Mohon tunggu...
khozanah hidayati
khozanah hidayati Mohon Tunggu... -

Aku hanya seorang ibu rumah tangga biasa dengan 4 putra, tinggal di kota kecil Tuban Jatim

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Sepak Bola, Garuda di Dadaku dan Nasionalisme

25 Desember 2010   08:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:24 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa nasionalisme masyarakat kita kembali bersemi dan bersinar setelah tim sepak bola nasional kita berjaya di ajang kompetisi Piala AFF 2010. Hingga saat ini bisa menapak ke pertandingan final yang bakal bertemu Malaysia.  Rasa nasionalsime tersebut  sebelumnya telah luntur dan pudar akibat  kikisan oleh berbagai persoalan dan peristiwa  politik, sosial, budaya, hukum, dan juga ekonomi  yang tidak bisa termenej dengan baik oleh penyelenggara negara. Sehingga akibatnya, bahkan kita sampai merasa malu mengakui sebagai bangsa Indonesia.

 

Tengoklah kasus – kasus yang melunturkan dan memudarkan rasa nasionalsime berikut ini. Maraknya praktek politik traksaksional di setiap ajang pemilu baik itu pemilu legislatif, pemilu presiden maupun pemilukada. Maraknya penyiksaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kita di luar negeri. Bencana alam yang silih berganti menghampiri negeri ini. Juga semakin carut marutnya penegakkan hukum kita ditandai dengan kasus-kasus korupsi yang tidak tertangani sebagaimana mestinya, kasus mafia hukum, kaus mafia pajak Gayus Tambunan dan masih banyak lagi kasus-kasus hukum lainnya. Di bidang olah raga tidak ada satupun cabang olah raga yang prestasinya bisa dibanggakan. Adapun di bidang ekonomi himpitan ekonomi akibat kenaikan harga kebutuhan pokok, hilangnya beberapa komoditas di pasaran dan langkanya kesempatan kerja seakan menjadi pelengkap penderitaan bangsa ini.

 

Rentetan terkuaknya kasus-kasus tersebut dan juga silih bergantinya berbagai peristiwa seperti diuraikan di atas, dan diperparah provokasi pihak Malaysia akan klaim mereka atas beberapa karya budaya kita dan juga penangkapan nelayan kita oleh Tentara Diraja Malaysia beberapa waktu lalu di satu sisi, dan di sisi lain munculnya sejumput asa dan sepercik air sejuk dari tim sepak bola kita yang dengan gagah berani melumat semua lawan-lawannya di ajang kompetisi Piala AFF 2010 dengan melangkah ke final yang akan menggayang Malaysia. Maka timbullah semangat nasionalisme yang menggelora di masyarakat kita.

 

Prestasi ini menghidupkan kembali syaraf-syaraf kebanggaan sebagai bangsa Indonesia yang selama ini telah bebal  akibat pertentangan politik yang terjadi. Dan demi menghidupkan kembali rasa nasionalisme ini para politisipun yang  selalu berbeda pandangan dan bersilang sengketa pendapat menajadi akur dan rukun. Bahkan Bapak Presiden SBY yang juga Ketua Pembina Partai Demokrat yang sangat menyukai warna biru dengan suka rela dan tidak ada rasa risi mengenakan baju warna merah. Demikian juga Aburizal Bakrie yang Ketua Umum Partai Golkar rela melepaskan baju kuning kebesarannya dan menggantinya dengan kaos warna merah demi untuk mendukung kesebelasan kita.

 

Walau sejatinya prestasi tim nasional kita memang belum sehebat prestasi negara adidaya persepakbolaan seperti Argentina, Brasil, Perancis, Spanyol, Belanda atau bahkan Jepang dan Korsel. Dan bahkan tim nasional kita belum mampu bicara banyak di tingkat Asia, mereka baru menunjukkan kedigdayaan di tingkat Asia Tenggara itupun baru sampai tahap final pada perhelaan Piala AFF 2010 ini. Namun dengan kemenangan ini setidaknya, kepala kita bisa menengadah tegak dan tidak tertunduk lagi karena kita punya martabat. Inilah poin penting yang diberikan tim nasional sepak bola kita.

 

Rakyat negeri ini sedang membuncah kebanggaannya akan kinerja tim nasional. Tanpa melihat kelas sosial, suku bangsa, agama, aspirasi politik dan segala macam perbedaan lainnya, ternyata tim nasional mampu merekatkan seluruh anak bangsa dalam membangkitkan rasa nasionalisme dan menyatu di bawah payung “Merah Putih” dan dalam semangat “Garuda di Dadaku”.

Melihat begitu antusiasnya masyarakat memberikan dukungan kepada tim nasional, ini sebagai bukti bahwa sepak bola bermanfaat bagi terapi membangkitkan kembali semangat nasionalisme. Sementara itu, para pemain bersemangat untuk mempersembahkan kemenangan bagi negara. Tentu ini berkaitan dengan identitas negara dan nasionalisme.

Nasionalisme dalam sepak bola adalah gejala universal di banyak belahan dunia. Penggemar sepak bola selalu mengidentifikasikan diri dengan sesuatu yang paling relevan, yakni tim nasional negara masing-masing. Saat tim nasionalnya menang, masing-masing individu dalam negara tersebut merasa terangkat rasa nasionalisme dan harga dirinya.


Namun optimistis kita jangan sampai berlebihan, kita juga harus realistis, yakni menggantungkan dan meletakkan cita-cita setinggi langit, tetapi tetap sadar akan keterbatasan dan akan kekurangan dalam tim sepakbola kita maupun dalam tubuh organisasi PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) serta juga kekurangan dalam sistem kompetisi sepakbola kita. Pendek kata dalam tubuh dunia persepakbolaan kita masih banyak kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki bersama.

 

Jangan sampai luapan kegembiraan dan letupan rasa nasionalisme ini berubah menjadi anarkis dan holiganisme jika sekiranya dalam dua kali pertandingan final melawan Malaysia nantinya kita mengalami kekalahan, baik itu saat pertandingan di stadion Bukit Jalil Kuala Lumpur Malaysia maupun saat pertandingan leg kedua di Gelora Bung Karno Jakarta.

Untuk itu antisipasi dan kewaspadaan kian perlu ditingkatkan oleh para aparat keamanan. Siapa tahu kita sedang tidak dipihaki oleh Dewi Fortuna, karena tahu sendiri bahwa bola itu bundar.

Di samping itu, selepas turnamen ini, kita menuntut PSSI  untuk segera mereformasi kepengurusan dan melakukan perubahan mendasar dalam pengelolaan sepak bola nasional. PSSI dan juga segenap warga bangsa harus menjaga momentum kebangkitan tim nasional ini sebagai momentum juga untuk kebangkitan rasa nasionalisme di segala lini kehidupan.

Lebih dari itu, rasa nasionalisme dan semangat “Garuda di dadaku” harus terus disuarakan dalam berbagai sendi kehidupan, tidak hanya di sepak bola. Sehingga nantinya rasa kebanggaan sebagi bangsa ini akan menular dan menjalar kesemua sektor kehidupan yang akhirnya akan bisa membantu mengurai benang kusut permasalahan bangsa yang sekarang ini kondisinya sangat semrawut. (Khozanah Hidayati, 24 Desember 2010).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun