Masuknya Islam di bumi Nusantara yang dibawa oleh para wali dan ulama terdahulu memunculkan kreatifitas dakwah yang humanis. Bahkan menyesuaikan dengan konteks masyarakat pada zaman itu. Pesan-pesan dakwah Islam tidak serta Merta disampaikan dalam bentuk ayat-ayat suci Al-Quran dan hadits yang tekstual, melainkan dengan simbol-simbol alam, benda, budaya sekitar yang bernafaskan Qur'ani.
Dengan simbol-simbol itulah, pesan dakwah perlahan mulai mendapatkan tempat, mendapatkan perhatian umat waktu itu. Baru ketika sudah bisa diterima masyarakat, perlahan pesan-pesan tekstual kitab suci pun disampaikan oleh para wali.Â
Salah satu pesan dakwah yang disampaikan para wali, diantaranya melalui simbol-simbol yang tertuang dalam aneka sesaji. Aneka sesaji memunculkan beberapa makanan dan piranti lain, yang jika dikaji secara mendalam, sungguh syarat makna dan pelajaran.Â
Diantaranya, yakni simbol kupat-lepet. Makanan ini selain lazim kita dapati pada momen lebaran, ada juga saat sesaji keperluan tertentu, seperti pada sesaji memperingati haul kematian, sesaji mitoni (tujuh bulan), kelahiran, atau pun sesaji untuk beragam acara slametan. Kupat berasal dari kata "ngaku ing lepat" yang berarti mengakui segala bentuk kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak. Kupat merupakan simbol pengakuan salah seorang manusia, yang pada hakekatnya adalah tempatnya salah dan lupa.Â
Begitu juga makanan lepet yang sejatinya singkatan dari kata "Yen lepat aja diampet" yang berarti ketika kita mempunyai salah, terutama kepada sesama manusia, jangslah dipendam, jangan ditunda-tunda untuk meminta maaf. Bahkan inti sari Qur'an Surat Ali Imran: 33 menyiratkan agar kita untuk bersegera memohon ampunan pada Allah, termasuk saling memaafkan satu sama lain.Â
Para ulama dahulu sadar betul, guna menyederhanakan pesan dakwah dibuatlah simbol-simbol yang mudah diingat umat, seperti dengan kupat dan lepet. Keduanya dibuat dari beras atau ketan, dibungkus dengan daun kelapa (Jawa: Janur). Janur sesungguhnya adopsi dari bahasa Arab yang terdiri dari dua suku kata. Yaitu Ja'a dan Nur, yang berarti telah datang sebuah cahaya.Â
Dengan Janur diharapkan akan muncul cahaya baru, yakni cahaya kebaikan bagi pembuat atau penikmatnya. Kupat-lepat yang sudah matang ketika dibelah, tampak putih mengisyaratkan fitrah manusia yang sesungguhnya.Â
Daun sirih selalu ada, sebagai simbol bahwa manusia hendaknya ketika masih hidup seperti daun sirih yang selalu banyak manfaat untuk sesama. Dan hal ini juga tertuang dalam sebuah hadits nabi yang berbunyi bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang banyak memberikan manfaat kepada sesama manusia.Â
Dalam sesaji juga biasanya tersaji tiga buah gelas atau cangkir yang berisikan tiga macam air yang berbeda wujud dan rasanya. Biasanya ada air putih tawar, air teh manis dan air kopi. Konon tiga macam air adalah simbol lika-liku kehidupan di dunia. Adakalanya seseorang merasakan manisnya, ada kalanya hidup terasa pahit bak kopi, ada pula hidup biasa-biasa saja bak air tawar.Â
Inilah sejatinya pesan dakwah yang tersaji dalam beberapa simbol-simbol sesaji. Selama hal itu baik dan tak menimbulkan kemusyrikan, kenapa tidak kita lestarikan? Minimal dilihat dari sisi kacamata budaya. Syukur dapat diuraikan satu persatu maksud dan tujuan yang terkandung pada simbol-simbol tersebut. Sehingga wawasan masyarakat pun akan terbuka luas. Tidak sempit, apalagi melarang dan mengharamkannya tanpa tahu betul asal-usul, hikmah dan tujuan yang sesungguhnya.
Imam Chumedi, KBC-28
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H