Aku selalu ingat peristiwa itu. Mengharukan. Membahagiakan.
Kamu juga harus tahu. Pada umur lima tahun aku sering bermimpi tentang sebuah rumah panggung dengan pesta tari, bau dupa, gemuruh gendang dan lengking puik-puik[4]. Juga rancak penari mengelilingi sebuah tempat—dulu aku belum tahu namanya—dan keris atau badik yang dihujamkan ke bagian tubuh paling rentan tikaman senjata. Sesekali aku bermimpi tentang lelaki asing berwajah perempuan. Aku benar-benar tak tahu apakah itu imaji kehidupan masa kini yang sedang kujalani, kehidupan sebelumnya, atau berhubungan dengan kehidupanku di masa datang. Kadang aku seolah berada di tengah sebuah ruang lapang dan semua orang serentak menyeretku ke masa kehidupan lain.
Kamu pasti merasa ganjil, tapi begitulah adanya. Ayah sangat bangga padaku. “Kamu anak ajaib. Ada banyak kekuatan mengeram di tubuhmu,” katanya setiap matahari terbit. Saat itu aku sudah bisa membaca pikiran orang. Aku juga sudah bisa meramalkan bahaya yang bisa mengintai orang yang ada di dekatku. Suatu ketika, aku sedang berada di pinggir jalan bersama Ibu. Kemudian aku dengar lirih suara menyuruhku segera menyeberang. Lalu, kutarik lengan Ibu menjauh. Tak lama berselang, sebuah pete-pete[5] menabrak rumah tempat tadi kami berdiri di depannya. Banyak lagi kejadian lain yang jika kuceritakan semua, kamu akan lelah mendengarnya.
Ketika umurku menjelang tiga belas, nasib mulai berubah. Aku tidak punya jakun seperti lumrahnya lelaki. Suaraku lebih mirip suara perempuan. Tak ada satu sisi pun pada diriku yang layak disebut gagah, apalagi lelaki. Sejak itu pula bencana bermula. Ayah mulai berubah. Tak ada lagi pelukan, tak ada lagi kecupan. Tidak juga dongeng menjelang tidur, atau tutur lembut yang meneduhkan hati.
Sungguh, itu kiamat bagiku!
|3|
tubuh memang ditakdirkan
awalnya jadi milik pelukan
lalu kemudian milik peluru[6]
TAHUKAH KAMU apa yang terjadi sesudah itu? Setelah menumpang truk sayur dari Malakaji ke Jeneponto, aku berjalan sepanjang sembilan puluh kilometer ke Makassar. Tiga hari tiga malam. Aku berjalan bak orang kesetanan dengan kaki telanjang. Tak pernah berhenti meski sekadar melemaskan kaki. Tak merasa lapar, tak merasa haus. Terus berjalan. Tak menoleh kanan-kiri. Tak menyapa sesiapa. Aku seolah sudah hafal arah jalan, padahal baru kali ini aku menapakinya. Anehnya, imaji itu terus bergelayut di benakku: Lelaki berdandan bak perempuan; musik dan tari saling berlaga; dan bau dupa. Sesekali terdengar cekikikan roh-roh. Tapi tak ada yang tampak. Semuanya lamur dan samar. Kemudian aku dengar nyanyian mendayu-dayu, seperti puja-puji yang entah ditujukan untuk siapa. Lututku gemetaran, langkahku terhuyung. Aku tetap berjalan menyemburkan bau kecut keringat dan amarah. Dan, ah, tiba-tiba aku ingat Ibu. Kamu pasti tahu bagaimana rasanya merindukan Ibu, kan?
Ibu, engkaulah perempuan paling Ibu di dunia.
Oh ya, aku ringkas saja ceritanya. Tibalah aku di lapangan Karebosi. Entah siapa yang menuntunku ke sini. Yang pasti, tiga orang perempuan tiba-tiba berdiri di hadapanku. Wanita pertama memakai baju adat kurung berwarna kuning keemasan, yang kedua berwarna merah, yang ketiga berwarna hitam. Mereka mengajakku berjalan, menembus pekat malam dan udara yang berkabut di kota Makassar yang sedang mendengkur. Dingin. Ngilu menyelusup di pori. Semuanya melangkah gemulai sepertiku. Ajaib, aku sama sekali tak mampu membaca pikiran mereka. Jadilah aku memilih diam, tak berkata apa-apa.
Lalu, sekonyong-konyong aku diserang kantuk luar biasa. Dan, pulas.
|4|
Setelah Kau pergi, aku segera mencari Rumah,
tak berpintu tak berjendela.[7]