Kemajemukan masyarakat terkadang menampakkan dua sisi hal yang berbeda. Ada kalanya kemajemukan masyarakat menjadi salah satu pemicu terjadinya sebuah gesekan sosial, beda pendapat bahkan sikap dan perilaku.
Tapi ada kalanya kemajemukan masyarakat dengan segala jenis-rupanya menjadi suatu rahmat, anugerah tersendiri dalam membina kehidupan sosial-masyarakat.
Kemajemukan itu sudah bisa kita jumpai dari komunitas antar warga berskala kecil, yakni Rukun Tetangga (RT). Satu rukun tetangga umumnya terdiri dari minimal 20-60 kepala keluarga atau lebih.
Tentu bukan hal yang mudah untuk mengakomodasi puluhan keluarga dengan kemajukan yang ada. Ada kalanya kemajukan dari sisi ekonomi, profesi maupun karakter tiap keluarga. Maka tak jarang kita jumpai perbedaan yang mencolok antar RT, meski masih dalam lingkup satu desa, bahkan satu RW sekalipun.
Semisal, ada sebuah RT yang terlihat begitu rukun, guyub, remojong dalam berbagai kegiatan, termasuk dalam upaya pencegahan penyebaran virus Corona. Mereka swadaya mengumpulkan iuran warga serta melakukan penyemprotan disinfektan ke tiap rumah-rumah warganya. Bahkan mendirikan posko swadaya pencegahan Covid 19.
Namun sebaliknya ada sebuah RT yang terkesan acuh tak acuh, tak peduli, individual antar warganya bahkan terlihat sepi dari hiruk pikuk kegiatan pencegahan Corona.
Kebersamaan warga meski dalam bingkai kemajukan akan bisa tetap terjaga. Hal ini tak lepas dari "kepiawaian" sang kepala lingkungan, yakni ketua RT.
Kerukunan antar tetangga, guyub rukun warga dalam beragam kegiatan di lingkungan merupakan bagian dari output kepemimpinan sang ketua RT. Maka tak berlebihan, bila saya menyebut ketua RT adalah nakhoda masyarakat di garis terdepan yang penuh dengan tantangan, tetapi minim kesejahteraan.
RT dan Corona
Tak bisa dipungkiri, hari ini, jam ini, di tengah pandemi Corona yang tengah melanda bangsa, RT menjadi suatu kesatuan terdepan yang dituntut berperan aktif dalam pencegahan penyebaran Corona. Sebaliknya, RT pula menjadi bulan-bulanan polemik wabah Corona.
Dalam hal pencegahan penyebaran Covid-19, ketua RT dituntut aktif dan kooperatif, perihal faktual data warganya, terutama warga yang mudik pulang kampung, baik mereka yang pulang dari daerah Jabodetabek, dan kota-kota besar lainnya, luar negeri, apalagi dari daerah terindikasi zona merah, maupun zona kuning.
Ketua RT juga harus mampu melakukan sosialiasi persuasif kepada warganya. Ketua RT harus jeli dan tegas manakala warganya ada yang terindikasi ODP, PDP, apalagi positif Covid-19.
Tak berhenti sampai hal itu saja, ketua RT dituntut mampu meredam gejolak sosial akibat virus Corona. Seperti halnya ketika memang dijumpai salah satu warganya ditetapkam sebagai ODP, PDP maupun positif Covid-19.
Sebagaimana umumnya, sosial distancing yang didengung-dengungkan pemerintah sebagai upaya pencegahan penyebaran Corona, dimaknai berlebih-lebihan oleh masyarakat.
Warga seolah menjaga jarak yang berlebihan dengan mereka yang mudik dari Jabodetabek dan luar negeri. Bahkan seolah sinis dengan mereka. Hal ini membuat kerenggangan sosial di lingkup rukun tetangga.
Sungguh, perlakuan diskriminasi terhadap para warga pendatang, sangatlah melukai perasaan. Waspada perlu, tapi parno, Â diskriminasi, bahkan sadisme sosial sangatlah tidak dibenarkan.
Apalagi ketika sudah ada korban Covid-19 meninggal di sebuah kampung. Ini akan menjadi polemik serta momok menakutkan bagi sebagian warga. Seperti kejadian beberapa waktu lalu, yakni penolakan jenazah Covid-19.
Di sinilah peran ketua RT diuji. Bagaimana kepiawaiannya dalam meredam warganya untuk tetap berbelasungkawa tanpa dengan menganggap aib bahkan petaka bagi warganya. Sesungguhnya yang perlu kita cegah atau musuhi adalah virusnya, penyakitnya. Bukan orangnya. Apalagi sampai menghilangkan rasa kemanusiawian kita. Terlalu.
Terkini, ketua RT sedang dituntut kejelian dan transparansinya dalam pendataan warga terdampak Covid-19. Ketua RT bakal menjadi bulan-bulanan warganya, manakala memang betul-betul ada warganya yang miskin dan juga terdampak sekali dengan adanya Covid-19 ini, khususnya secara ekonomi, tetapi tidak mendapatkan bantuan apapun.
Hal ini akan menjadi bom waktu. Perpecahan, rasa ketidak-adilan bakal mencabik-cabik solidaritas kerukunan tetangga yang selama ini sudah terjalin dengan harmonis.
Sungguh alangkah indahnya bila kerukunan dan remojong warga juga tetap diterapkan di tengah pandemi Corona ini. Antar warga, antar tetangga, saling menyadari, tahu diri serta waspada dengan penyebaran virus Corona.
Bagi warga yang baru mudik, untuk tetap mematuhi anjuran pemerintah, mengisolasi diri secara mandiri dengan tidak berkecil hati. Sebaliknya warga masyarakat kampung tetap menerapkan sosial distancing dengan tidak abai terhadap nilai-nilai kerukunan dan kemanusiannya.
Antar warga, antar tetangga saling menguatkan satu sama lain. Keluarga yang mampu bisa membantu tetangga yang kesusahan karena terdampak Corona, walau sekedar berbagi masker, handsanitizer atau sembako. Buang jauh-jauh kecurigaan yang berlebihan, serta tetap memanusiakan sesama manusia, meski ia dinyatakan positif Corona.
Sungguh sangat naif, seorang  yang baik di mata tetangga dan warga, namun dikucilkan bahkan ditolak jenazahnya, hanya terkena Corona. Mari saudaraku, sudahi "ketidakwarasan" ini.
Imam Chumedi, Kombes KBC-028.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H