"Cacian, makian adalah sebuah tantangan dan motivasi agar kita tetap tegar dan terus maju berinovasi". Itulah prinsip yang tertanam dalam hati seorang Lukman dan Darojatun, mengawali rintisan usahanya berjualan Bakso. Sepasang suami istri ini terbilang cukup tegar dalam menghadapi berbagai celaan, hinaan dan makian. Sampai akhirnya, mereka pun lulus dan merasakan manisnya kelancaran usaha dengan nama Bakso Mbak Nok yang kini cukup dikenal di daerah Rancawuluh, Bulakamba Brebes.
Tidak ada yang instant, semua harus melalui proses. Begitulah gambaran usaha Bakso Mbak Nok. Darojatun bersama suami tercintanya, M. Lukman bekerja keras melakoni perjalanan dagang Baksonya. Hingga kini mereka telah memiliki dua pangkalan yang cukup strategis dan ramai, yakni di Rancawuluh dan di desa Tegalgandu. Bahkan dalam waktu dekat Darojatun dan suaminya berencana ingin membuka satu pangkalan bakso lagi, di desa Cipelem.
Dengan kondisinya yang kini cukup sejahtera, memiliki 2 pangkalan bakso dan 3 karyawan, Darojatun pun dengan sukarela mengundurkan diri dari penerima PKH. Darojatun menyadari bahwa dirinya sudah tak layak lagi menyandang predikat keluarga miskin, penerima bansos tersebut. Bahkan, Darojatun dan suaminya Lukman, tergolong cukup sukses, sehingga ia harus mundur dengan predikat graduasi mandiri PKH. Tak main-main, omset usaha jualan baksonya kini bisa tembus 2 juta perhari, atau rata-rata 40 juta ke atas, tiap bulannya. Woww, fantastis!.
 Tapi, perjalanan karir Baksosnya yang kini sangat sukses itu ternyata diraih dengan penuh ketegaran dan kerja keras. Berawal dari pengalamannya sebagai karyawan Bakso, Lukman dan Darojatun memutuskan, di tahun 2014 merintis usaha jualan bakso sendiri. Awalnya, hanya kecil-kecilan. Lukman tiap hari menjajakan baksonya, berkeliling dari gang satu ke gang yang lain, dari satu desa ke desa lain dengan sepeda motor. Seribu, dua ribu rupiah ia kais penuh optimis. Sedang istrinya, Darojatun tak hanya diam diri di rumah. Ia pun menggelar meja kecil, menjajakan bakso di depan rumahnya
Di awal usahanya, beragam cobaan dan cacian ternyata banyak menghampiri mereka. Ada yang dengan terus terang melontarkan kalimat pedas pada Darojatun: "Bakso apa donge kiye... ora enak!?" (Bakso apaan nih, nggak enak!). Maklum saja, usaha jualan Bakso di daerahnya begitu banyak. Sedangkan waktu itu Darojatun dan Lukman hanya menjual bakso yang terbilang standar, baksonya kecil-kecil, harganya pun murah-meriah, sehingga terkesan bakso murahan.
Berkali-kali ia merasakan kembali baksonya, sambil berangan-angan untuk bisa menciptakan bakso yang lebih enak lagi dan disukai banyak orang. Lukman pun berinovasi, secara otodidak ia meramu bahan-bahan baksonya dengan rasa dan tampilan baru. Sesekali ia survei ke kios-kios bakso ternama, membandingkan antara bakso yang satu dengan bakso lainnya.
Akhirnya, dengan insting pengalamannya dahulu bergelut dengan bakso, ia pun menciptakan rasa dan varian bakso yang kini cukup digemari para pelanggannya; Ada bakso biasa, bakso urat, bakso telur, bakso mercon dan bakso beranak.Â
Harganya pun beragam. Untuk bakso biasa hanya 6000 rupiah, bakso urat atau bakso telur 10000 dan bakso mercon atau bakso beranak seharga 13000. Darojatun tahu betul, konsumennya adalah orang-orang kampung. Maka ia dengan suaminya sengaja menyajikan varian bakso yang enak, banyak, tetapi tetap murah, bisa dijangkau semua kalangan.
Ketika ditemui di pondoknya, saya sempat bertanya-tanya pada Lukman. Kenapa pondok baksonya dinamakan MBAK NOK, siapakah Mbak Nok itu? Dengan gamblang Lukman menguraikan asal muasal penamaan pondok baksonya dengan nama Mbak Nok. "Begini mas, Nok itu adalah panggilan istri saya, di daerah sini.Â
Dahulu sempat kepikiran mau dinamai dengan nama panggilan anak, tetapi kasihan. Akhirnya saya tetapkan dengan nama MBAK NOK. Karena sebutan Mbak atau Nok itu adalah sebutan yang familiar untuk semua kalangan. Remaja putri, Ibu-Ibu juga bisa dipanggil dengan sebuatan Mbak atau Nok," urai Lukman.
Justru, tak pernah diduga oleh saya sebelumnya. Ternyata di keramaian baksonya, Darojatun maupun Lukman masih saja mau melayani pembeli yang hanya membeli seadanya, tanpa harus seharga seporsi bakso."Kadang masih ada ibu-ibu yang beli cuma 3000 atau 4000 saja, untuk lauk nyuapi anaknya. Segitu, tetap kami layani. Karena mungkin itu adalah rizki saya. Dan rizki itu tak boleh ditolak, berapa pun besarannya."
Selain ketegaran dan kesabarannya dalam berdagang, Darojatun dan Lukman  ternyata pandai menerapkan sistem marketing baksonya. Baginya, ambil sedikit tak apa, yang penting, laris manis penjualan bisa laku banyak.Â
Sering kali Lukman juga memberikan bonus untuk pembelian atau pemesanan dengan jumlah yang banyak. Bahkan Lukman sedikit membandingkan dengan bakso lainnya sebagai salah satu nilai plus baksonya. Selain ia memberikan sentuhan tetelan di dalam baksonya, di luar bakso, sering juga ia menambahkan tetelan daging lagi. Pastinya, pelanggan akan senang.
Ada yang sengaja datang dengan motornya, ada pula yang datang dengan roda empat. Dan mereka datang tidak hanya dari desa itu saja, luar desa pun banyak yang berdatangan. "Baksonya enak, mantap" ungkap Kobar, salah seorang pelanggan asal desa tetangga, Bulusari yang sedang lahap menikmati bakso Mbak Nok.
Kesuksesan Darojatun sekarang ini adalah bagian dari ketegaran dan ketekunannya yang sudah dibangun selama enam tahun ini. Jika diingat cobaan dan makian dahulu, sungguh sangat menyesakkan hati. Ketika mulai merangkak berjualan bakso di pondok atau tak lagi berkeliling pun masih ada suara sumbang yang terdengar. Entah itu hanya gertakan atau mungkin upaya penggembosan saja dari orang-yang yang tak menyukainya." Kamu, jualan disini, nggak bakalan ramai".
Lukman dan Darojatun termasuk orag yang ulet dalam menekuni usahanya. Beragam cobaan dalam usaha ia lakoni dengan sabar dan penuh ketegaran. Pernah suatu saat  Lukman berkeliling menjajakan baksonya ke sebuah desa. Tanpa disangka yang datang untuk membeli baksonya adalah seorang lelaki yang sedang mabok. Tanpa basa-basi, lelaki tersebut membeli bakso Lukman hanya dengan uang 10000 namun meminta banyak baksonya, lebih dari umumnya. Lukman tak berdaya, tak mau ribut. Diberikannya bakso yang banyak, meski ia hanya menerima uang 10000 rupiah saja.
Kisah tragis lainya pernah dialaminya. Hampir saja di pagi buta saat dirinya berangkat menuju penggilingan daging untuk baksonya, ditengah jalan ia hampir dibegal oleh dua orang tak dikenal. Untungnya, Lukman yang dulu pernah menjadi satpam sudah menyiapkan diri. Sebelum begal itu menyerangnya, Lukman lebih dahulu menghampiri dengan sigap mengeluarkan senjata tajam yang sudah disiapkannya. Walhasil, begal itu justru kabur, terbirit-birit.
Dari hasil usahanya, Darojatun dan Lukman berusaha menabung guna membangun rumah. Beberapa material bangunan tampak sudah tersedia. "Insya Allah dalam waktu dekat ini, kami akan membangun rumah" pungkas Lukman.
Imam Chumedi, KBC-28
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H