Mohon tunggu...
Khudrotun Nafisah
Khudrotun Nafisah Mohon Tunggu... Pembelajar Demokrasi dan Kemanusiaan -

Media informasi Divisi SDM dan Organisasi Badan Pengawas Kabupaten Jombang seputar kegiatan pengawasan pemilu 2019. Ditujukan untuk memberikan pendidikan politik dan demokrasi kepada masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Money

Corporate Social Responsibility, Masih Relevankah?

2 Agustus 2018   08:34 Diperbarui: 2 Agustus 2018   09:10 1096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konsep social sustainability muncul sebagai kelanjutan konsep economic sustainability dan environmental sustainability yang telah dicetuskan seb elumnya. 

Konsep ini muncul dalam pertemuan di Yohannesberg pada tahun 2002 yang dilatarbelakangi oleh alasan-alasan: Pertama, konsep economic sustainability dan environmental sustainability yang dikembangkan sebelumnya belum dapat mengangkat kesejahteraan komunitas di negara-negara di dunia; 

Kedua, perlunya suatu tatanan aturan untuk menyeimbangkan kesejahteraan pembangunan baik di negara-negara selatan maupun negara-negara utara. Dengan latar belakang tersebut dirumuskan suatu visi yang sama dalam dunia usaha yang makin mengglobal dan mengarah pada liberalisasi untuk mewujudkan kebersamaan aturan bagi tingkat kesejahteraan umat manusia yaitu konsep social sustainability. 

Dalam perkembangan selanjutnya ketiga konsep ini menjadi patokan bagi perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial yang kita kenal dengan konsep corporate social responsibility (CSR). 

Konsep ini merupakan jawaban, tentang topik tanggung jawab sosial perusahaan yang telah menjadi perdebatan selama beberapa dekade terakhir tentang hubungan yang ideal antara bisnis dan masyarakat (Klonoski 1991). 

Di era modern, perdebatan ini dilanjutkan oleh Keith Davis, dengan mengajukan dua pertanyaan menarik pada tahun 1960: "Apa pengusaha (perusahaan) berutang pada masyarakat? "(Davis 1967) dan" Dapatkah bisnis (pengusaha) mampu mengabaikan tanggung jawab sosialnya? "(Davis 1960). Meskipun banyak pihak telah berusaha mendefinisikan CSR selama bertahun-tahun, konsep ini tetap tidak jelas dan ambigu (Makower 1994: 12). 

Definisi CSR jatuh ke dua kategori umum, pertama, orang-orang yang berpendapat bahwa bisnis diwajibkan hanya untuk memaksimalkan keuntungan dalam batas-batas hukum dan kendala etika minimal (Friedman 1970; Levitt 1958), dan kedua, orang-orang yang menyarankan kewajiban perusahaan lebih luas terhadap masyarakat (Andrews 1973; Carroll 1979; Davis dan Blomstrom 1975; Epstein 1987; McGuire 1963). 

Sebuah usaha penting untuk menjembatani kesenjangan antara tujuan finansial (ekonomi) dan harapan lainnya ditawarkan oleh Archie Carroll (1979). 

Usahanya memuncak dalam definisi yang diusulkan dari tanggung jawab sosial perusahaan: "The social responsibility of business encompasses the economic, legal, ethical, atid discretionary expectations that society has of organizations at a given point in time. (Carrol, 1979: 500). 

Menurut Carrol (1979) tanggung jawab sosial bisnis meliputi ekonomi, hukum, etika, dan terakhir harapan diskresioner (sukarela) untuk diberikan pada masyarakat pada kurun waktu tertentu atau yang lebih dikenal dengan istilah tanggung jawab filantropi. Tanggung jawab ini berkontribusi untuk berbagai macam tujuan sosial seperti pendidikan, rekreasi dan budaya. 

Joseph McGuire (1963) yang mengemukakan bahwa ide tanggung jawab sosial mengandaikan bahwa korporasi tidak hanya memiliki kewajiban ekonomi dan hukum, tetapi juga tanggung jawab tertentu kepada masyarakat yang melampaui kewajiban ini. 

Fokus tanggung jawab sosial korporasi bukan hanya menunjukkan usaha yang menentukan akuntabilitas atau kewajiban yang terlalu statis. Akan tetapi tanggungjawab sosial sepenuhnya menggambarkan upaya sosial atau kinerja bisnis korporasi. 

Sesuai dengan hal ini, S. Prakash Sethi (1975) menetapkan tiga skema untuk mengklasifikasikan adaptasi perilaku perusahaan untuk kebutuhan sosial: (1) kewajiban sosial (social obligation), (2) tanggung jawab sosial (social responsibility), dan (3) kepedulian sosial (social responsiveness). Kewajiban sosial melibatkan perilaku perusahaan dalam menanggapi kekuatan pasar atau kendala hukum. 

Tanggung jawab sosial " berarti membawa perilaku perusahaan sampai ke tingkat di mana itu adalah sama dan sebangun dengan norma-norma yang berlaku sosial , nilai-nilai , dan harapan. " Kepedulian sosial" menunjukkan bahwa yang penting adalah " bukan bagaimana perusahaan harus merespon tekanan sosial, tetapi apa yang harus menjadi peran jangka panjang mereka dalam suatu sistem sosial yang dinamis . "Bisnis, oleh karena itu, harus "antisipasi " dan " preventif " [ hlm 58 64 ] . 

Zaidi (2003) dalam Ambadar (2008) mengemukakan bahwa dalam perkembangannya telah terjadi pergeseran paradigma pelaksanaan tanggungjawab perusahaan yang meliputi corporate charity, corporate philantrophy, dan corporate citizenship. 

Tahap pertama, corporate charity merupakan dorongan amal berdasarkan motivasi keagamaan. Tahap kedua adalah corporate philantrophy, yakni dorongan kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan memperjuangkan pemerataan sosial. Tahap ketiga adalah corporate citizenship, yaitu motivasi kewargaan demi mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip keterlibatan sosial. 

Berangkat dari semua proposisi diatas, secara singkat dapat kita simpulkan bahwa, tanggung jawab sosial telah didefinisikan atau dikonseptualisasikan dalam berbagai cara yang berbeda oleh para pakar.

Sehingga belum adanya standar konsep serta definisi CSR yang seragam di dunia, telah menyebabkan tiap perusahaan melakukan CSR menurut kemampuan dan definisinya masing-masing. 

Namun, semuanya merujuk pada ide tentang pertanggungjawaban sosial perusahaan, dimana perusahaan tidak hanya bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitar, tetapi juga terhadap kemajuan masyarakat sekitarnya. 

Tanggung jawab sosial adalah sebuah gagasan yang menganjurkan perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja, karena tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). 

Perusahaan juga harus berpijak pada triple bottom lines (TBL) yaitu segitiga dalam kehidupan stakeholders yang harus diperhatikan korporasi di tengah upayanya mencari profit, yakni ekonomi, lingkungan dan sosial (Pambudi, 2006).

Terlebih sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar akan muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidupnyang jawab sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun