Setelah ramai kasus pencurian hingga begal di Indonesia saat masa pandemi, saat ini sedang viral diperbincangkan peristiwa gajah mati berdiri akibat memakan nanas berisi petasan. Banyak orang yang menilai peristiwa ini sebagai bentuk matinya sisi kemanusiaan. Hewan yang sama sekali tidak menyakiti manusia, bahkan bisa dibilang bergantung kepada manusia, justru disakiti oleh manusia.Â
Peristiwa gajah mati itu terjadi pada 27 Juni 2020 di Palakkad, Negara bagian Kerala, India Selatan. Jika kita lihat latar belakang terjadinya peristiwa tersebut, pelaku sengaja memberikan nanas berisi petasan karena gajah itu telah memakan tanaman panennya.Â
Yang kemudian dinilai tidak humanis adalah mengapa pelaku harus menaruh petasan di nanas itu. Apakah memang tidak terpikir untuk sekadar mengusir gajah yang (mungkin) merusak tanaman panennya?Â
Apa pelaku tidak berpikir bagaimana rasanya jika tindakan tersebut terjadi pada hewan peliharaannya, atau bahkan dirinya sendiri? Mengapa tidak kemudian pelaku memberikan dua atau beberapa hasil kebunnya dan membiarkan gajah itu berlalu dan tidak lagi mengganggu? Atau, pelaku memang terkadung kesal dan tidak ingin hasil kebunnya berkurang di tengah pandemi?Â
Mungkin pertanyaan terakhir menjadi wajar adanya, karena kita pun tahu India menduduki peringkat ke-6 kasus positif virus Corona dengan jumlah kasus 236.657 per 6 Juni 2020.Â
Kasus kematian gajah akibat nanas berisi petasan ini lantas menjadi perbincangan publik hingga hari ini. Tagar #RIPHumanity masih penuh disesaki oleh orang-orang yang amat menyayangkan tindakan pelaku, yang begitu tega menyakiti sesama makhluk hidup. Tulisan ini akan membagikan sedikit pemahaman tentang empati dan bagaimana cara melatihnya.
Mengapa #RIPHumanity dan Apa Hubungannya dengan Empati?
Berbicara soal humanity atau kemanusiaan dalam versi bahasa Indonesia, mungkin sekilas hanya berlaku bagi manusia dan sesama manusia. Karena kata dasarnya pun human, yang berarti manusia. Betul. Tapi tentu nila-nilai dalam kemanusiaan (humanity) tidak terbatas pada perlakuan terhadap manusia lain.Â
Driyarkana (1989) menyebut kemanusiaan sebagai pandangan atau sikap yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang serba terhubung dan mempunyai tendensi yang mampu mengantisipasi masa depannya dengan seperangkat sistem nilai dan norma.Â
Jika kita telaah dari definisi ini, "manusia adalah makhluk yang serba terhubung" mengindikasikan bahwa manusia tidak hanya terhubung dengan manusia lain, tapi juga terhubung dengan alam, makhluk abiotik, dan makhluk biotik seperti tanaman dan hewan. Lingkup sosial atau interaksi manusia itu luas dan perlu untuk bisa menyeimbanginya.
Lebih lanjut, "manusia mempunyai tendensi yang mampu mengantisipasi masa depan dengan sistem nilai dan norma". Artinya, dalam merencanakan masa depan yang diinginkan perlu memerhatikan sistem nilai dan norma yang berlaku. Hal demikian dilakukan semata-mata agar manusia mampu mencapai masa depan yang positif, dan tidak membelakangi hukum yang ada.Â
Kemudian, empati adalah salah satu aspek kognisi sosial yang memainkan peran penting ketika seseorang merespons emosi orang lain untuk membangun hubungan yang baik (Spreng, McKinnon, Mar, & Levine, 2009). Empati adalah dasar dari segala jenis interaksi, berwujud penempatan diri pada kondisi orang lain secara penuh. Dengan kata lain, empati adalah paham dan memahami perasaan orang lain.
Jika tidak ada empati, maka tidak akan terjadi tolong menolong dan hanya akan menciptakan indivualisme pada setiap individu. Empati menjadi penting karena mampu menciptakan kepercayaan dan kenyamanan antara kedua belah pihak. Maka dari itu, empati sangatlah diperlukan dalam membangun kemanusiaan. Bahkan, bisa dikatakan empati adalah substansi dari kemanusiaan itu sendiri.
Melatih Empati di Masa Pandemi
Empati bisa saja sudah melekat saat manusia lahir ke dunia. Tapi, tentu perlu upaya untuk bisa menjaga kestabilan dan eksistensinya dalam kehidupan nyata. Empati perlu dilatih sedini mungkin secara kontinyu. Apalagi di tengah pandemi seperti ini, dimana segala tindak kejahatan hadir ketika orang-orang sedang dihadapkan dengan kepanikan dan ketakutan akan virus yang mematikan.
Satu hal yang perlu diingat bahwa empati adalah suatu sikap dimana kita menempatkan diri pada kondisi atau perasaan orang lain. Untuk melatih empati bisa dilakukan dengan sering-sering mendengarkan "kisah" atau masalah orang lain.Â
Dengan begitu, kita akan mengetahui dan mencoba memahami perasaan kalau-kalau masalah tersebut terjadi pada diri kita. Hal seperti apa yang kita bayangkan dan rasakan.Â
Jika berhasil, tentu kita pun akan memandang suatu permasalahan dari segi keibaan terhadap orang yang ditimpa masalah tadi. Tentu hal itu akan menjadi kontrol bagi diri kita untuk bersikap empati dan peduli terhadap orang tersebut, alih-alih tidak mengacuhkannya.
Peka terhadap lingkungan juga bisa dijadikan sarana untuk melatih empati. Masa seperti ini tidak sedikit orang yang kehilangan pekerjaannya atau penghasilannya berkurang, padahal kebutuhan hidup tetap harus dipenuhi. Kita bisa menjadikan fenomena sosial yang ada sebagai sarana untuk melatih empati di tengah krisis ini.
Empati bisa dikatakan sebagai sikap lanjutan dari simpati. Jika simpati adalah rasa kasih atau iba kepada orang lain, maka empati lebih dalam lagi. Bahkan, empati bisa saja berwujud sebagai bentuk tolong-menolong. Ada banyak hal yang memerlukan empati dalam kehidupan ini. Terlebih di masa pandemi. Satu hal yang perlu ditekankan adalah, jangan sampai pandemi mematikan hasrat kita untuk bersikap empati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H