Aktivitas menulis ternyata gampang-gampang-susah. Tak hanya berselancar menuangkan ide gagasan atau unek-unek dalam pikiran maupun hati saja. Tetapi sesungguhnya kegiatan menulis itu butuh konsentrasi khusus, sehingga penulis bisa terhindar dari penulisan yang salah huruf, atau salah kata (baca: diksi). Bila kita sampai salah huruf bahkan salah memilih diksi, bisa-bisa tulisan kita berakibat salah pemahaman bahkan fatal bagi pembacanya.
Coba kita cermati saja, sebuah kata, hanya karena beda huruf saja ketika dituliskan  bisa berkonotasi lain, bahkan jauh . Semisal kata penjah(a)t dengan penjah(i)t. Pengec(u)t dengan pengec(a)t. Penc(u)ri dengan penc(a)ri. Pem(i)kul dengan pem(u)kul. Dan masih banyak contoh lainnya.
Hanya beda satu huruf saja sudah beda maknanya. Inilah pentingnya ketelitian dalam sebuah tulisan. Belum lagi ketika menuliskan huruf Arab (baca: Hijaiyah) ke dalam tulisan Indonesia, banyak kita jumpai kekeliruan, seperti penulisan khusnul khotimah, atau husnul khotimah. Yang betul Sholeh, Solekh atau Solih? Dholim atau Dzolim?
Ketelitian dalam menulis tidak hanya teliti huruf, tetapi juga harus teliti dan tepat memilih diksi. Karena aktivitas menulis tak ubahnya menuliskan suatu bahasa. Dimana bahasa merupakan rangkaian dari kata-kata atau diksi.
Alih-alih salah memilih kata atau diksi dalam sebuah kalimat, bisa berakibat fatal. Seperti halnya yang dialami oleh tulisan saya di kompasiana.com. Hanya gara-gara salah menuliskan diksi "sisir" untuk sebuah pisang saja berakibat ambigu, bahkan salah tafsir.
Sebelumnya di sebuah artikel yang saya kirim di kompasiana dengan judul Memetik Penghasilan Tambahan Dari Pekarangan Rumah (13/04/2020), tepatnya di paragraf ke 15, disitu saya menuliskan kalimat "Satu sisir buah pisang, bisa laku 500-700 per sisirnya, sedangkan tiap panen pertundunnya-tiap pohon bisa berkisar 50-80 sisir. Cukup lumayan kan?. Apalagi kalau di pekarangan kita ada 5-10 pohon pisang gepeng, tiap bulannya bisa bergantian kita memanennya".
Jelas, pada paragraf diatas, ada satu kesalahan fatal yang saya tulis, yakni hendak menyatakan bahwa harga pisang gepeng (baca:pisang kepok) 500-700 rupiah untuk per buah/per bijinya, tetapi keliru menuliskan dengan kata per "sisir".
Padahal arti dan pemahaman per "sisir" adalah terdiri dari beberapa buah atau satu renteng (jawa: sa cengkeh). Tentu hal ini mengundang penasaran, tak terkecuali  Kang Hafiz, sang editor kompasiana yang langsung menghubungi saya lewat Wapri. Minimal terbersit dua kejanggalan dari kata per sisir 500-700  yang saya tulis. Pertama, 500-700 dalam rupiahkah? 500-700 keuntungan per sisirnya?. Oh, murah sekali jika memang persisir pisang kepok dihargai cukup 500-700 rupiah saja.
Sontak, saya merespon klarifikasi tulisan saya yang keliru, kurang teliti, tidak jeli dalam memakai diksi. Saya pun mengklarifikasi bahwa sebenarnya saya keliru diksi. Sebenarnya maksud hati hendak menuliskan sebuah informasi atau pernyataan bahwa per buah pisang gepeng bisa laku 500-700 rupiah.
Dari pengalaman ini, saya bisa mengambil pelajaran berharga, bahwa ketelitian dan ketepatan memakai atau memilih diksi sangatlah penting. Apalagi bagi para penyair. Bukankah syair-syair indah nan bermakna bermula dari pilihan diksi yang tepat? Meskipun ada beberapa penyair yang menuliskan puisinya dengan diksi yang biasa-biasa saja.