Suara decit pertama kaki kereta Sancaka mengakhiri keraguan saya. Plan B tak selalu lebih jelek, maka saya pun tiba pada keputusan untuk berjalan kaki—bukan duduk tenang di dalam yang sejuk taksi untuk mencapai tujuan. Menyanggong ransel, saya berdiri dalam antrean untuk menapaki koridor Stasiun Gubeng. Seorang diri, saya menyeruak dari arus besar yang mengalir ke arah pintu keluar utama di sisi Jalan Gubeng Masjid. Sebaliknya, saya berbelok ke kanan,  melintasi beberapa rel, dan menyusup di pintu bertuliskan KELUAR. Dahulu, inilah sisi utama Stasiun Gubeng—lebih dekat ke arah pusat kota.
[caption id="attachment_382879" align="aligncenter" width="490" caption="Ini pintu keluar utama Stasiun Gubeng, Surabaya. Bersisian dengan pintu keluar utama"][/caption]
[caption id="attachment_382880" align="aligncenter" width="490" caption="Ini sisi lain, menuju pintu keluar alternatif Stasiun Gubeng, Surabaya"]
Terik matahari siang kota Surabaya menyambut kehadiran saya. Sambil melemaskan tubuh, saya menanti kesempatan menyeberang jalan. Dan, tap-tap-tap, saya pun melintasi Jalan Stasiun Gubeng dan Jalan Gubeng Pojok hingga mencapai Jalan Pemuda dan berdiri di atas jembatan dengan pemandangan Sungai Kalimas. Saya menghentikan langkah dan melayang mata. Airnya mengalir lancar. Di kejauhan, dalam siluet siang, tampak pemandangan khas urban. Sebuah mal baru telah berdiri di sana.
[caption id="attachment_382881" align="aligncenter" width="500" caption="Sungai Kalimas terlihat resik, di kejauhan tampak sebuah mal sudah berdiri di sana"]
Melanjutkan langkah, saya melirik ke sisi kiri. Wow, sejak kapan ada Ruang Terbuka Hijau (RTH) di sana? Seingat saya, dahulu ketika hendak berbelok ke Jalan Kayoon, tidak ada hal menarik di sana. Kini, menyegarkan mata. Meskipun tak luas, RTH itu tampak asri dipadu dengan bangku taman. Sementara di sisi kanan, Monumen Kapal Selam masih hadir di sana. Saya lalu melipir, menyusuri koridor Plaza Surabaya untuk sekadar mencari keteduhan.
Kini, mal ini ramai. Berbeda pada masa awal beroperasinya dengan nama Delta Plaza. Lengang dan dihiasi kisah-kisah seram dan angker. Mal ini berdiri di atas bekas Rumah Sakit Simpang yang merawat korban pada masa perang kemerdekaan. Banyak nyawa yang melayang di sini. Salah satu kisah yang beredar, sering terjadi penampakan suster gepeng. Namun, manajemen baru, penataan ulang, serta berlalunya waktu membuat segala cerita itu tak dikenali lagi jejaknya.
Saya menapaki sisi plaza ini dengan isi perut yang menari dipicu aroma makanan siap saji yang menyeruak menjemput hidung saya. Oya, di dalam plaza ini ada oulet rujak cingur yang enak dan terkenal. Namun kali ini saya kurang berminat. Dalam gegas langkah, saya masih sempat melirik Gedung RRI yang bersejarah itu—masih eksis dan tak minder dengan gedung perkantoran megah yang menjadi tetangganya.
[caption id="attachment_382882" align="aligncenter" width="490" caption="Gedung RRI Surabaya yang mengukir sejarah di masa perjuangan"]
Di simpang empat yang mempertemukan Jalan Pemuda, Jalan Yos Sudarso, Jalan Gubernur Suryo, dan Jalan Panglima Sudirman, saya sempat mengalami kesulitan untuk menyeberang. Lalu lintas padat dengan kecepatan yang tidak berkurang. Untung ada juga kendaraan yang masih respek pada pejalan kaki dengan ransel ala backpaker seperti saya, sehingga saya pun mencapai trotoar Jalan Gubernur Suryo.
Melintasi Balai Pemuda, saya membiarkan kenangan bergayut. Di sini dulu ada bioskop favorit, namanya Mitra. Di belakang biskop ini, ada kelompok teater bernama Bengkel Muda Surabaya (BMS). Saya pernah latihan teater di situ. Tidak lama, hanya dalam rangka pentas seni sekolah. Agak belakang, pada masa itu ada gedung Dewan Kesenian Surabaya (DKS). Terasnya yang luas, menjadi tempat kami berkumpul dan berdiskusi dan belajar menulis secara berkala.