Mohon tunggu...
khumaediimam
khumaediimam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Teruslah menebar kebaikan, karena kebaikan yang mana yang diridhai, tiada kita tahu

Menulis Atau Mati.....

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Fenomena Borong Makanan, Rakus dan Tak Tahu Diri

2 Mei 2020   22:59 Diperbarui: 2 Mei 2020   23:29 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu manfaat puasa yakni mengajarkan kita semua untuk dapat mengekang diri dari segala hawa nafsu serta dari segala hal yang dapat membatlkannya, sedari Subuh hingga Maghrib tiba. Tentu upaya mengekang hawa nafsu bukanlah perkara yang mudah, termasuk mengekang diri dari nafsu untuk memborong berbagai jenis makanan. Tapi mungkin sudah kodratnya manusia sebagai mahluk yang rakus, di kala sedang berpuasa pun benih-benih kerakusan itu masih ada dalam pribadi kita.

Sedari pagi, kita sudah tak sadar mengumpulkan berbagai jenis makanan, dengan harapan akan dapat dilahap sore nanti, saat berbuka puasa. Mulai dari pagi memborong sayur-mayur, lauk-pauk hingga buah-buahan, semua disimpan seolah kita akan dapat melahap semuanya. Aksi kalap borong makanan tak berhenti pada jenis makanan itu. Sore hari sembari ngabuburit, kita masih saja tergiur dengan sifat kerakusan kita untuk memborong makanan makanan takjil dan aneka minuman kesukaan kita.

Sungguh, kita tak sadar berapa uang yang telah kita keluarkan untuk memborong beragam makanan. Kita tak sadar, dengan seberapa besar perut kita bisa menampung aneka makan itu. Tiba waktunya jelang maghrib. Meja makan kita sudah tersedia makanan pokok lengkap dengan sayur dan buah-buahannnya. Ditambah aneka jajanan pasar serta  minuman yang bervarian, mulai dari es campur, sop buah dan segelas es teh atau syrup. 

Rakus

Kita seolah kalap dan khilaf dengan hakekat puasa yang sebenarnya bertujuan mulia, yaitu mengekang diri dari sifat-sifat ketamakan dan kerakusan. Fenomena borong makanan mengisyaratkan bahwa manusia betul-betul mahluk yang rakus dalam kesehariannya. Orang Jawa mengatakan: "Wal-wal keduwal, ora aspal, ora bantal, ora kadal, kabeh-kabeh yo diuntal", yang artinya manusia itu mau, doyan semua makanan apapun, bahkan mendapatkannnya kadang dengan berbagai cara apaun. Maka tak heran dalam ilmu biologi, manusia disebut makhluk omnivora, yang berarti makhluk pemakan segala. Baik tumbuhan maupun dari jenis hewan, semua dilahap oleh manusia.

Beberapa ayam sedang mengais makanan. (steemit.com)
Beberapa ayam sedang mengais makanan. (steemit.com)
Beda dengan hewan yang selalu konsisten dalam makanannya. Sebagai contoh, seekor ayam hanya mau makan nasi atau bekatul saja. Ketika disodori dedaunan, ayam pun tak mau makan. Tetapi buat manusia, beda. Bekatul ya dimakan, nasi ya dimakan bahkan ayam sampai ceker dan jeroannya pun dimakan habis semuanya.

Begitu juga dengan hewan seperti kambing, ia konsisten hanya makan dedaunan, rerumputan. Kambing tak pernah doyan makan nasi atau daging. Apalagi disodori makanan yang macem-macem. Ia konsisten sebagai mahluk herbivora, hanya memakan tetumbuhan saja. Tapi tidak bagi manusia. Daun dan tumbuh-tumbuhannya dimakan, kambing sampai kikil dan jeroannya pun bisa habis dimakan juga. Betul-betul manusia adalah makhluk yang rakus. 

Dan malunya, kerakusan manusia ternyata melampaui batas kerakusan hewan. Serakus-rakusnya hewan ternyata masih memiliki rasa kemanusiaan lho. Sebagai contoh, ada seekor hewan yang tiap malam mencuri buah-buahan. Sebut saja, kelelawar atau kampret. Jika kita perhatikan, serakus-rakusnya kelelawar hanya mencuri satu atau dua buah saja. Beda dengan "kelelawar yang bersarung" jika sudah beraksi. Bisa jadi satu pohon buah itu ludes digondolnya.

Oleh karena itu, sungguh fenomena borong makanan di tengah-tengah ibadah puasa, betapa menunjukkan sifat ketamakan dan kerakusannya seorang manusia. Ada rasa panik, ada rasa takut kehabisan stok makanan, sehingga sedari pagi atau jauh-jauh hari memborong bahkan menimbun barang, semisal kebutuhan pokok. Beda dengan seekor ayam yang begitu "qonaah" (nrimo ing pandum), menerima apa adanya. 

Tak pernah kita melihat seekor ayam pulang sore hari dengan berbagai tas, atau kantong kresek belanjaannya. Pagi hari, seekor ayam keluar dari kandangnya, penuh dengan sikap optimisme. Hanya bermodal ceker dan paruhnya, ia pun bisa makan bahkan memberi makan beberapa anak ayamnya. Dan ketika sudah kenyang pun, sang ayam pulang tanpa membawa, "menggondol" aneka makanan. Tak seperti rakusnya manusia. Sudah makan di luar, kenyang, ehh, pulang masih membawa aneka bungkusan.

Semoga fenomena borong makanan tak menjadi tradisi, bahkan perlahan bisa kita kurangi, seiring pemahaman kita akan arti dan hikmah puasa yang sebenarnya, yaitu mengekang ketamakan dan kerakusan terhadap dunia (hubbuddunnya). Semoga.

Imam Chumedi, KBC-028

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun