Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... -

Penulis dan Motivator Pembelajaran

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ketika Entrok Bicara

28 Januari 2011   18:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:05 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Bertolak dari sana, kita akan mendapati kecerdasan Okky dalam mendaraskan pikiran dan perasaannya. Dia tidak bermain di wilayah “buram” peristiwa berdarah, G 30 S/PKI. Dia meliuk-liuk di areal akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa berdarah itu. Bayangkan, alangkah perihnya kehidupan ketika antek-antek negara yang seharusnya hadir sebagai pelindung, malah berdiri sebagai lawan yang begitu leluasa mengintimidasi, menekan, bahkan “memperkosa” hak asasi rakyatnya.

Melalui tokoh Sumarni, Okky bertutur ihwal perempuan yang berhasrat keluar dari perangkap kemiskinan. Bermula dari gairah sederhana memiliki entrok (kutang) seperti Tinah, sepupunya, agar dadanya nyaman saat berlari atau melompat. Dari sana hidupnya berubah. Sumarni menjadi perempuan pertama yang mendobrak kemapanan—dewasa itu, kuli identik sebagai profesi kaum laki-laki—menjadi kuli angkut di Pasar Ngranget. Perlahan Sumarni mampu melepaskan diri dari belitan kemiskinan. Pada mulanya dia membeli televisi yang tak semua orang di kampungnya memilikinya, hingga yang paling membanggakan: membeli tanah berhektar-hektar dan perkebunan tebu. Semua bermula dari entrok.

Terceritakan pula ihwal bagaimana Sumarni jadi bulan-bulanan tentara, polisi, dan pejabat “negara” di kampungnya; harus menyiapkan upeti setiap empat belas hari bagi tentara; menyetor “sumbangan wajib” bagi kampanye partai yang harusdidukungnya; dan menyerahkan “bayaran” bagi polisi agar kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa Bejo, supirnya, bisa diselesaikan tanpa harus meringkuk di penjara atas tuduhan “melawan hukum”. Belum lagi teror warga sekampung: tudingan tidak beragama, pesugihan, pemelihara tuyul, dan gunjingan lain yang memerahkan kuping.

Lewat tokoh Rahayu, Okky menghadirkan wajah perempuan masa kini yang lebih berpendidikan. Pertarungan batinnya bermula dari kebiasaan ibunya, Sumarni, menyediakan sesaji bagi sesembahannya—yang bukan Allah—Rahayu mengobarkan perlawanan dengan cara yang ekstrem. Sampai akhirnya dia tinggalkan “kejahiliyahan” orangtuanya dan memilih kuliah di Jogjakarta. Perlawanan belum bersudah. Dia langgar kelaziman di kampungnya dengan bersuamikan lelaki yang sudah beranak-beristri. Akan tetapi, akhirnya Rahayu pun bergelimang derita: dipenjara karena keterlibatannya membela tanah para korban penggusuran.

Sungguh. Seolah tak hendak bersudah, Okky juga menciptakan tokoh Ndari—bocah kelas enam SD—yang jadi korban perkosaan pamannya dan ditugaskan ayahnya untuk menjajakan tubuhnya bagi tentara-tentara “penjaga keamanan” demi kemungkinan tanahnya terbebaskan. Perempuan-perempuan tak bahagia. Betapa!

Demokrasi Minus Nurani

Apa yang dilakukan alumni Jurusan Hubungan Internasional UGM ini, sejatinya, adalah upaya untuk menggugah kesadaran kolektif rakyat Indonesia agar lebih berani berharap kembali bahwa, akhirnya, negeri ini harus diselenggarakan sebagaimana layaknya negara yang beradab. Suatu negara di mana pejabat betul-betul pelayan bagi rakyat; militer tidak berada di atas hukum; wakil rakyat benar-benar perpanjangan lidah rakyat; lapangan pekerjaan menyediakan sebanyak-banyaknya kesempatan bekerja; pendidikan dan layanan kesehatan terjangkau bagi semua; pun harapan-harapan lain yang tak terhingga.

Dalam konteks ini, keberadaan Entrok bukan sekadar teks sastra, tapi sekaligus “kitab” berisi “ayat-ayat inspiratif” agar kita bangkit dari kematirasaan psikis (psychic numbing), penyakit yang kita derita akibat teror bertubi-tubi yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama—seperti nasib Sumarni, Rahayu atau Ndari. Kematirasaan psikis pemicu kebangkrutan jiwa yang membuat manusia siap untuk menerima dan membiarkan segala macam kebejatan berlangsung di hadapannya tanpa munculnya rasa marah, sedih, atau benci, seolah-olah dunia batinnya tertidur lelap atau mati suri. Ini dampak lain dari atmosfer refresif rezim Orde Baru. Filsuf Kierkegaard menyebut kondisi seperti ini sebagai the corruption of the will yang bisa meluluhlantakkan semangat, bahkan kemanusiaan itu sendiri.[3] Artinya, di tangan kitalah terletak ihwal menciptakan iklim berdemokrasi yang berulu pada nurani.

Pada akhirnya, upaya serius Okky untuk memindahkan peristiwa ke dalam ceritaadalah lelaku estetik yang layak mendapat acungan jempol. Dia seorang “juru kabar” yang dengan cergas mengabarkan rentetan kemalangan dan ketakbahagiaan yang dialami banyak rakyat di negeri tercinta ini. Dia mengusung pelbagai kritik dengan cara yang samar, santun, dan menyentuh. Dia menyuguhkan langgam penceritaan yang khas, walaupun bukan sesuatu yang baru di ranah kesusastraan kita.

Dan, semoga Entrok bukan awal yang merangkap sebagai akhir. Semoga!

Bogor, September 2010

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun