Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... -

Penulis dan Motivator Pembelajaran

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negara Bermalu, Negara Berbudaya

3 Maret 2011   07:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:07 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan: Tulisan ini hanya bagian kecil dari "rasa gerah" melihat perjalanan negeri tercinta, Indonesia. Oleh Khrisna Pabichara Sejarah, hingga hari ini, masih merupakan rekaman sedih dari hal-hal mengerikan yang menyertai perjalanan bangsa. Sumpah Pemuda memang memantik gelegak “perlawanan” dan semangat kebersatuan, tetapi tak cukup kuat untuk “memaksa” kita agar segera melepaskan diri dari kungkungan penjajahan. Proklamasi memang menyulut harapan “hidup lebih bermartabat” dan merdeka dari segala bentuk “keterbatasan”, tetapi belum benar-benar mampu memerdekakan diri dari bentuk penjajahan lain, semisal kebodohan dan kemiskinan. Reformasi memang menyuguhkan euforia setelah sekian lama kita menjadi katak yang terperangkap di senyap tempurung, tetapi belum juga utuh mengawal kita menuju bangsa yang “lebih berbudaya”. Harapan menuju kehidupan bernegara yang lebih bermartabat dan berbudaya memang masih ada, dan harus selalu ada, tapi kita seolah mengejar layang-layang putus—yang tidak semata mengandalkan kecepatan lari dan kejelian mata, tapi juga keberuntungan dan keramahan angin—yang tak jelas di mana bakal tersangkut atau tergeletak. Anak-anak terlantar semakin menjamur di jalanan, pengemis dan gelandangan jadi pemandangan nyaris di setiap persimpangan, kepala keluarga yang kesulitan mencari lapangan kerja, bencana yang mengintai setiap saat, dan berbagai masalah yang seakan tak mengenal kata selesai. Begitulah, harapan memang harus selalu ada. Wakil Rakyat tawuran, teladan salah bagi anak bangsa. Sepanjang perjalanan bangsa, kita telah kehilangan banyak darah, nyawa, atau harta. Tapi kehilangan terbesar yang menimpa bangsa kita adalah kehilah “rasa malu”. Coba sejenak saja menoleh ke sekitar kita. Piranti hukum semakin tidak dipercaya, tak heran jika maling motor kerap “dihabisi” massa. Patut disesali pelajar sekolah menengah yang lebih rajin tawuran daripada belajar bersama, tapi yang lebih patut disesali adalah tawuran “wakil rakyat” di ruang sidang yang kerap disaksikan secara langsung oleh jutaan pemirsa. Suap menjadi sesuatu yang dianggap lumrah dan menerima suap mulai dinamai kebiasaan. Para pelaku kejahatan tingkat tinggi—setelah mencuri uang rakyat—malah tersenyum direkam kamera. Seolah melakukan kesalahan adalah sesuatu yang lazim, dan sesiapa yang tetap berkukuh pada kejujuraan itulah yang tak lazim. Alangkah! Jangan tidur waktu sidang soal rakyat (Iwan Fals) Selain itu, pagelaran sandiwara bertambah dengan maraknya tuntutan kepada seorang tokoh untuk mengundurkan diri dari tampuk tertinggi sebuah organisasi, malah disikapi dengan "curhat" dan air mata di depan wakil rakyat. Ditambah ulah unik sang pemimpin rakyat yang selain selalu sibuk "merebut simpati", juga mulai repot karena direcoki urusan koalisi. Di sebelah lain, ketika sidang yang memakan biaya banyak dan ditonton rakyat banyak, terbentuk satu fraksi baru di DPR, fraksi yang dibentuk bukan lewat pilihan rakyat--dan uniknya, lintas parpol--melainkan karena "kehilangan rasa malu dan tanggung jawab". Fraksi itu bernama Fraksi Tidur Serempak. Belum lagi pola komunikasi yang sungguh tak layak dikemukakan di sebuah ruang sidang yang agung, semisal caci-maki dan pelototan yang serasa tak lengkap racikan bumbu sidangnya jika itu belum ada. Oh! Betapapun musykilnya, harapan harus tetap ada. Bahkan ketika sebatang pohon saja tidak mendapatkan asupan sinar matahari, maka batang itu akan membelok ke arah dari mana sinar itu datang. Dan selaku manusia, seperti ditamsilkan Erich Fomm, kita lebih dari sebatang pohon, karena kita memiliki perasaan dan kesadaran. Hanya saja, perasaan dan kesadaran belumlah cukup. Kita masih memerlukan keyakinan dan kegigihan. Keyakinan bahwa kemiskinan bukan sesuatu yang mustahil untuk dientaskan, dan kegigihan berupaya akan memastikan terentasnya kemiskinan itu. Hanya saja, seberapa sadarkah kita? Atau, seberapa teguh keyakinan dan kegigihan kita? Saling memaki, saling mencaci. Sejarah, pada akhirnya, mesti tetap menjadi cermin bagi kita. Dan, setiap kita berdiri di depannya, bayangan “malu” tetap memantul dari sana, agar kita berbudaya. Semoga! Jakarta, Januari 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun