[caption id="attachment_383690" align="aligncenter" width="500" caption="Ibu Yuniarti sedang bekerja melayani pembeli."]
Percakapan hangat kami terpotong saat seorang pembeli menghampiri lapaknya. Saya pamit dan beringsut untuk mencari Pak Sugeng, Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Patuk yang dikenalkan namanya oleh Ibu Yuniarti.
Ternyata tak sulit menemukan Pak Sugeng. Sosoknya telah lama dikenal oleh sesama pedagang di sini. Di lapaknya, Pak Sugeng menjual aneka sayuran. Di sini, saya pun mendapat sambutan hangat dari pria yang saat itu mengenakan topi dan tubuhnya dibalut celemek. Ada lebih dari 200 pedagang di pasar ini, bergabung dalam paguyuban yang diketuai olehnya. Dalam keterangannya kepada Wartapasar, Pak Sugeng menjelaskan secara detail bahwa yang terhimpun di sini mencapai 250-an pedagang yang terdiri dari 21 kios, 70 lapak, dan 159 los.
[caption id="attachment_383691" align="aligncenter" width="500" caption="Pak Sugeng, Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Patuk."]
[caption id="attachment_383693" align="aligncenter" width="500" caption="Pak Sugeng di antara sayur-mayur jualannya."]
"Dulu pasar ini belum bagus seperti sekarang," jelasnya. Lantai pasar ini baru dipasang keramik pada 2010. Beberapa tahun sebelumnya, atapnya terlebih dahulu dibenahi. Namun, saat ditanya dalam rentang waktu lebih ke belakang, lelaki ini tidak dapat memastikan asal-muasal gedung yang ditempati pasar ini. Ia meyakini pasar ini dahulunya adalah sebuah gedung bioskop, namun tidak tertutup kemungkinan kedua sebagai bekas gedung ketoprak atau gedung kesenian.
[caption id="attachment_383694" align="aligncenter" width="500" caption="Penjual di pasar ini telah banyak yang memasuki usia sepuh."]
Dari rujukan yang tersedia, kuat dugaan pasar ini adalah alih fungsi dari bekas gedung bioskop. Bioskop ini beroperasi sekitar tahun 1950-an. Namun karena terbengkalai, akhirnya pada kisaran tahun 1977 dijadikan pasar guna menampung pedagang yang memenuhi tepi Jalan Gandhikan. Premis ini diperkuat oleh Jimmy Sutanto, Wakil Ketua JCACC (Jogja Chinese Art Culture Center). Dalam wawancaranya dengan Wartapasar edisi Februari 2013, ia menyatakan keyakinan bahwa Pasar Patuk berasal dari gedung bioskop. Bahkan nama Patuk sendiri diambil dari nama bioskop tersebut. "Bioskopnya sendiri sudah ada sejak tahun 1950-an,” jelas Jimmy.
[caption id="attachment_383695" align="aligncenter" width="500" caption="Pasar Patuk sempat menjadi bahan liputan utama Wartapasar Vol. II Februari 2013."]
Dugaan ini juga diutarakan oleh Melany Indriani saat saya mewawancarainya via telepon. Melany sendiri adalah jemaat Gereja Kristen Kalan Kudus (GKKK) Jalan Beskalan. Jemaat gereja yang berada di Timur Pasar Patuk umumnya berbelanja di pasar ini usai kebaktian paling pagi; sementara jemaat yang kebaktian pada jam kedua, berbelanja terlebih dahulu di sini. Bioskop ini konon bukan kategori kelas atas, demikian Melany mencoba mengingatnya.
Pasar Pecinan dan Kemeriahan kala Imlek
Berada di kawasan pecinan, sejatinya keberadaan Pasar Patuk adalah untuk memenuhi kebutuhan warga di sekitarnya. Namun karena kekhasannya, pasar ini terkenal sebagai sentra jual beli makanan khas pecinan dan menjadi rujukan bagi warga Yogyakarta pada umumnya. Komoditas yang dijual, banyak yang berlabel Tionghoa, seperti bumbu-bumbu masakan oriental seperti ngo hiong, angkak, pekak, tong jai, dan taucho. Jajanan khas negeri Tiongkok pun bisa dijumpai di sini seperti bacang, kue bulan, kue keranjang, dan pia daging.
[caption id="attachment_383696" align="aligncenter" width="500" caption="Suasana pembeli yang tidak terlalu ramai saat hari kian siang."]
Puncak kemeriahan dan melimpahnya pengunjung pasar ini berlangsung saat "musim" perayaan Imlek tiba. “Ramai seperti ini biasanya akan terjadi sampai Cap Go Meh atau 15 hari setelah imlek,” jelas Susi, salah seorang penjual makanan di Pasar Patuk.
[caption id="attachment_383698" align="aligncenter" width="500" caption="Kios yang menjual barang-barang keperluan dapur yang lebih modern."]
Selain karena jenis dagangannya yang khas, menurut penuturan Melany, ada perbedaan antara Pasar Patuk dan pasar-pasar lainnya di kota Yogyakarta. "Di Pasar Patuk, harga jual barang-barangnya terkenal lebih mahal," ungkapnya. Namun, ini tak lepas dari kualitas yang ditawarkan. Hal ini tampaknya diketahui secara meluas oleh warga Yogyakarta yang mengenali pasar ini. Saat mewawancarai Ibu Ida Roosmalasari yang semasa mudanya banyak beraktivitas di Jalan Bhayangkara, beliau mengungkapkan hal yang sama. Informasi-informasi umum yang saya peroleh, mendapat konfirmasi dari Ibu Ida. Hanya sayang beliau tidak mampu mengingat lebih detail lagi karena faktor daya ingat.
[caption id="attachment_383699" align="aligncenter" width="500" caption="Salah satu kios paling depan dengan aneka jualan."]
Selain faktor kualitas, apakah ada hal lain yang memicu pasar ini menjual barang dagangan yang lebih mahal? Ketika diminta konfirmasinya, Melany dengan rasional menjawab bahwa ini tak lepas dari mayoritas konsumen etnis Tionghoa yang dipandang lebih mampu secara ekonomi. Ayam potong yang dijual di pasar ini misalnya, cerita Melany, adalah ayam-ayam pilihan dengan kualitas yang bagus.
Pasar Patuk Kini
Berjalan bersama berkembangnya zaman, kawasan etnis pun semakin mencair. Diaspora membuat "kantung-kantung" etnis tak lagi dominan. Tak heran bila pengunjung Pasar Patuk kini tak lagi didominasi etnis Tionghoa. Demikian juga pedagangnya, menurut hitungan Pak Sugeng, sekarang pedagang etnis Tionghoa "hanya" berada dalam komposisi 25% dari seluruh pedagang.
[caption id="attachment_383700" align="aligncenter" width="500" caption="Penjual bubur sumsum sedang melayani pembeli."]
Jika Anda menelusuri pasar ini sambil menikmatinya, dengan mudah Anda akan menjumpai sajian bubur sumsum, makanan khas Yogyakarta, dan aneka jajanan pasar "lokal". Pasar Patuk dulunya memang identik sebagai pasar pecinan, namun kini sudah lebur dalam "akulturasi". Jejak kuat sebagai pasar pecinan, yang kini lebih tepat disebut sebagai pasar pembauran, justru menjadi kekayaan yang langka dan patut dijaga. Di sini kita menjumpai dan belajar tentang Indonesia mini dan "akulturasi" budaya yang membanggakan.
[caption id="attachment_383701" align="aligncenter" width="500" caption="Aneka jajanan siap santap sedang menggoda pembeli."]
Pada ujung berkeliling, saya mengarahkan langkah ke pintu keluar samping dan menghampiri penjual Gandos, yang menerakan nama "Gandos Rangin Pak Sugeng". Saya mengamati apa yang dilakukan penjualnya dan memesan untuk dibawa pulang. Penganan dari tepung beras yang proses pematangannya dengan cara dibakar ini dijual dengan harga Rp6.000 setangkup—masing-masing berisi empat baris. Saya memesan setangkup dan membuka pintu percakapan.
[caption id="attachment_383704" align="aligncenter" width="500" caption="Pak Sugeng penjual Gandos sedang menyiapkan dagangannya."]