Mohon tunggu...
Khumaira Siti
Khumaira Siti Mohon Tunggu... -

student at university

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wajah Surabaya Tiga Belas Tahun Lalu

22 Juli 2013   18:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:12 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surabaya merupakan kota yang memiliki fasilitas yang lengkap dan nyaman. Tertatanya kota, banyaknya arena public sphere, menjadikan Surabaya menjadi kota metropolis yang sangat nyaman untuk disinggahi. Akan tetapi kondisi tersebut dapat dilihat pada realitas hari ini dimana sebelumnya sudah ada penggalakan pembanguan dan perbaikan dalam semua lini. Perbaikan tersebut terjadi pada masa Surabaya dipimpin oleh Bambang DH.

Sebelum periode tersebut, keadaan Surabaya sangat kontras dengan kondisi saat ini. Surabaya sangat tidak memadai sebagai kota yang tingkat penduduknya berkembang dengan pesat. Surabaya pada waktu itu benar-benar tidak memiliki tempat publik yang memadai yang membuat warganya sukarela untuk keluar menikmati suasana kota bersama keluarga. Inilah yang menurut seorang planolog lulusan Universitas of California, Ridwan Kamil, ada penataan kota yang salah. “Sekali lagi saya tekankan bila warganya enggan untuk keluar rumah untuk berpelesir, maka jelas ada yang salah dalam penataan ruang di kota tersebut” ucap Ridawan Kamil.

Kelemahan Surabaya dalam infrastruktur terlihat dari adanya disparitas pembangunan antar wilayah di Surabaya. Dapat dilihat bagaimana adanya kesenjangan antara wilayah Surabaya Barat dan Surabaya Utara. Surabaya Barat yang infrastrukturnya sudah tertata dan bagus sementara Surabaya Utara terkesan kumuh dan tertinggal. Tidak hanya itu, perhatian terhadap sungai sebagai water front diabaikan, akibatnya banyaknya bangunan-bangunan liar muncul di Surabaya sehingga fungsi dari sungaipun berubah menjadi tempat pembuangan sampah dan MCK. Tidak heran kemudian pemkot menjadi “malas” untuk merawat sungai sehingga terjadi pencemaran secara besar-besaran.

Begitu juga dalam segi pelayanan publik. Tercatat sebelum tahun 2002, Surabaya menjadi salah satu kota terbesar Indonesia yang selalu mendapat rapor merah. Banyak hal yang amburadul. Sampai saat Bambang DH diangkat menjadi wali kota pada 2002, Surabaya belum mempunyai rencana strategis daerah (restranda). Tanpa restranda, ibaratnya kota berlayar tanpa kompas. Maka tidak mengherankan bila pelayanan publik tidak karuan. Warga berurusan dengan pemkot lebih karena terpaksa, bukan karena kesadaran. Mereka harus punya KTP, harus mengurus akta kelahiran, harus mengurus Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Yang terjadi adalah masyarakat butuh pemkot dan pemkot melayani dengan seenaknya. Persoalan yang sering terdengar adalah pengurusan KTP yang berbulan-bulan tidak jadi, sulitnya ngurus KTP di atas jam 12 siang (karena pegawai kecamatan sudah pulang semua), dan harga biaya yang tidak jelas.

Tidak hanya itu, hal yang berkaitan dengan fiskal-pun terkesan amburadul. Total PAD Surabaya pada awal kepemimpinan Bambang DH, sekitar tahun 2003 hanyalah 962 miliar. Dari jumlah itu, yang berasal dari pajak daerah adalah 348 miliar. Ini jumlah yang sangat minim mengingat ada lebih dari 1.000 restoran dan kafe di Surabaya, 38 hotel berbintang dan juga ada lebih dari 30 ribu titik reklame. Bila dihitung setidaknya pemasukan dari pajak berkisar di atas 500 miliar. Kekurangan pemasukan ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintahan sebelumnya. Ada dua hal yang menjadi penyebabnya, pertama adalah buruknya penataan di dalam yang membuat banyak terjadi kebocoran. Dan yang kedua adalah kurangnya komunikasi dengan wajib pajak.

Masalah-masalah tersebut lambat laun dapat teratasi tepatnya dimuulai dari tahun 2002 yang merupakan masa awal Bambang DH menjadi wali kota Surabaya. Sehingga mulai dari awal periode tersebut banyak infrastruktur yang mendukung sebagai tempat rekreasi keluarga di dalam kota, masalah banjir bisa teratasi meskipun tidak secara total, adanya efisiensi fiscal dan terobosan-terobosan lain. Sehingga  Surabaya di “sulap” menjadi kota yang aman dan indah dengan jargonnya green and clean.

Sumber: Bambang DH; Mengubah Surabaya oleh Ridho Saiful Ashadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun