Ketegaran Aliyah, seorang warga RT 04 RW 01 desa Pesantunan Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes Jawa Tengah, patut kita apresiasi. Diantara ratusan bahkan ribuan "jiwa-jiwa miskin yang meronta-ronta" berharap agar menjadi bagian dari peserta Program Keluarga Harapan (PKH), tapi ia justru mantap untuk mundur dari PKH.
Kondisi rumahnya biasa saja, bahkan terkesan berantakan, seperti kapal pecah, karena dipenuhi dengan aneka rongsok dan perabot yang berserakan. Aliyah banting tulang tiap hari mencari dan menjual rongsok dari sana ke sini, dari suatu tempat ke tempat lainnya bersama suami.
Suaminya hanya membantu Aliyah untuk mengambil dan mengantarkan beragam rongsoknya. Semua ide, kendali dan pemasaran justru ada di kemudi seorang Aliyah. Tetangganya sudah menyaksikan betul, jungkir balik banting tulangnya dalam menggeluti dunia rongsok. Bahkan saat hamil ia pun begitu gigih menarik gerobak rongsok dengan anaknya, waktu itu.
Kini kegiatan rongsoknya mulai melebar. Tak hanya mencari, jual beli barang rongsokan saja, namun melebar juga pada jual beli kantong plastik, kertas bekas, bahkan sampai jual beli nasi aking pun ia geluti, demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah.
Meski sudah mendapatkan bansos PKH, kehidupan Aliyah sebenarnya masih jauh dari kata kaya. Namun, hati kecilnya sungguh telah terbuka. Bahkan menyadarkan kita semua, bahwa betapa dahsyatnya hidayah Allah SWT, yang telah menggerakkan hati Aliyah untuk mantap mengundurkan diri dari kepesertaan PKH penuh sadar tanpa paksaan. Apalagi, kepesertaannya di PKH sudah cukup lama, sepuluh tahun lebih.
Kesadarannya itu makin mantap saat pendamping PKH nya, Imam Chumedi, datang berkunjung dan melakukan Assesment secara langsung pada diri dan keluarganya. Beberapa kali sang pendamping mengedukasi dan memotivasi kesadaran Aliyah, bahwa sejatinya PKH itu diperuntukkan untuk keluarga miskin atau sangat miskin.
Imam Chumedi menegaskan bahwa sejatinya kaya-miskinnya seseorang bukan dipandang dari fisik rumah atau aset yang dimilikinya, tetapi sungguh ada pada kebesaran hatinya. Sering kali, ada banyak kita jumpai di lapangan, orang yang rumahnya bagus justru berharap mendapatkan segala jenis bansos apapun, tanpa menghiraukan diri dan kehormatannya, sekalipun harus dicap atau menyandang predikat keluarga sangat miskin.
Sebaliknya, ada pula orang yang secara fisik rumah maupun penghasilan ekonomi tidak terlalu besar, tetapi mempunyai jiwa besar dan tegar, merasa sudah tak pantas lagi mendapatkan bansos seperti PKH. Meskipun hal ini tergolong jarang, bahkan bisa terbilang seribu banding satu.