Tradisi penyunatan perempuan masih dilanggengkan di Indonesia hingga saat ini, meskipun terdapat berbagai perdebatan mengenai praktik sunat perempuan ini. Praktik penyunatan ini dianggap sebagai bagian dari tradisi yang sudah mengakar di tengah masyarakat. Sunat perempuan merupakan praktik pemotongan dan perlukaan pada area genitalia perempuan atau yang disingkat P2GP.
Belenggu dalam TradisiÂ
Beberapa daerah di Indonesia yang masih menganggap bahwa penyunatan perempuan ini merupakan tradisi leluhur yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebut saja tradisi Makkatte, tradisi penyunatan perempuan di masyarakat Bugis. Di Bone, Sulawesi Selatan, tradisi penyunatan perempuan masih dilakukan hingga saat ini, biasanya tradisi Makkatte ini dipimpin oleh seorang yang disebut dengan Sanro, Sanro yang dipercaya melakukan penyunatan tersebut biasanya orang yang bukan dari kalangan medis.
Dan Pada Masyarakat Gorontalo terdapat tradisi penyunatan perempuan yang disebut dengan Mangubingo. Dalam praktiknya Sebelum Penyunatan, anak perempuan mengikuti ritual mopolihu lo limu atau mandi lemon. Anak yang ingin disunat akan dimandikan dengan air lemon, kemudian memakai busana adat lalu menjalani proses sunat.
Bahkan di masyarakat Madura, penyunatan perempuan bisa dikatakan hal yang wajib, hukum penyunatan perempuan disamakan dengan penyunatan laki-laki. Menurutnya, hal itu dilakukan dengan memakai dasar agama Islam yang mewajibkan sunat bagi perempuan.
Praktik-praktik penyunatan perempuan banyak dilakukan di daerah Indonesia lainnya, seperti di Maluku dikenal dengan sebutan Oiewel, Aceh Gayo dan Aceh Pesisir, Suku Serawai di Bengkulu, Masyarakat Sambas di Kalimantan Barat, Suku Mongondow di Sulawesi Utara, bahkan suku Betawi.
Banyak masyarakat yang percaya bahwa penyunatan ini bertujuan untuk membersihkan, menyucikan, menjaga nama baik dan mengurangi hasrat seksual perempuan dengan membuang bagian luar kelaminnya. Katanya seorang gadis yang tidak disunat akan dipergunjingkan oleh masyarakat, tingkah lakunya buruk dan ia akan mengejar laki-laki, dan bila datang saatnya untuk menikah tidak seorang pun mau menikahinya.
Pertentangan Sunat Perempuan dalam Medis
Secara medis memang telah diakui bahwa sunat pada perempuan tidak memberikan manfaat apa pun atau bahkan bisa menimbulkan risiko kesehatan. Menurut Nawal, seorang dokter dan aktivis perempuan Mesir, ia mengatakan bahwa penyunatan perempuan tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan fisik bahkan secara psikisnya juga.
Efek fisik bisa mengalami infeksi, iritasi, radang, pendarahan, gangguan pada saluran air kencing, pembengkakan vagina yang menghalangi keluarnya air kencing bahkan kematian, dan efek psikis yang dialami perempuan yang mengalami penyunatan bisa mengakibatkan trauma yang berkepanjangan hingga ia dewasa.
Bagi perempuan yang mengalami operasi sunat tidak sedikit yang mengalami gangguan mastrubasi yang lebih sedikit ketimbang yang tidak mengalami operasi sunat, hal tersebut sebagaimana yang diamati oleh Kinsey. Kemenkes sampai saat ini masih gencar melakukan sosialisasi tentang bahaya sunat perempuan. Walaupun tidak membuat larangan secara gamblang, namun Kemenkes tidak merekomendasikan orang tua untuk menyunat anak perempuannya.