Menulis sebuah tulisan itu butuh konsentrasi, yakni konsentrasi guna memadukan sebuah ide, menyampaikannya penuh naluri, mengemasnya penuh dengan rasa dan untuk menuangkannya secara baik dan benar butuh kebiasaan dan kepiawaian. Menulis bukan sekedar merangkai kata-kata, memenuhi halaman dengan beragam diksi.Â
Tetapi sejatinya menulis itu mengerahkan naluri yang ada, sehingga akan nampak dan begitu terasa, manakah sejatinya tulisan yang bernyawa dengan tulisan yang hanya tumpukan kosa kata saja.Â
Tulisan yang bernyawa bahkan bisa menggiring, menyanyat-nyayat perasaan sang pembaca. Bahkan tulisan dengan naluri tingkat tinggi bisa mengguncang suasana, situasi dan kondisi sekalipun.Â
Penulis yang mahir selalu saja ditemukan pada karya tulisnya sesuatu yang menarik, sesuatu yang berkarakter dan unik. Meski mengulas satu hal yang sama, namun ada pembeda antara tulisan yang satu dengan tulisan lainnya.Â
Bisa dari rangkaian diksi yang digunakan, atau dari sudut pandang penulisnya. Layaknya sebuah pemandangan yang bisa dibidik keindahan dan ketertarikannya dari berbagai angel. Bisa juga keunikan dan ciri khas sang penulis dari sisi naluri pribadi masing-masing penulis.
Naluri menulis inilah yang sering kita rasakan berbeda-beda antara penulis yang satu dengan yang lainnya. Ada kalanya penulis dengan naluri melankolis, tulisannya laksana mendayu-dayu, berirama.Â
Ada pula penulis dengan naluri lugas, tegas. Semua itu menjadi ciri khas tersendiri bagi para penulisnya. Dan untuk mendapatkan ciri khas itu, sungguh dibutuhkan proses menulis yang panjang dan berkesinambungan.Â
Maka, menulis dan teruslah untuk menulis. Karena tulisanmu sesungguhnya adalah bentuk asahan dari nalurimu!.Â
Imam Chumedi, KBC-28Â