Oleh Ahmad Khotim Muzakka
Bergiat pada Idea Studies IAIN Walisongo, Semarang
Bulan Agustus, bangsa Indonesia kembali menggelar upacara kemerdekaan. Pada tanggal 17, secara serentak digelar upacar pengibaran bendera merah putih. Sebagai lambang kebangsaan, bendera menjadi perekat kuat membentuk kesatuan masyarakat. Nilai yang terkandung dalam dua warna itu, yakni merah dan putih, merupakan altar manusia Indonesia merumuskan gagasan. Merah yang berarti berani, putih yang berarti suci. Merah perlambang tubuh manusia, putih perlambang jiwa manusia. Kesatuan dua entitas itu membuhulkan kehendak untuk saling melengkapi dan merumuskan Indonesia.
Namun, beberapa waktu lalu (2010), kita dihenyakkan dengan kasus penolakan penghormatan terhadap Sang Saka di Solo, Jawa Tengah. Menghormati bendera merah putih dianggap menyekutukan Tuhan. Karena hanya Tuhan yang patut disembah. Sementara perilaku penghormatan selain kepada-Nya dinilai sebagai syirik. Oleh karenanya, tidak boleh dilakukan.
Meski tragedi itu telah mendapatkan tanggapan positif dari pemerintah daerah untuk memberikan penghormatan kepada Sang Saka merah putih, di sini saya mengajak menelusuti jejak perdebatan yang lebih fundamental. Karena, bagaimanapun, keyakinan tidak bisa dengan mudah diselesaikan dengan pelarangan.
Jejak sejarah
M. Ridwan Lubis, dalam Sukarno dan Modernisme Islam (2010), memperlihatkan perjuangan Sukarno tentang nasionalisme. Jauh sebelum kasus “pelarangan bender” menyeruak, Presiden Sukarno pernah bersitegang dengan Ahmad Hassan (Persatuan Islam/Persis). Sukarno yang menyuarakan paham nasionalisme ditentang. Menurut Ahmad Hassan, konsep negara kebangsaan membuat orang menganut paham ashabiah (chauvinisme). Paham ini berkeyakinan bahwa paham kebangsaan memberhalakan tanah air yang berakibat kaburnya iman seseorang.
Dasar kebangsaan yang digagas Sukarno bukan hal baru. Bagi pergerakan kesadaran dan kebangkitan Islam yang dikumandangkan oleh Al-Afghani. Al-Afghani mengampayekan rasa luhur diri dan penghormatan terhadap bangsa. Sukarno menjawab kritikan tentang perjuangan mengobarkan semangat nasionalisme dengan mengatakan: “Islam tidak bertentangan sebenarnya menurut fahamku dengan kenasionalan. Islam tidak melarang kita menyusun satu negara nasional. Tetapi yang selalu disalahweselkan ialah kiranya jikalau engkau nasional engkau anti agama. Jikalau engaku nasional, engkau memberhalakan tanah airku. Rasa nasional adalah lepas dari itu.”(M. Ridwan Lubis: 2010, 205)
Pernyataan Sukarno menegaskan bahwa tidak mesti penghormatan kepada benda-materiil harus dipertetangkan dengan nalar keberagamaan kita. Kasus di Solo yang membenturkan dua hal yang harusnya berbeda mesti mendapatkan perhatian istimewa. Bahwa penghormatan terhadap bendera bukan berarti kita menyembah dan tunduk. Di wilayah ini, sebenarnya, kita melakukan dialog kebudayaan terhadap realias Indonesia. Tentang keberagaman yang bisa dipersatukan lewat bendera. Sedangkan penghormatan kepada Tuhan lebih bersifat ketundukan hamba (abid) kepada pencipta (Khalik). Dua hal yang mestinya berbeda dan terpisah.
Kita menemukan jawaban atas problematika ini dalam kajian mitos yang digeluti Roland Barthes. Pemukul-rataan bahwa orang yang hormat kepada bendera dikategorikan sebagai orang yang syirik, merupakan kesimpulan semena-mena dan tergesa. Bagi Barthes, mitos tidak berjalan pada kestabilan. Mitos bukanlah perangkat praktik yang menyimpan persoalan atau sebuah teka-teki yang akan selesai jika sudah terpecahkan. Makanya, demistifikasi mitos tidak hanya menyadari bahwa itu adalah sesuatu yang palsu. (Donny Gahral Adian: 2011)
Begitu pun, keyakinan mengenai klaim syirik atas orang yang menghormati bendera bisa juga disebut “sesuatu yang palsu” itu. Karena, motivasi yang tersirat dalam laku ini yakni semangat atau simbol pemersatu di tengah keniscayaan seperti Indonesia yang majemuk ini. Dalam kerangka yang seperti ini, kita menyepakati peneguhan Barthes mengenai mitos yang selalu menyajikan betuk. Sedangkan bentuk selalu mendahului maknanya.
“Mitos syirik” memang telah mendistorsi makna yang hendak dicapai si pelaku penghormat bendera. Sedangkan si pengamat, yang sudah telanjur mengimaninya sesuatu yang tidak boleh dilakukan dibutakan oleh keyakinan membabi buta tentang hakikat penghormatan terhadap bendera. Ada keterputusan jarak yang membuat klaim-klaim semacam ini terus mengemuka.
Rasa nasionalisme tentu tak bisa ditakar dan ditimbang hanya dengan penghormatan terhadap sang saka pada pelbagai upacara, baik yang mingguan ataupun dalam kadar yang lebih makro seperti acara 17 Agustus. Di mana, bendera-bendera digebar begitu riuh hingga ke penjuru jalan dan pelosok desa. Tentu bukan sekuat apa kita merekatkan jemari dan mendekatkannya ke dahi. Bukan pula, seberapa gaduh prosesi itu digelar secara serentak di seluruh negeri.
Lebih dari itu, nasionalisme adalah ketika kita merasa tersakiti saat “keberbedaan” dikoyak oleh anarkisme yang mendapat legetimasi atas pemahaman parsial tentang keanekaragaman. Adalah ketika korupsi menjadi musuh bersama. Bukan hanya pada jargon, tapi juga pada laku hidup terhadap hal-hal kecil yang kerap dilupakan. Tentu saja, kita tidak menginginkan perkara penghormatan terhadap bendera itu menjadi pelik dan menyulut tindakan anarkis.
Perkara kecil ini akan semakin membesar jika tidak diantisipasi sejak dini. Kita tahu gelombang kelompok keagamaan yang anarkis terus merongrong kedewasaan berkebangsaan kita. Lihat saja, pemaksaan penutupan sejumlah tempat yang dikira sebagai ajang maksiat terus bergulir sepanjang ramadlan.
Maka, sangat lumrah jika kita menolak aksi pemberangusan terhadap penghormatan bendera hanya karena alasan lucu seperti itu. Bahwa menghormati bendera adalah perbuatan syirik. Untuk hal yang demikian ini, sudah sepatutnya kita berdiri di depan, mengepalkan tangan: ini harga diri kami, ini pemersatu kami, ini Tanah Air kami, Bung! Bukan, begitu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H