Mohon tunggu...
ZA Khumayr
ZA Khumayr Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja lepas

I am a science and technology enthusiast based in Indonesia. I write and read in the spare time. I am very fond of literature.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Potensi Pasir Silika sebagai Bahan Baku Sel Surya

27 September 2019   21:24 Diperbarui: 27 September 2019   21:47 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Penduduk dunia tumbuh secara cepat untuk paruh pertama Abad 20, dan kemudian menurun pada paruh abad yang kedua. Dari perkiraan 6 milyar penduduk dunia pada tahun 2000, jumlahnya akan bertumbuh sampai kira kira 9 milyar pada tahun 2050. 

Pada saat itu kebutuhan energi akan meningkat menjadi hampir dua kali lipat dari kebutuhan sekarang sekitar 400 milyar Qbtu menjadi 800 milyar Qbtu, (ITASA, WEC, 2003).

Lebih dari hal tersebut, penduduk di negara-negara berkembang tumbuh lebih cepat dari pada di negara maju atau negara industri. PBB memperkirakan bahwa saat ini, hampir 1.6 milyar penduduk mengalami kekurangan energi. Hal tersebut menuntut peningkatan upaya penggalian sumber-sumber energi alternative baru dan energi yang dapat diperbaharui.

Masalah yang dihadapi adalah kesenjangan antara negara industri ( maju) dengan negara berkembang, karena masalah transfer teknolgi dan masalah kemiskinan lainnya.

Krisis energi secara global memang telah menjadi masalah utama yang mengemuka. Oleh karenanya pencarian sumber energi alternatif juga menjadi semakin baik ke permukaan dewasa ini. Sumber energi terbesar di tata surya yakni energi surya juga yang menjadi primadona dengan menggunakan teknologi sel surya.

Pemanfaatan energi surya di Indonesia sebenarnya memiliki peluang yang besar mengingat Indonesia adalah negara tropis dengan tingkat penyinaran matahari yang merata di sepanjang tahun.

Akan tetapi pada kenyataannya di Indonesia masih mempergunakan bahan impor panel surya dari negara lain karena adanya keterbatasan sumber daya dan finansial. Sehingga bisa dibayangkan, untuk berhemat justru membutuhkan sokongan dana yang besar karena kita belum bisa membuat sendiri teknologi energi alternatif tersebut.

Di sisi lain ternyata silika juga menjadi salah satu bahan baku alternatif panel surya yang ternyata keberadaannya bisa banyak diketemukan di pasir pantai Pulau Jawa. Mengingat pula Indonesia memiliki garis pantai yang panjang sehingga pun akan membuat peluang penemuan pasir kuarsa akan menjadi lebih besar lagi.

Bahkan dengan teknologi pemisahan elektromagnetik sederhana sudah dibuktikan pemisahan silika dari pasir kuarsa bisa dengan mudah dilakukan dan dengan efisiensi yang tinggi. Sehingga diharapkan nantinya dari potensi pasir silika yang ada di Indonesia akan membuat Indonesia mampu membuat teknologi panel surya yang lebih terjangkau bagi masyarakat dibandingkan dengan keadaan yang ada sekarang.

Pada dasarnya Indonesia merupakan negara tropis yang tentu saja penyinaran matahari akan merata pada tiap tahunnya. Sehingga tentu saja akan sangat tepat diterapkan penggunaan sel surya sebagai sumber energi alternatif. Namun baru sedikit sekali pemanfaatannya.

Karena sebagai negara berkembang tentu saja faktor harga yang masih menjadi persoalannya. Apalagi ketika industri dalam negeri mulai merangkak untuk membangun energi surya, justru gempuran dari produk China menjadi salah satu problema tersendiri bagi perkembangan industri ini.

Mengingat  bahwa kita masih banyak mengimpor untuk industri energi surya ini, sehingga akan membutuhkan modal yang besar. Hal ini dikarenakan keterbatasan finansial dan sumber daya manusia. Sehingga bisa dikatakan bahwa industri sel surya di dalam negeri masih belum begitu berkembang.

Data kasar dari ESDM terdapat sekitar 17 miliar ton bahan baku silika dan tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Contohnya batuan kuarsit yang ada di Lampung memiliki kualitas yang sangat bagus, dalam bentuk pasir dapat ditemukan di Tuban dengan kualitas sangat baik.

Penggunaan di Sumatera Utara saat ini hanya diambil untuk keperluan keramik dan dijual untuk berbagai keperluan. Indonesia memiliki potensi bahan baku mineral silika yang luar biasa, tetapi harus dilihat juga apakah memenuhi syarat untuk dibuat silikon untuk keperluan sel surya.

Kualitas dapat dilihat dari unsur kimianya, yang relatif mengandung logam-logam berat sangat kecil. Komposisi kimia silika yang dapat digunakan untuk keperluan solar sel mengacu pada strandar yang digunakan di dunia.

Dari data-data, mineral silika di Indonesia sudah memenuhi syarat untuk diproses lebih lanjut. Solar grade silikon tidak memerlukan silikon dengan kemurnian sangat tinggi seperti yang digunakan dalam electronic device sehingga tidak perlu menggunakan teknologi yang sulit/terlalu murni karena harganya yang mahal.

Untuk membuat 1 Mw solar sel diperlukan hampir 50 ton pasir silika. Pasir kuarsa nilainya sangat tinggi, 1 kg di lapangan setelah dibersihkan/diayak harganya Rp 100. Satu truk/40 ton harganya sekitar Rp 200.000 dan bisa digunakan untuk membangun solar sel sebesar 1 Mw. 

Dengan bahan baku kita yang sangat bagus, seharusnya mampu mendorong adanya industri solar sel di Indonesia.

Sementara itu menilik dari keadaan yang ada sekarang ini adalah pemerintah mengimpor panel surya jadi dari luar negeri sedangkan sebagaimana kita tahu bahwa harga panel surya di pasaran dunia utamanya Eropa masih sangat mahal.

Namun sebenarnya di dalam negeri, kita memiliki bahan baku panel surya yakni silikon yang banyak terdapat pada pasir silika (kuarsa).

Banyak ditemui pasir silika di sepanjang pantai Indonesia, bahkan di Pulau Jawa. Sehingga jika kita bisa memanfaatkan secara benar, seharusnya untuk pemenuhan bahan baku panel surya kita sudah tidak diragukan lagi.

Meninjau lebih awal lagi dari pangkal permasalahan adalah dari faktor produksinya. Diketemukan bahwa 65% penyumbang modal besar produksi panel surya adalah pada pembuatan silikon. Industri di dalam negeri sebenarnya sudah bisa membuat silikon hingga tahap membuat wafer silikon.

Namun memang untuk tahap selanjutnya masih menggunakan mesin otomatis yang membutuhkan perlakuan khusus yang pada umumnya hasil impor dari luar negeri.

Diketemukan beberapa sumber yang menyebutkan penjualan panel surya dengan harga yang 'terlihat' murah. Namun pada instalasinya masih jatuh pada angka yang lumayan besar.

Sehingga bisa dikatakan bahwa perbandingan keuntungan menggunakan panel surya dibandingkan listrik dari PLN tidak setimpal dengan harganya. Ada sumber pula yang menyebutkan bahwasannya modal baru akan kembali sekitar 93 tahun.

Analisis

Dari berbagai tinjauan situasi dan kondisi di atas, solusi yang mungkin bisa dilakukan pada saat ini adalah dengan melakukan terobosan pada hal proses dari pasir silika hingga ke wafer silikon. Mengingat memang secara otomatisasi masih berperan pada proses selanjutnya hingga menuju ke sel surya jadi.

Diharapkan nantinya akan ditemukan solusi ke depannya sehingga bisa muncul teknologi pengganti yang lebih hemat energi dan biaya. Pada proses awalnya bisa dilakukan dengan elektromagnet sederhana merupakan solusi yang baik mengingat memang proses ini hemat biaya dan energi serta efisien.

Pun dari hasil perhitungan energi dan ekonomis memang perlu dilakukan langkah nyata demi melakukan improvisasi yang lebih mendasar sehingga harga panel surya bisa lebih terjangkau dan efisien.

Karena salah satu faktor yang mempengaruhi faktor perkembangan teknologi di Indonesia adalah daya beli masyarakat Indonesia masih rendah. Sehingga ada banyak faktor hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam industri ini.

Kurang memasyarakatnya teknologi juga akan berimbas pada ketidakberhasilan program. Sehingga langkah pemasyarakatan suatu teknologi juga perlu mengimbangi perkembangan teknologi ini. Jadi bukan hanya pada hal efisiensi energi saja, namun juga efisiensi percepatan keberhasilan teknologi tersebut.

Lebih jauh lagi, bisa dilakukan pula dari pemerintah sebagai langkah inisiasi yang lebih nyata bagi industri dalam negeri. Sehingga ketika keadaan sudah mapan, maka akan bisa dilakukan langkah lain kebijakan yang lebih relevan dengan keadaan masyarakat.

Tujuan yang lebih meluas dari efisiensi energi adalah pada titik global dan mendunia. Sehingga ketika dari satu titik sudah menunjukkan keberhasilan, maka akan ada titik lain yang akan bisa belajar dari hal tersebut. Sehingga efek keberhasilan penghematan energi akan bisa dirasakan dampaknya tak hanya di Indonesia. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun