Mohon tunggu...
khumaediimam
khumaediimam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Teruslah menebar kebaikan, karena kebaikan yang mana yang diridhai, tiada kita tahu

Menulis Atau Mati.....

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tia Sprei, Usaha Modal Nekad dan Otodidak

27 Agustus 2020   08:29 Diperbarui: 27 Agustus 2020   08:35 1159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang kerja Bastiatun dengan suaminya yang cukup sederhan. Dokpri

Tak selamanya usaha itu berawal dari sebuah bakat, hobi atau latar belakang pendidikan seseorang. Asal ada kemauan, usaha apa pun bisa dimulai dari nol, bahkan dari sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Begitulah gambaran usaha produksi TIA SPREI yang kini mulai digandrungi banyak orang, khususnya di daerah Brebes.

Jika anda berkunjung ke tempat produksinya, di RT 04 RW 08 Gang Buntu Saditan Brebes, sungguh tak menampakkan sebuah rumah produksi sprei besar. Akses menuju rumah tersebut terbilang buntu, masuk ke sebuah gang kecil. 

Tampak sebuah rumah kecil nan sederhana dengan berbagai lembaran motif kain sprei. Ternyata dari rumah sederhana inilah lahir seorang wirausaha yang kini sukses dengan brand spreinya. Ya, TIA SPREI "Homemade, Sprei Keluarga".

Dari tangan dan kepiawaian seorang Bastiatun, perempuan hebat berusia 43 tahun inilah muncul beraneka produk sprei yang tak kalah saing dengan produksi pabrik. Karyanya sudah banyak diakui oleh para pelanggan setianya, mulai dari kalangan pejabat, anggota dewan, perkantoran, rumah sakit, grosir toko kasur sampai pada ibu-ibu rumah tangga. 

Spreinya  tak hanya beredar di pasaran lokal saja, tetapi merambah ke berbagai kota-kota besar seperti: Purwokerto, Jakarta, Batam dan Kalimantan, bahkan pernah sampai ke Hongkong.

Ruang kerja Bastiatun dengan suaminya yang cukup sederhan. Dokpri
Ruang kerja Bastiatun dengan suaminya yang cukup sederhan. Dokpri
Bastiatun, perempuan penggagas produksi TIA SPREI ini, sungguh tak menyangka, hasil usaha kerasnya kini banyak diminati dan digandrungi pasar. Ia berdikari mandiri, mundur dari penerima bansos Program Keluarga Harapan (PKH) pada awal tahun 2020. 

Padahal beberapa tahun yang lalu, ia adalah bagian dari Keluarga Penerima Manfaat (KPM) PKH, tepatnya di tahun 2016. Waktu itu ia belum menggeluti usaha Sprei seperti sekarang. 

Ia hanya seorang ibu rumah tangga yang bergantung pada penghasilan suaminya sebagai seorang security. Berkat kemauan dan semangatnya serta motivasi pendamping PKH Brebes, Murni Asih, Bastiatun bergerak menggagas usaha baru.

Uniknya keinginan untuk memulai usaha produksi sprei justru berawal dari iseng, coba-coba dengan suaminya. Latar belakang menjahit pun ternyata tak dimiliki Bastiatun dan suaminya. 

Namun, Ibu dari suaminya dahulu adalah seorang penjahit. Bastiatun dan suaminya tiba-tiba tergerak ingin belajar menjahit. Tanpa berproses lama, Bastiatun dan suaminya pun dalam waktu seminggu mulai bisa menjahit. Hari demi hari, pelajaran menjahit ditekuninya. Beberapa jahitan dicobanya.

Puncaknya, setelah mendapatkan uang pencairan PKH melalui rekening di ATM-nya pada Agustus 2018, Bastiatun mengajak suaminya, iseng jalan-jalan menuju Pasar Pagi di kota Tegal. Ia berkeinginan membeli bahan sprei dan berusaha membuatnya sendiri. Suaminya mendukung penuh niat dan keinginan Bastiatun. 

Dibelinya beberapa kain dari uang PKHnya, 300 ribu rupiah. Tanpa basic, tanpa ragu, Bastiatun dengan suaminya belajar otodidak membuat sprei dari Youtube dan internet saja. "Tak ada guru, tak ada pemberi modal. Kami nekad dan otodidak saja". Ujar Wiryono, suami Bastiatun.

Beberapa orderan sprei yang sudah siap antar. Foto Bastiatun. (Dokpri)
Beberapa orderan sprei yang sudah siap antar. Foto Bastiatun. (Dokpri)
Walhasil, sprei karya pertamanya pun jadi, namun seadanya. Pengetahun Bastiatun akan jenis kain dan motif saat itu masih minim, dalam benaknya hanya ingin segera membuat seprei dengan tangannya sendiri. Meski dengan hasil sprei yang sangat sederhana, Bastiatun sudah bangga bisa otodidak membuat sprei. 

Iseng-iseng ia upload di status WhatsApp dan Facebook. Ternyata mampu menarik simpati banyak teman untuk membelinya. Karena awal usaha, Bastiatun kurang perhitungan dan kurang pengetahuan. Spreinya laku terjual, tetapi ia masih rugi.

Dari pengalaman pertamanya lah, akhirnya ia semakin belajar banyak. Bastiatun menelaah bahwa dalam usaha itu tak cukup hanya bisa memproduksi saja, tetapi harus teliti dan pandai menghitung operasional, sehingga takkan menjumpai kerugian. 

Perlahan tapi pasti, sembari menekuni jahitannya melaui otodidak di media sosial, Bastiatun mulai berfikir mencari aneka bahan yang murah dan beragam motif yang menarik. Ia seorang yang cerdas. Baginya, semakin banyak motif sprei yang menarik, maka peluang dan minat pembeli akan semakin banyak.

Dipilihlah, Pasar Tegal Gubuk Cirebon sebagai lokasi belanja bahan-bahan spreinya. Lagi-lagi, karena awalan. Bastiatun kurang perhitungan. Diawal belanjanya ia menyewa mobil dengan temannya untuk berbelanja. 

Ternyata, setelah dipertimbangkan kembali, belanja dengan menggunakan mobil justru mengeluarkan banyak ongkos. Untuk ongkos supir, mobil, bensin, belum lagi kalau mampir makan. Waktunya pun bisa sampai sore, apalagi kalau mampir kesana-kesini. 

Dari situlah, Bastiatun berfikir realistis. Demi efisiensinya ongkos dan waktu, akhirnya ia putuskan setiap belanja ke Tegal Gubuk Cirebon, cukup dengan mengendarai motor, berdua dengan suaminya. Ternyata lebih irit, lebih cepat. Tak banyak ongkos dan waktu yang terbuang.

Aneka bahan dan motif Sprei. Tia Sprei.(Dokpri)
Aneka bahan dan motif Sprei. Tia Sprei.(Dokpri)
Diceritakan olehnya, bahwa usaha produksi spreinya itu baru berumur sekitar 2 tahunan. Tepatnya pada 28 Agustus 2018, Bastiatun mengawali usahanya bersama suami tercinta Wiryono Hadi Sasmito. Kerjasama apik pasangan suami istri inilah yang akhirnya menghasilkan beragam sprei menarik. 

Mereka saat itu berbagi tugas, Bastiatun sang istri bertugas memotongi bahan, sedang suami yang menjahitnya. Tak disangka, dalam kurun lima bulan berjalan, pesanan pun berdatangan. Sampai akhirnya Bastiatun kewalahan menerima orderan.

Dengan semakin banyaknya orderan, Bastiatun dan suaminya yang juga bekerja sebagai security sebuah kantor, akhirnya memutuskan untuk berbagi dengan orang lain. Tenaganya tak mampu mengerjakan segudang orderan. 

Bastiatun pun mempekerjakan orderannya dengan 3 orang karyawan. Mereka  berasal dari Gandasuli, Pasar batang dan Klampok. Suatu kebahagiaan baginya ketika bisa berbagi rezeki dengan orang lain, apalagi salah satu karyawannya adalah seorang janda yang masih memiliki anak sekolah.

Dokpri
Dokpri
Bastiatun sangat care dan  komunikatif dengan para karyawannya. Bahkan ia memposisikan para karyawannya layaknya mitra kerja dekat. Dengan bantuan karyawannya, Bastiatun merasa sangat terbantu. Usahanya pun kian berkembang. Kini tak hanya sprei saja, produk lain yang juga digarapnya yakni korden, daster, masker.

 Adanya pandemi corona ternyata membawa hikmah baginya. Ribuan orderan masker pun diproduksinya dengan berbagai macam masker. Bahkan ketiga karyawannya bisa mendapat upah masing-masing sampai 1,2 juta rupiah.

Tia Sprei kini mulai banyak dikenal orang. Selain banyak motifnya, bahannya pun bagus, tak kalah dengan sprei produksi pabrik atau produksi lainnya. Nilai plus lain yang bisa didapat dari Tia Sprei, yakni pembeli bisa memilih motif serta ukuran sesuai selera. Harganya pun bersaing. Apalagi bagi reseller atau bagi pemesanan dengan jumlah banyak, sudah tentu ada diskon atau bonusnya.

Bastiatun tak hanya piawai memproduksi sprei, ia juga bergerak memasarkan produknya melaui beragam cara, salah satunya yaitu melaui komunitas-komunitas yang ia ikuti. Pergaulannya yang luas membuat orderan semakin banjir tak terbendung. 

Sudah beberapa kali bazar dan beragam event ia ikuti, termasuk di Taman Mini Indonesia Indah. Produknya mulai dilirik banyak kalangan. Belum lagi selancarnya di media sosial. Lebih dari 30 group WhatsApp ia ikuti. Dan ia mengakui hal itu sangat membantu dalam pemasaran produk-produknya.

Beberapa prinsip usahanya sangat sederhana, Pertama; Nekad dan Otodidak. Prinsip utama ini yang menghantarkan dirinya pada kesuksesan sekarang ini. Berawal tanpa latar belakang dunia penjahitan, justru ia bisa mengikuti bahkan berlari kencang, bersaing dengan produk sejenis lainnya. Omsetnya kini bisa mencapai 20-25 juta perbulan, dengan keuntungan bersih 3-5 juta perbulannya.

Kedua, Olih setitik sing penting akeh (biar untung sedikit, yang penting laku banyak). Bastiatun menerapkan prinsip ini pada produknya. Ia tak memasang harga tinggi. Produknya dijual dengan harga yang bersaing. Secara jujur dia hanya mengambil keuntungan tipis dari setiap pcs nya. Bahkan ia pun sangat fair dengan para karyawannya atas bagi hasil produknya.

Ketiga, produk harus menarik dan unik. Ia dengan karyawannya selalu berusaha mengimbangi trend atau pasar. Beragam seprei dengan motif cerah nan beragam pun ia buat. Seperti motif Starmoon yang kini banyak dicari. Tak luput bahan embos pun ia garap sebagai alternatif selera kelas menengah ke atas. 

Bastiatun berprinsip bagaiman caranya membuat suatu produk yang bisa menarik pembeli untuk tertarik lebih dahulu. Dengan ketertarikan itulah sang pembeli akan mencoba produk kita, setelah mencobanya berlanjut pada kecocokan, dan akhirnya akan memesan lagi di suatu hari.

Beberapa pelanggan ada yang datang langsung ke rumah untuk memesan produk Tia Sprei. (Dokpri)
Beberapa pelanggan ada yang datang langsung ke rumah untuk memesan produk Tia Sprei. (Dokpri)
Keempat, Pentingnya jaringan. Bastiatun mengakui betapa pentingnya peran jaringan atau relasi dalam pemasaran produk-produknya. Ditambah lagi, Bastiatun adalah sosok yang komunikatif dan menyenangkan. Dengan setiap orang yang baru ia kenal, ia mampu beradaptasi dengan begitu ramahnya. 

Pergaulannya pun lintas komunitas. Beberapa pelanggan setianya berawal dari teman-temannya baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Kekuatan media sosial ia manfaatkan untuk mempromosikan aneka produknya.

Meski Bastiatun sudah bisa dikatakan sukses, namun dirinya tetap merendah. Ia menyadari, masih banyak yang perlu dibenahi dari produknya, terutama dalam hal pengemasan atau packing. Ia menyadari betul, dalam hal packing masih harus ditingkatkan. Maklum, tak hanya memproduksi, perihal packing pun ia pelajari secara otodidak bersama suaminya.

Bahan- bahan untuk packing pun dibelinya ngecer, termasuk dengan membeli beberapa kardus sebagai alas packing sprei. Awal packing masih dilakukan sesederhana mungkin, hanya dengan plastik baju. Namun perlahan ia sudah mulai mengimbangi dengan packing ala produk pabrik atau pertokoan. Kini ia terus memikirkan agar dapat memperhalus dan mempercantik packing produk rumahannya.

Imam Chumedi, KBC-28.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun