ini, yaitu beralih ke pemakaian lampu LED. Alasan lampu LED adalah “produk mahal” pun akan gugur bila kita menyadari tiga hal berikut:

Pertama, harga sebuah produk akan kian murah bila pemakainya semakin banyak. Jika kita berdiam diri tanpa tindakan, maka efek logis ekonomis ini tidak akan pernah terjadi, dan “lingkaran setan” tak akan pernah berakhir.

Kedua, mengubah cara pandang dan mengelola partisipasi sosial. Dalam bahasa sederhana, dalam setiap pembelian, kita telah menyisipkan sumbangan sosial yang selayaknya dilakukan. Ingatlah, Don’t (just) recycle, think first. Hijau aksimu akan menghijaukan negeri. #jogjahijau menuju #IndonesiaHijau

Ketiga, wujudkan dengan strategi. Sebagai contoh praktis untuk mengakali soal budget ini, tips yang saya gunakan dalam transisi penggunakaan lampu LED ini kiranya mendatangkan manfaat:

1. Belilah di “musim” diskon. Setiap toko besar, bila kita cermati, selalu mengelola diskon secara berkala. Karena itu, sebaiknya Anda menetapkan toko langganan untuk diamati. Akan tiba saatnya mereka menggelar “musim’ diskon lampu LED, seperti yang baru saja saya nikmati.

2. Belilah secara bertahap. Mengganti seluruh lampu secara sekaligus, tentu akan memberatkan budget bulanan rumah tangga kita. Oleh karena itu, belilah secara bertahap. Mengganti satu lampu dalam rentang satu bulan atau lebih, jauh lebih baik karena kita sudah mengambil langkah nyata daripada mengulur-ulur waktu hanya karena melakukan pertimbangan tanpa akhir.

3. Mulailah dari bagian yang berdurasi menyala paling panjang. Dengan demikian, kita benar-benar mengoptimalkan budget dan manfaat. Dalam kasus ini, saya mulai membeli lampu LED untuk penerangan teras rumah, karena lampu di sini paling panjang durasi menyalanya di rumah saya.

Logis, sederhana, dan strategis, kan? Selamat merenungkan, kiranya cahaya 100W memancar keluar dari sharing ini dan menerangi hati kita untuk menjejakkan langkah aksi nyata. []

*Artikel ini didukung oleh Kompas (Klasika), SCP, SwitchAsia, Uni Eropa, dan Kementerian Lingkungan Hidup,

Rujukan:
Diode pancaran cahaya
Iklan LED Philips menyesatkan
LED vs. CFL: Which Bulb is Best?
Comparison Chart LED Lights vs. Incandescent Light Bulbs vs. CFLs
Tulisan: Prinsip Belanja
Philips Terangi Dua Ikon Budaya
Elektrifikasi Indonesia Baru 78%, Philips Kejar 20% Konsumsi LED
2020, Pemakaian LED di Indonesia Tembus 60%

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun